Sayap-Sayap yang Hilang


By : Gaara Nyunyul

Wajah itu meringis, sesekali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sebuah cengiran khas anak nakal terukir di bibir tipis dan merahnya. Sekali lagi cengiran itu berganti dengan sebuah senyuman kaku, sementara seorang guru sedang menatapnya dan menceramahinya panjang lebar bersama barisan anak-anak cowok lainnya. Alisnya menyatu dengan sebuah desahan lega, karena tiba juga saatnya dia harus menerima sebuah hukuman yang rutin dia lakukan setiap pagi.

“Setiap hari kalian terlambat terus! Mau jadi apa kamu kalau masih kecil saja sudah berani datang jam segini ke sekolah..!” guru itu kembali membentak. Teman-teman senasibnya yang lain hanya terdiam sementara dia masih meringis. Lelah dan hafal dengan omelan yang selalu sama setiap harinya itu. Hampir setiap hari dia terlambat datang ke sekolah dan omelan guru BPnya juga selalu sama, hukuman yang sama, poin pelanggaran yang sama dan sekali lagi teman-teman yang sama.

“Vano Arizal Fahmi. Dalam seminggu ini kamu sudah terlambat hampir lima kali! Kamu tahu apa hukuman kalau sampai kamu terlambat lagi besok? Skorsing!” guru BPnya kembali berucap dengan nada tegas. Vano hanya terdiam sambil sesekali melirik gerombolan siswa cowok lainnya. Vano bersekolah di salah satu sekolah khusus anak laki-laki. Selama ini dia tinggal di asrama putra yang ada di dekat sekolahnya, namun sayangnya walaupun sekolah itu dekat dengan asramanya Vano masih sering terlambat akhir-akhir ini. Alasannya hanya satu : Dia harus bekerja sebagai pelayan bar pada malam hari. Tidak ada yang tahu rahasia ini, bahkan pihak sekolah sekalipun. Hanya dua orang yang mengetahui hal ini, yaitu sahabatnya Egi dan juga Wilga, cowok yang akhir-akhir ini bermasalah dengannya.

Wilga adalah cowok kebanggaan sekolahnya, karena pintar, rajin, sering menang dalam olimpiade, berbakat dalam olahraga, cakep, kaya, pula! Sepertinya Tuhan khilaf saat menciptakannya, dan lupa memberikan sedikit cacat pada diri Wilga. Wilga memergokinya dan mengancam akan melaporkannya ke sekolah, namun dengan wajah melas ala Vano, Wilga menuruti keinginannya. Vano harus mencuci bajunya selama Vano masih bekerja di tempat itu. Jadilah Vano kelabakan karena harus mengerjakan beberapa tugas sekaligus. Belum lagi tugas sekolahnya. Memang, dia bukan anak pintar yang selalu jadi juara, tapi nilai-nilainya kini mulai merosot dan itu menjadi ancaman besar baginya. Jangan sampai Ayahnya tahu hal ini! Bisa-bisa dia diusir dari rumah!

Vano menghela nafasnya dan melangkah melewati lorong-lorong kelas. Semua kelas sedang mengadakan kegiatan pembelajaran, dan dia yakin kalau dia pasti tidak akan sempat ikut pelajaran jam pertama dan kedua. Dan tepat! Dia langsung mendapatkan ceramah panjang lebar dari guru mata pelajaran Matematika yang saat itu ada di kelasnya. Belum cukupkah hari ini untuk mendengarkan ceramah dari guru BP? Kenapa harus diceramahi lagi oleh guru kelasnya?

Vano mengernyit kesal. Begitu bel istirahat berbunyi, dia langsung menjatuhkan kepalanya di meja. Sebuah suara mengusik niatnya untuk tertidur sejenak. Semalam dia baru pulang jam tiga pagi, lalu melompati gerbang belakang asramanya dan mengendap-endap ke kamarnya lewat jendela.

“Kamu telat lagi?” Egi menepuk pundaknya. Vano mengangkat wajahnya dan mendengus kesal.

“Iya, dan biarin aku tidur sebentar...! Aku capek!”

“Kamu kenapa masih ngotot kerja jadi pelayan bar segala, sih? Kan Ayah kamu udah tajir, kenapa nggak minta aja?”

Vano menegakkan kepalanya, merentangkan tangannya dan menguap. Matanya kembali mengerjap menahan kantuk. Egi hanya terdiam menatap wajah sahabatnya yang terlihat sedikit pucat. Vano yang dulu dan sekarang memang berubah. Dulu Vano masih sempat tertawa kencang dan menciptakan lelucon konyolnya, namun sekarang hanya wajah penuh masalah yang selalu terlukis di wajahnya.

