ONE IN A MILLION part 9


By : Sa-Chan

“Tumben datang ke sini Al ? Bukannya masih fokus sama klub Balet ?” tanya Dino melihat anggota kesayangannya itu sedang berada di depan kanvas memegang kuasnya berharap menggambar sesuatu. 

“Refly larang gue untuk datang ke klub Balet dan ngeliat dia latihan” jawab Albert masih sibuk dengan kuas di tangan kirinya mencoba menggambar sesuatu, namun sangat sulit sekali karena dia bukan kidal.

Albert menghembuskan nafasnya dan menaruh kuasnya kembali ke tempat semula.

“Dia menari lagi ? Itu hal yang bagus donk, kenapa dia melarangmu melihatnya ?” tanya Dino lagi masih penasaran duduk di sebelah Albert.

“Gue juga nggak tahu, ngomong – ngomong Din, pembina klub masih nagih lukisan sama gue ?” tanya Albert balik.

Dino mengangkat bahunya singkat,

“Jarang sih sejak dia tahu kamu gabung sama klub Balet juga pentas seni waktu itu. Pembina bilang, “Mungkin Albert butuh istirahat sejenak untuk melukis, tapi sekolah tetap akan mengirimnya untuk menjadi kontestan di kompetisi akhir tahun” aku hanya mengangguk saja, lagian kamu juga sedang terluka seperti itu lebih baik pulihkan dulu hingga benar – benar sembuh” jawab Dino panjang menepuk bahu Albert.

“Thanks bro” balas Albert, lalu Dino beranjak pergi dari klub meninggalkan Albert sendirian.

Sudah dua minggu sejak peristiwa di rumah Albert waktu itu, di mulai hari itu mereka berdua menjadi seorang sepasang kekasih. Albert selalu tersenyum ketika mengingat hal tersebut, wajah Refly yang merona merah sangat atraktif dan lucu. Meskipun Albert belum terlalu yakin bahwa Refly sungguh – sungguh mencintainya atau hanya karena simpati saja dia tidak tahu. Namun satu hal yang paling Albert senang adalah hanya dialah satu – satunya orang yang bisa melihat semua ekspresi Refly, ketika senang, sedih, cemburu, marah dan yang lainnya. Refly tidak akan menunjukkan hal tersebut kepada orang lain, jika di sekolah atau tidak bersama dengan Albert, Refly akan bersikap biasa dengan wajah datar dan tenang.

Albert segera membereskan peralatan melukisnya dan beranjak berdiri meninggalkan ruangan klub Melukis lalu tinggal menunggu Refly di luar sekolah untuk mengantarnya pulang. Namun, ketika hampir sampai di lapangan sekolah, Albert di hampiri oleh seorang siswi perempuan yang tidak di kenalnya. Keadaan sekolah saat itu kebetulan sudah sepi karena waktunya pulang sekolah.

“Kak Albert” ujar siswi itu berdiri di depannya sambil menunduk.

“Ada apa ya ?” tanya Albert pelan tidak mengerti.

Di tempat lain, Refly sudah selesai dengan latihan baletnya dan sedang berlari menuju luar sekolah karena Albert sudah menunggunya. Saat melihat Albert di lapangan sekolah berdiri membelakanginya, Refly hendak memanggilnya namun mulutnya langsung tertutup ketika mendengarkan sebuah ucapan dari seseorang yang berada di depan Albert tersebut.

“Kak Albert mau nggak jadi pacarku ?” tanya siswi itu cukup lantang memberikan sebuah amplop putih kepada Albert.

Mengerti akan keadaannya sekarang Albert hanya tersenyum simpul dan menolak amplop dari siswi tersebut.

“Sorry, gue nggak bisa karena gue udah punya pacar” jawab Albert cepat.

Bukan maunya Refly untuk menguping tapi, dia tidak bisa mengelak dari tempatnya berdiri sekarang. Mau tak mau dia mendengar pembicaraan tentang pengakuan cinta seseorang, terutama kepada Albert. Refly tidak menyangkal bahwa Albert cukup menarik dan tampan walaupun tidak terlalu populer di sekolah. Tubuhnya yang tinggi dan cukup atletis karena berlatih balet membuatnya mempunyai beberapa penggemar di sekolah. Refly tidak menyangka hal ini akan terjadi, tapi dia cukup kaget dengan jawaban Albert barusan, ingin mendengar kelanjutannya.

“Benarkah ?” tanya siswi itu lagi polos.

Albert mengangguk pelan lalu mengelus kepala siswi itu pelan.

