JEALOUS Part 9


By: Kim Hye So.
Engahan dan rintihan Ines semakin membuat Seger bernafsu. Apalagi gadis itu memang sangat muda dan kurang pengalaman. Pahit getirnya cinta belum pernah ia rasakan. Yang ada adalah keindahan.
Sebagai seorang gadis yang akan tumbuh menjadi wanita dewasa, ia seperti yakin apa yang dilakukan dan dinikmati itu memang haknya pribadi.
Entah siapa yang memulai, keduanya saling melepas busana masing-masing. Membuat Seger yang sedang haus, seperti kucing lapar mendapat ikan lezat.
Mereka silih berganti saling merayu dan saling mencumbu.
"Mas..." desah Ines
"Ines...!" balas Seger
"Ohh.."
"Apa yang harus ku lakukan?"
"Lakukanlah, mana yang terbaik untuk kita berdua. Aku pasrahkan diriku."
"Kau tidak menyesal?"
"Bukankah Mas mencintaiku?"
"Iya..."
"Lakukan saja apa yang mas mau!"
"Benarkah?"
"Iya..."
Mata Ines sudah meredup. Gairah sudah memuncak. Dan ia benar-benar sudah tidak sabar menunggu.
Masalahnya Ines baru kali ini merasakan indahnya pacaran. Sehingga ia lupa menjaga diri, bahwa kehormatan itu seharusnya tidak ia berikan begitu saja kepada lelaki yang baru yang baru dikenalnya.
Tapi Seger bagaikan seekor kucing lapar yang mendapatkan ikan lezat yang sudah dimasak enak.
Ia kemudian menikmatinya. Menyantapnya dengan penuh nafsu. Keduanya berada di puncak gairah yang sungguh seharusnya mereka hindari. Apa yang dicemaskan Galih nampaknya benar terjadi. Ines tidak menyadari bahwa ia bakal menjadi korban cintanya sendiri. Cinta memang sungguh buta. Sehingga mata batinpun tertutup oleh nikmatnya gairah.
Senja yang buram. Ines terkapar dalam kelelahan. Sprei kasurpun menjadi kusut pernuh bercak.
Namun ketika senja mulai sunyi. Dan Seger masuk ke kamar mandi, ia baru merasa kehilangan sesuatu yang selama ini telah ia jaga. Ia berikan secara murah meriah kepada lelaki yang baru dikenalnya, meski ia mengenal adik lelakinya selama satu tahun.
Ketika Seger keluar, ia melihat mata Ines berkaca-kaca.
"Nes...!"
"Mas Seger...!"
"Kamu kenapa?"
"Entahlah..."
Seger menyisir rambutnya lalu duduk di dekat Ines yang masih terisak kecil.
"Kamu menangis?"
"Tiba-tiba aku takut..."
"Takut apa?"
"Takut kehilangan mas..."
"Bukankah kita sudah menyatukan cinta kita? Mengapa takut?"
"Tidak tahu. Tiba-tiba aku merasakan kehilangan sesuatu yang begitu berharga."
"Kamu menikmatinya tadi. Bahkan yang kedua kali, kamu yang ambil inisiatif."
"Iya, tapi aku sungguh tidak sadar."
"Sudahlah! Jangan membuatku jadi bingung! Kamu yang mengundangku, dan juga yang mengajakku ke kamar ini. Kau juga yang mengijinkan aku menciummu, lalu semuanya berjalan sesuai dengan keinginan kita berdua..."
Ines menunduk. Ia memeluk lututnya. Dan tubuhnya masih berbalut selimut.
"Mas...!"
"Ya?"
"Mas Seger cinta kepadaku?"
"Iya..."
"Jangan pernah tinggalkan aku ya!"
"Tentu saja tidak. Kita akan berusaha bertahan sampai aku wisuda nanti, setahun lagi. Aku akan melamarmu kemudian."
"Bagaimana kalau aku mengandung?"
"Ya, kita menikah lebih cepat."
"Aku mohon, jangan sampai Mas menyakiti aku.!"
"Tidak, jangan cemas! Kita akan berdua terus, kalau bisa selamanya."
"Makasih mas..."
"Mandilah! Katamu kita mau makan bersama? Bukankah kau perlu mengatur ranjangmu yang berantakan ini?"
"Setelah makan malam nanti, jangan pulang dulu ya mas?"
"Tidak, aku akan menemanimu. Tapi kita ngobrol di luar saja, di tempat yang santai."
"Baiklah..."
Begitu Ines masuk ke kamar mandi, Seger tak enak melihat ranjang yang kusut. Ia terketuk untuk merapikan sendiri ranjang itu. Ia tak mau tiba-tiba keluarganya Ines masuk dan melihat ranjang itu kusut.