“Aku kan mau mandiri, Gi...!” Vano menjawab pelan. “Kalo aku lagi butuh duit banyak kan nggak mungkin aku minta gitu aja ke Bokap! Bokap pasti bakalan curiga duitnya buat apaan..”

“Emang duitnya buat apaan? Kamu nggak lagi ikutan kegiatan dan organisasi yang macem-macem, kan?” Egi menyipitkan matanya. Vano menoleh dan menyunggingkan senyum sinis ke arahnya.

“Aku emang gila, tapi aku masih tahu mana yang baik dan yang nggak!”

“Syukurlah kalo gitu! Tapi balik lagi ke pertanyaanku tadi, duit kamu buat apaan? Kenapa kamu mati-matian kerja buat cari duit kayak gitu?”

Vano bungkam, lalu tertawa sumbang. Egi merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Akhir-akhir ini wajah sahabatnya itu juga semakin pucat. Pasti Vano sudah terlalu keras bekerja.

“Jangan kebanyakan kerja dan jaga kondisi tubuh kamu...!” Egi menempelkan punggung tangannya di dahi Vano. Memang sedikit panas. “Tuh, kamu demam..”

“Iya, makasih...” sebuah senyuman tulus lolos dari bibir Vano. Untuk pertama kalinya senyuman itu kembali muncul pada bibir Vano. Egi sedikit kaget dan terpaku dengan ekspresi itu. Dalam hidup Egi, ada dua orang yang begitu dia cintai. Ibunya dan Vano. Ayahnya sudah lama meninggal dunia, dan ketika ayahnya meninggal itulah Vano seolah menjadi obat tersendiri bagi Egi. Perasaannya yang awalnya hanya sebatas sahabat, kini berubah menjadi rasa terlarang yang tak mampu lagi dia bendung.

Tapi Egi tak bisa melakukan apapun. Bagaimana mungkin dia mengatakan pada Vano kalau dia punya rasa itu, sementara Vano hanya menganggapnya sahabat?

“Aku maunya kamu berhenti dari sana..! Coba aja cari kerja di tempat lain..!” suara Egi terdengar lirih. Vano diam tak bergeming. Matanya tertutup perlahan, disertai dengan tubuhnya yang limbung. Vano pingsan.

***

Vano terbaring lemah di UKS. Dia tersadar dan menyadari ada Egi sahabatnya sedang menatapnya cemas. Dia bangun dari posisi tidurnya dan berucap pelan.

“Aku lapar...”

Egi menghela nafas lega dan kemudian beranjak keluar dari UKS menuju ke arah kantin. Vano hanya menatap kepergian Egi dengan tatapan getir. Serasa ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya saat itu, dan Vano hanya sanggup menangis dalam diam.

Tiba-tiba sepasang kaki masuk ke dalam ruang UKS beserta tumpukan buku di tangannya. Sepasang kaki milik... Wilga. Vano kembali mendongak setelah menghapus air mata di pipinya.

“Ada apa?” Vano balas bertanya pada cowok itu.

“Aku punya tugas merepotkan kali ini!”

“Lalu? Apa urusannya sama aku?”

“Karena kamu objek yang akan merepotkan itu!” Wilga melempar tumpukan buku di tangannya ke arah Vano. Vano mengernyit heran. “Aku disuruh ngajarin kamu! Aish...! Menyebalkan!” Wilga mengacak rambutnya gusar. Vano hanya menatap datar cowok dingin di depannya itu.

“Aku nggak mau! Siapapun guru atau orang yang nyuruh kamu aku nggak peduli! Kamu juga bilang kalo ini bakalan merepotkan, kan?” Vano angkat bahu.

“Nilai dan namaku dipertaruhkan di sini! Akan aku buktikan kalau aku bisa bikin cowok yang suka bikin onar di sekolah mendapatkan nilai bagus! Simple, kan?” suara Wilga masih menyebalkan di telinganya. Vano mendengus.

“Aku nggak punya waktu untuk belajar dalam hidupku!”

“Cih, sok sibuk banget, ya kamu...! Nggak usah mempersulit tugasku!”

“Aku nggak peduli!” Vano melempar buku di depannya dan sukses mengenai wajah cakep Wilga. Dia menyibakkan selimutnya dan bangkit dari kasur UKS. Dia langsung melangkah keluar dari UKS, sampai tangan Wilga menarik tangannya hingga dia terhuyung ke belakang dan jatuh menubruk dada bidang Wilga.