“Ya benar, maaf tidak bisa membalas perasaan lo. Gue sama pacar gue baru jadian dua minggu dan orang berpikiran pasti masih senang – senangnya. Justru kenyataannya nggak begitu, gue sama dia hanya selalu berbicara seadanya ketika malam minggu kami tidak ngedate seperti pasangan lainnya hanya hal – hal biasa aja. Tapi di situlah letak cinta gue sama dia dan meskipun gue belum tahu perasaan dia sesungguhnya sama gue, nggak akan ada orang lain yang bisa menggantikan keberadaannya di sini” ucap Albert panjang sambil menunjuk ke dadanya.

“Carilah orang lain yang benar – benar mencintaimu ya” lanjut Albert dan segera berlalu dari tempat tersebut.

Tak terasa pipi Refly sudah basah karena airmatanya keluar begitu saja mendengar perkataan Albert tadi. Dengan cepat dia keluar dari tempat persembunyiannya dan mengejar Albert sekaligus berpapasan dengan siswi tadi yang melihat Refly kaget dan menatapnya terkejut. Tapi Refly mengacuhkannya dan langsung memeluk Albert dari belakang.

“Udah selesai latihannya Ref ?” tanya Albert terkejut dan ingin berbalik, namun Refly tidak berkutik dari posisinya dan menahan Albert tetap dalam posisi membelakanginya.

“Ayo pulang” jawab Refly singkat.

***

Albert duduk di sebuah sofa berwarna putih gading dan menyenderkan lengan kanannya yang mulai nyeri lagi ketika dalam perjalanan ke apartemen Refly. Baru kali ini dia mendatangi kediaman Refly yang hanya sebuah apartemen namun cukup luas. Di dalam perjalan pulang tadi mereka berdua hanya terdiam tidak ada yang berbicara, Albert tidak mau memaksa Refly bicara jika itu bukan keinginannya sendiri.

“Mau makan sesuatu Al ?” tanya Refly ketika sudah berganti pakaian dan menuju dapur yang menyatu dengan ruang tamunya.

“Boleh, kebetulan gue laper” jawab Albert senang.

“Ini minum obat penghilang rasa sakitnya dulu Al, nyeri lagi ‘kan ?” tanya Refly lagi memberikan segelas air pada Albert.

Refly kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Albert juga dirinya. Albert melepaskan dasinya lalu meregangkan kancing seragamnya, bersantai sedikit di sofa yang sedang di dudukinya. Melihat sekeliling ruangan tersebut dan berhenti di sebuah bingkai foto yang berukuran cukup besar bergambarkan seorang wanita yang sedang dalam salah satu posisi gerakan balet. Ekspresi wanita itu sangat bahagia dan mungkin terlalu bahagia karena Albert melihat suatu perasaan yang sangat memuncak di dalam foto tersebut.

“Itu foto ibuku” ujar Refly menyadarkan lamunan Albert yang cukup tertahan di foto barusan dan membuatnya cukup kaget.

“Nyokap lo ?” tanya Albert masih terkejut.

Refly mengangguk dan menaruh dua piring nasi beserta lauk juga minumannya di atas meja dekat Albert dan duduk di sampingnya.

“Dia penyebab phobia menariku juga alasan kenapa aku membenci balet” jawab Refly.

Albert membelakakan matanya tidak percaya mendengar apa yang barusan di katakan oleh Refly.

“Sejak kecil aku sudah di asuh oleh kak Roan, bukan dengan ibuku. Dia sudah tinggal di Perancis dan hidup dengan baletnya, tidak memperdulikan keluarganya yang ada di sini” ucap Refly memulai penjelasannya dan Albert mendengarkan dengan serius.

“Waktu kecil aku senang dengan balet karena di depan rumahku terdapat sanggar balet dan ketika alunan musik klasik terdengar dari sana aku mulai menari dan mempelajari balet. Namun ketika aku beranjak dewasa dan mengetahui bahwa ayah meninggal dan ibu menelantarkan keluarganya hanya karena untuk menjadi penari balet terhebat di dunia” jelas Refly lagi mengontrol emosinya.

“Balet menjadi hal yang paling kubenci dan tidak mau kulihat lagi dalam kehidupanku. Empat tahun lalu kematian ibuku karena dia mengidap sebuah penyakit yang mematikan dan akhirnya dia kembali ke Indonesia untuk melihat keluarganya, namun dia sudah terlambat karena aku tidak mau menemuinya dan tinggal bersama kak Roan” lanjut Refly masih fokus dengan ceritanya.

“Lalu kenapa lo pengen nari balet lagi sekarang ? Apa phobia lo udah benar – benar hilang ?” tanya Albert memegang tangan Refly yang sudah dingin.

Refly sejenak terdiam lalu berbalik mengarah menatap Albert dan tiba – tiba memeluknya, membuat Albert sangat terkejut.