Ketika Ines keluar dengan tubuh yang lebih segar, ia terkejut melihat kamarnya sudah rapi. Ranjang juga sudah tertata rapi. Namun Seger sudah tidak ada disana.
Setelah merapikan rambutnya, ia segera mencari Seger. Ternyata laki-laki itu berdiri di balkon sambil merokok, bersandar menatap taman samping rumah besar itu.
"Mas...!"
"Kau sudah selesai?"
"Sudah..."
"Kita mau disini atau di teras saja?"
"Disini saja dulu. Kita makan di ruang atas sini saja."
"Baiklah, terserah kamu."
"Tunggu sebentar!" Ines pergi. Seger mengiringi langkah-langkah sang kekasih yang kian menjauh. Ia merasakan bahwa cinta Ines lebih total dari Lana. Ia berharap bahwa Ines benar-benar bisa mengisi hatinya menggantikan Lana.
Sementara itu Galih bekerja keras, ia mengkonsep bentuk bengkel ayahnya yang akan disulap menjadi bengkel dan tempat penjualan onderdil mobil.
“Pa! Lengkapi saja semua peralatan! Termasuk kompresor, ganti ban dan sebagainya agar nanti tidak kesusahan menghadapi order.”
“Iya. Dulu papa juga punya cita-cita buka bengkel yang lengkap menyediakan acsesoris dan onderdil mobil. Modalnya baru dapat sekarang. Papa sangat yakin, empat tahun yang diminta Nak Lana akan selesai. Pokoknya papa sangat yakin bisa mengembalikan pinjaman yang diberikan itu. Tiap tahun Papa akan siapkan asurannya…”
“Iya. Lana percaya kok Pa. Jadi, Om Aris dan Yanto datang kesini?”
“Ya. Makanya sedang Papa siapkan dua kamar buat mereka. Kan mereka punya keluarga juga, kalau suatu hari datang, ada tempat untuk menginap.” Ujar sang Papa.
“Ya sudah, aku mau mengurus usahaku sendiri. Pokoknya nanti kita harus kerjasama Pa, agar keuntungan itu tidak jatuh ke tangan orang lain dan Lana sangat setuju.” Ucap Galih.
“Kau beruntung mengenal Lana, Galih.”
“Tapi aku harus tetap berhati-hati. Kalau usahaku gagal, uang darimana yang bakal digunakan untuk mengganti.” Kata Galih.
“Jangan sampai gagal! Kesempatan emas tidak datang dua kali. Papa juga akan hati-hati melayani konsumen. Papa tidak akan asal ambil untung, jika kualitas perbaikannya tak bermutu!”
“Hati-hati dengan para sopir yang bukan pemilik mobil! Mereka harus ada jaminan uangnya. Kebanyakan ngebon bisa merusak usaha Papa…” Nasihat Galih.
“Kita hidup di kota besar Galih. Tidak akan sama seperti di kampung,” Jawab sang Papa.
“Syukurlah. Aku takut jiwa Papa yang halus itu akan mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang sekedar mau untungnya saja.”
“Jangan khawatir! Bagaimana showroom kamu? Sudah siap?” Tanya sang Papa.
“Tiga hari lagi. Ijinnya juga turun tiga hari lagi. Udah Pa, aku tinggal dulu ya?” Pamit Galih.
“Jadi beli mobil?” Tanya sang Papa
“Iya. Papa jangan pakai uang itu! Aku beri lima puluh juta, nanti Papa bisa beli mobil yang murah. Papa juga punya simpanan kan?”
“Iya, yang murah juga tidak masalah. Jangan terlalu bagus untuk Papa! Tidak enak sama Nak Lana. Kalau kamu sih terserah, itu uang kamu.”
“Inventaris kok. Mobil yang aku pakai nanti termasuk kekayaan perusahaan, jadi tidak bisa dijual-belikan.”
“Hati-hati memegang uang!” nasihat sang Papa.
“Tenang Pa! ini kan usaha bersama, Lana tetap mengawasinya.” Kata Galih.
“Syukurlah. Semoga sukses!”
“Papa juga…”
Galih segera melangkah ke mobil Lana yang akan mengantarkannya ke showroom mobil. Lana memang menunggu setelah mereka pulang bersama dari notaris.
Sementara entah mengapa, perasaan Lana lebih tenteram dan damai bersama Galih. Ia merasa lebih cocok dan percaya dengan lelaki tampan yang sederhana itu.

0 komentar:

Posting Komentar