ONE IN A MILLION Part 2


By : Sa-Chan
Berikan Like sebelum baca...
Tenang aja ni cerita aman kok dibaca saat bulan ramadhan 
Kalau like 100 langsung Revan lanjut deh 
Part 2
Sudah beberapa minggu ini Albert masih memikirkan tentang seseorang yang sekarang duduk di depannya tersebut. Aroma yang nyaman selalu muncul dari tubuhnya tersebut. Berbeda dengan parfum yang sering dia pakai, aroma ini bukan berasal dari sebuah parfum, batin Albert.
“Albert, hei ... “ panggil Refly membuyarkan lamunan Albert.
“A ... Ada apa ?” kaget Albert membenarkan posisi tubuhnya yang dari tadi menatap Refly intens sambil menopangkan satu tangan kanannya di dagunya.
“Mana kertas ujianmu ? Bel sudah berbunyi waktu sudah habis” jawab Refly tenang dengan wajah tanpa ekspresinya.
Albert langsung menatap kertas ujian yang di hadapannya lalu memberikannya pada Refly agar di oper ke depan sampai ke meja guru mereka. Bahkan dia sampai tidak sadar ujian sudah selesai, dan bel istirahat berbunyi. Refly membalikkan tubuhnya dan aroma itu kembali muncul membuat Albert berkhayal kembali, tengkuknya yang mirip wanita namun bahunya terlihat lebar dan kokoh menunjukkan bahwa Refly memang seorang pria. Untuk urusan rambutnya yang panjang berwarna hitam dan di ikat ke belakang itu sekolahnya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Beberapa teman sekelasnya sudah keluar untuk makan siang dan menyerbu kantin, tapi Albert sedang malas dan masih betah di tempat duduknya menatap Refly dari belakang yang juga tidak beranjak dari kursinya sambil membaca sebuah buku.
“Nggak ke kantin, Al ?” tanya seseorang yang mengagetkan Albert.
“Lagi males” jawab Albert singkat.
“Judes banget, biasanya lo yang paling cepat kalau sudah bel berbunyi” tukas Yogi_sahabat Albert.
“Gue lagi nggak nafsu makan, udah sana jangan ganggu gue” ketus Albert mengusir sahabatnya itu yang hanya mendengus kesal dan berlalu.
Tiba – tiba datang sekelompok siswa perempuan berjumlah tiga orang masuk ke kelas mereka dan menuju ke arah tempat duduk Albert, tepatnya ke kursi Refly. Albert yang melihatnya hanya menaikkan alis heran.
“Hai, nama lo Refly Hermawan ‘kan ?” tanya seorang siswi yang berambut panjang dan cukup cantik.
“Iya” jawab singkat Refly tanpa menoleh ke arah sekelompok siswi yang sedang mengelilinginya, masih sibuk membaca buku di hadapannya.
“Kami dari klub Balet pengen ngajak lo masuk ke klub, kebetulan ada murid pindahan yang terkenal dengan tarian baletnya dan gue sebagai ketua klub pengen ngajak lo join kita” tukas siswi satu lagi yang berambut pendek dan cukup tinggi dengan postur tubuhnya yang tegap.
“Klub Balet ?” batin Albert masih melirik ke arah tontonan di depannya.
“Gue bingung orang sejenius lo dalam balet kenapa tiba – tiba mundur dari dunia itu beberapa tahun lalu ? Ini tentang lo bukan ?” tanya siswi yang ketiga sambil meletakkan sebuah majalah di hadapan Refly menutupi bacaannya.
“Aku tidak berminat, tolong buang majalah itu” ujar Refly pelan tetap tenang menyingkirkan majalah yang menutupi bukunya.
“Kenapa ? Gue yakin lo pasti masih mau menari balet lagi ‘kan ?” sahut sang ketua klub agak keras.
Tiba – tiba Refly menutup bukunya dan beranjak dari kursinya dan berlalu dari kelas meninggalkan ketiga siswi dari klub Balet tersebut. Sedangkan ketiga siswi itu hanya bengong dan wajahnya memerah karena merasa di permalukan oleh Refly di kelasnya tersebut.
“Bagaimana ini Vina ?” tanya siswi yang berambut panjang.
“Gue ‘gak akan nyerah begitu saja, gue bakal pastiin Refly bakalan ikut klub Balet kita dan ngeliat dia menari lagi” jawab Vina_nama ketua klub Balet tersebut.