“Tadinya aku sudah tidak berniat mempelajari balet kembali, tapi kau datang menghampiri kehidupanku. Aku berpikir selama ini aku belajar balet hanya karena aku adalah anak dari seorang ballerina. Namun beberapa bulan ini mengenalmu aku belajar bahwa sebenarnya aku memang menyukai balet bukan dari ibuku, melainkan keinginan dari lubuk hatiku sendiri terima kasih, Al” balas Refly panjang memeluk erat Albert.

Albert tidak percaya mendengar ucapan Refly barusan, dia tidak menduga Refly akan berbicara seperti itu dan bahwa karena dirinyalah dia mau menari balet kembali. Hatinya terasa hangat, baru kali ini ada orang yang bergantung padanya dan percaya padanya, Albert memeluk Refly dengan erat juga mencium aroma yang paling di sukainya.

“Kau masih belum percaya aku mencintaimu juga Al ?” tanya Refly memecahkan keheningan di antara mereka.

Albert bingung mendengar pertanyaan dari Refly tersebut, berusaha melepaskan pelukan mereka tapi Refly makin erat memeluk Albert dan tetap berbicara.

“Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan seorang siswi di lapangan sekolah barusan dan aku sangat senang ketika kau berkata seperti itu, Al” ucap Refly lagi.

“Hah ? Lo ada di sana tadi ?” kaget Albert dengan muka memerah.

“Aku kira hanya aku yang mencintaimu dan kau hanya bersimpati padaku saja karena keadaanku, tapi sekarang semuanya sudah beres kau sangat mencintaiku begitu juga denganku” cengir Refly mulai meregangkan pelukannya dan memegang wajah Albert dengan kedua tangannya.

Lalu dengan cepat mencium bibir Albert cepat, sedangkan yang di cium tidak bisa mengelak malah terkaget – kaget dengan sikap Refly yang tidak terduga. Albert tidak mau berpikir panjang, dengan tangan kirinya dia menarik pinggang Refly maju ke depan dan makin melumat bibir Refly ganas. Mendapati perubahan Albert yang tidak terkontrol, Refly langsung melepaskan ciumannya dan mengambil nafas, Albert hanya menatapnya bingung.

“Kalau tangan gue nggak luka, mungkin gue nggak bisa kontrol diri gue lagi Ref” ucap Albert menjilati bibirnya yang basah.

Refly hanya memukul bahu Albert pelan dengan wajah merona.

“Bisa berdiri sekarang ? Jika tidak, sesuatu yang ada di bawah lo ini akan memasuki diri lo, Ref” goda Albert berusaha merubah posisinya sekarang yang sedang memangku Refly di kedua pahanya.

Refly hanya merengut pelan lalu berdiri dari pangkuan Refly dan kembali memberikan seporsi nasi kepada Albert untuk di makannya.

“Latihannya gimana ? Mau mempertunjukkan apa di kontes nanti ?” tanya Albert saat sudah fokus dengan makanannya.

“Aku sama Vina akan mempertunjukkan grand pas de deux, dari tarian Sleeping Beauty. Memang hanya beberapa menit saja tapi cukup untuk membuat para juri senang” jawab Refly tenang.

“Jadi kalian berdua akan berkolaborasi ? Mengikuti Koreografi siapa ?” tanya Albert lagi merasa penasaran.

“Tenang saja, aku mempunyai video balet punya ibu dulu ketika dia memainkan grand pas de deux juga dengan partnernya dari Perancis. Tapi aku akan sedikit merubahnya agar tidak terlalu sama dan Vina pasti akan kelelahan dengan latihan biasa yang kubuat” balas Refly sedikit tertawa.

“Berjuanglah, gue tahu lo pasti bisa dan memenangkan kontes itu bersama Vina, lalu gue akan buat lukisan tentang diri lo” imbuh Albert mendekat ke arah Refly dan menepuk bahunya pelan, Refly hanya tersenyum senang.

Can’t fall down now, so even when clouds surround you.
And everyone seems to doubt you.
Baby still know who you are,
So you gotta keep on climbing.
In spite of the chains that bind you.
You can see the mountain top.
It’s not too far.

Can’t fall down stay triumphant keep on living.
Stay on your toes.
Get off the rope.
Don’t let ‘em ever count you out.
Realize all things are possible.
In your heart who’s the greatest.
Reach for the stars.
Be all that you are.
And make ‘em fall down.

“Kapan – kapan gue pengen nari balet bareng lo Ref, boleh ?” tanya Albert lagi.

Refly mengangguk cepat.

“Tentu saja, aku sangat menunggu hal itu Al. Kau janji akan segera sembuh dan menari balet bersamaku” ujar Refly senang memeluk Albert lagi.

Albert menunjukkan jari kelingkingnya dan dengan cepat tanggap Refly juga mengikutinya, lalu mereka berdua melakukan janji yang sering di lakukan oleh anak kecil tersebut, lalu tertawa bersamaan.

Bersambung. . .

0 komentar:

Posting Komentar