“Kamu turuti atau aku bakalan ngasih tahu pihak sekolah kalau kamu kerja di bar..!”

“Kamu ngancam aku?” nada tak suka muncul saat Vano menjawab ancaman Wilga.

“Terserah bagaimana kamu mengartikannya!”

“Aku udah bilang kan sama kamu! Aku nggak punya waktu untuk acara belajarmu itu! Waktuku cukup berharga daripada hanya dibuat belajar!”

Wajah Wilga mengeras dan dalam sekejap dia membalik tubuh Vano dan membenturkannya di tembok sekolah. Vano meringis kesakitan dan balik menatap wajah Wilga. Jantungnya berdetak kencang. Perlahan cengkeraman tangan Wilga mengendur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Vano untuk melarikan diri dari cengkeraman Wilga.

“Urus aja urusanmu sendiri!!” Vano mengumpat, dan begitu Egi muncul dengan kantong berisi makanan di tangannya Vano langsung menariknya pergi dari tempat itu. Mereka pergi ke belakang gudang sekolah, basecamp favoritnya selama ini. Tempat itu agak sepi dan juga sejuk. Vano sering sekali tertidur di sana.

“Heh? Ngapain dia pake acara sok-sok mau ngajarin kamu?” Egi berteriak kaget begitu Vano menceritakan apa yang terjadi di ruang UKS tadi. Vano angkat bahu sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Gue pikir tuh anak udah mulai gila! Kemaren dia ngikutin gue di bar...” Vano mengingat-ingat kembali saat Wilga membuntutinya kemarin malam.

“Serius? Anak kutu buku penjilat guru sok cakep macem dia pergi ke bar? Nggak bisa dipercaya...” Egi hanya geleng-geleng kepala. Vano hanya terdiam. Rasa sakit itu kembali menyerang hatinya. Rasanya seperti hujaman pisau mengenai hatinya. Sakit dalam arti yang sebenarnya. Dia meringis kesakitan dan mencoba menghalangi pandangan Wilga dari rasa sakitnya dengan tersenyum hambar.

“Eh, Gi... ntar pulang sekolah aku nggak bisa pulang dulu..! Aku mau ke suatu tempat..” Vano berkata pelan.

“Kemana?”

“Eh... itu... aku.. mau.. cari kerja yang lain....”

“Beneran? Gimana kalau aku juga ikutan bantu nyarinya?” Egi menawarkan dengan antusias. Namun, lagi-lagi wajah Vano terlihat murung. Dia menggeleng pelan.

“Jangan..! Aku pengen nyari sendiri... please.. aku mohon kamu ngerti...” Vano menatap wajah Egi dengan raut pias. Egi menghembuskan nafasnya kasar dan kemudian mengangguk pasrah.

“Kalau ada apa-apa telepon aku!”

“Sip!” Vano menjentikkan jarinya. Dia tersenyum menatap Egi. Egi balas menatapnya. Padangan mata mereka bertemu, saling bertatapan dalam diam beberapa saat dan entah bagaimana caranya tiba-tiba bibir Egi sudah menempel pada bibir Vano. Sesaat aliran listrik tak kasat mata tercipta diantara mereka. Vano hanya bisa bengong dengan perlakuan Egi, sampai akhirnya Vano sadar ada sepasang mata yang menatap kejadian itu. Sepasang mata milik Wilga! Gotcha! Dia selalu datang di saat yang pas!!

Vano menjauhkan tubuh Egi dan menunduk. Egi yang baru sadar dengan apa yang dilakukannya ikut menunduk dengan wajah memerah sempurna. Dia berkata lirih hingga terdengar seperti berbisik.

“Maaf...! Tapi... aku Cuma pengen kamu tahu, aku... aku cinta sama kamu.. sejak dulu...! Aku tahu ini salah.. tapi...”

“Maafin aku, Gi..” Vano memotong ucapan Egi. “Aku nggak akan bisa balas perasaan kamu sampai kapanpun. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya...”

Penolakan itu membuat wajah Egi pucat seketika. Dia tahu, perasaannya pada Vano memang salah. Tapi dia tak menyangka kalau penolakan langsung dari Vano terasa begitu sakit. Vano beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Egi hanya menatap kepergian Vano dengan wajah sedih, sementara sebuah tangan telah menarik Vano ke dalam salah satu bilik toilet. Tangan milik Wilga.

“Apa?” ekspresi datar Vano menatap wajah marah Wilga.

“Kamu ada hubungan apa sama cowok itu?!”

“Udah berapa kali aku bilang, itu bukan urusan kamu, Ga...!”

“Tentu aja itu urusanku! Karena... karena... karena... kamu harusnya jadi milikku...” suara Wilga terdengar seperti berbisik. Dia menunduk malu. Vano tergelak geli. Bagaimana bisa pangeran sekolah yang biasanya dingin itu menunduk malu seperti itu. Vano meringis.

“Maaf.. sama seperti yang aku bilang ke Egi.. aku nggak bisa...”

Dua kali penolakan diucapkan Vano hari ini. Wilga menatap wajah Vano lalu memalingkan wajahnya begitu mata Vano menatapnya.

“Maaf...” lalu Wilga pun pergi.

Vano terdiam dan perlahan tubuhnya terduduk, air mata mengalir dari kedua matanya. Dia terisak dan tubuhnya bergetar. Tangannya menggenggam erat sebuah kertas di dalam sakunya. Kertas itulah alasan kenapa dia harus menangis sekarang. Sebuah kertas dari sebuah rumah sakit bertulisan : Positif Kanker Hati.

Itulah alasan kenapa dia harus bekerja, kenapa dia harus menolak kedua orang itu. Jujur, dia juga memiliki perasaan sama terhadap keduanya, tapi sayangnya kertas itu seolah mengingatkannya dan menegurnya untuk menjadi orang yang tahu diri. Hidupnya tak akan lama lagi. Alasan mencari kerja sepulang sekolah hari ini sebenarnya juga hanyalah kamuflase. Dia harus pergi untuk check up ke rumah sakit. Vano terdiam, mengusap air matanya kasar dan pergi dari sekolah. Dia mulai merasakan nyeri di hatinya. Penyakit itu telah berkembang semakin parah dari hari ke hari. Vano mencoba menghentikan taksi yang sedang melaju di jalan raya depan sekolahnya sambil menekan hatinya karena menahan sakit. Tapi sayangnya, sebuah takdir baru terukir sempurna hari ini. Dia dihukum untuk yang terakhir kalinya karena terlambat, Wilga memaksanya untuk belajar, Egi menyatakan perasaan yang selama ini telah diketahui oleh Vano, Wilga yang juga menyatakan cinta, dan juga takdir akhir semuanya... Vano harus terkapar di sini saat ini juga. Tubuhnya roboh di tepi jalan dan perlahan kesadarannya hilang. Dia merasa tubuhnya terbang melayang...

***

Pemakaman Vano dibanjiri oleh banyak orang. Kedua orangtuanya, guru-gurunya, teman-teman, termasuk Egi dan Wilga tak mampu menahan tangis. Kedua cowok itu begitu kacau, mencoba bangun dari kenyataan pahit itu. Namun kenyataan adalah kenyataan. Sepahit apapun kenyataan itu, itu adalah kenyataan.

Sebuah buku tergeletak di bawah bantal kamar asrama Vano. Sebuah buku dengan sampul hitam, berisi catatan pemasukan dan pengeluaran keuangan Vano selama ini. Termasuk biaya check up rumah sakit. Dalam setiap halaman dia menuliskan kalimat, “Vano harus kuat! Harus tetap berusaha untuk hidup!”. Egi dan Wilga hanya terdiam dalam tangis saat membaca tulisan-tulisan itu. Apalagi saat sebuah gambar hasil karya Vano juga ada di situ. Gambar chibi Egi dan Wilga dengan sebuah tulisan manis di bawahnya. “Kalau aku disuruh memilih diantara mereka, aku akan memilih diriku sendiri yang pergi...! Ah, aku sayang mereka!”

Pada halaman terakhir itu terdapat sebuah tulisan yang sepertinya baru ditulis beberapa hari yang lalu :

Kalau aku punya sayap, aku akan terbang tinggi menuju awan...

Kalau aku punya sayap, aku akan terbang tinggi mengelilingi dunia..

Kalau aku punya sayap, akan kukepakkan sayapku dengan bangga dan menjalani hidup ini...

Tapi sayangnya, sayap yang kupunya bukan untuk terbang tinggi menuju awan...

Sayap yang kupunya bukan untuk mengelilingi dunia...

Dan sayap yang kupunya perlahan telah hilang, dan itu artinya aku tak bisa mengepakkannya...

Sayap-sayap yang hilang berganti jadi kenangan...

END

0 komentar:

Posting Komentar