“Majalah apaan sih itu Vin ?” sambung Albert yang mengenal baik ketua klub balet itu.
“Majalah khusus tentang balet dan berita seputar event tentang semua yang berhubungan dengan balet” lanjut Vina yang menyadari Albert memanggilnya dan duduk di depannya, di kursi Refly.
“Itu edisi tiga tahun lalu, coba lo liat di halaman 42, di situ ada tentang info penari balet pria junior yang berhenti dari balet karena sesuatu” ujar Vina lagi menjelaskan ketika Albert membuka halaman yang di anjurkan oleh Vina.
Albert terkejut melihat sebuah foto di majalah tersebut, merasa matanya sudah kabur tapi ketika di lihat lagi itu gambar foto seseorang yang di kenalnya.
“Ini ‘kan ... ?” sahut Albert tapi terpotong karena Vina sudah melanjutkan kata – katanya.
“Iya, itu Refly, teman sekelas lo yang tadi barusan gue ajak ngobrol” balas Vina merasa heran karena Albert seperti tidak kenal terhadap Refly.
“Lo serius yang di foto ini Refly ? Tapi penari balet junior yang jenius ?” kaget Albert masih tidak percaya.
“Kenapa lo kaget gitu, Al ? Bukannya kakak perempuan lo balerina ya ? Masa berita kayak begini saja lo terkejut begitu ?” tanya Vina yang terheran – heran dan mengambil kembali majalah miliknya dari tangan Albert.
“Tapi ‘kan gue nggak ikutan jadi penari balet, jelas gue awam sama berita kayak begitu” balas Albert tidak mau kalah.
“Terserah, yang penting besok gue bakalan datang lagi buat bujuk Refly masuk klub Balet” cengir Vina lalu beranjak pergi dari kelas 3-A.
Refly seorang penari balet ? Pikiran itu terus menjalar dari kepala Albert. Dia tidak menyangka pribadi pendiam dan tanpa ekspresi seperti itu bisa menari balet yang notabene harus bisa berakting dan mempunyai banyak ekspresi. Albert hanya mengetuk – ngetukkan pulpen yang berada di atas mejanya masih berpikir dan di otaknya yang lain mempunyai keinginan untuk melihat Refly menari balet lagi.
***
Ruang Kesenian
Ketika bel terakhir berbunyi, Albert langsung berlari menuju ruangan kesenian yang selalu dia pakai juga sekaligus sebagai basecamp dari klub Melukis. Namun, saat ini sudah sore Albert agak terlambat karena Lena, temannya sejak kecil menyuruhnya untuk membantu bersih – bersih di ruangan OSIS. Saat membuka pintu ruangan itu, Albert sangat terkejut karena melihat seseorang yang beberapa minggu ini di pikirkannya, yaitu Refly. Dia sedang berdiri menatap sekeliling ruangan itu yang penuh dengan hasil lukisan karya beberapa dari anggota klub Melukis.
“Lo ngapain di sini Ref ?” tanya Albert agak gugup setelah beberapa menit keheningan.
Refly tidak menjawab masih fokus dengan satu karya yang berada di hadapannya sekarang. Albert agak pangling karena ketika di lihat dari belakang Refly tidak seperti pria. Tubuhnya yang pendek dan rambut hitamnya yang panjang berkilau sambil di ikat ke belakang mirip seperti perempuan, namun tersadar karena Refly memakai seragam sekolah untuk laki – laki.
“Itu lukisan gue” sahut Albert mulai jalan perlahan dan berdiri di samping Refly sambil menatap lukisan yang sedari tadi di tatap oleh Refly.
Aroma tubuh Refly yang di sukai oleh Albert kembali tercium oleh hidungnya. Entah kenapa pikirannya menjadi rileks dan mempunyai keinginan yang kuat untuk melukis lagi.
“Lukisan yang terpantul kebahagiaan” ujar Refly pelan, singkat dan padat masih dalam posisi menatap lukisan di depannya.
Albert cukup terkejut dengan ucapan Refly barusan, dia mengerti dengan arti lukisan yang menjadi juara di kompetisi melukis Nasional dua tahun lalu saat dia masih kelas satu. Biasanya orang lain hanya melihat lukisan Albert dari teknik dan penggambarannya, namun tidak melihat jelas di balik arti lukisan tersebut.
“Gue nggak mengira lo bisa menebaknya, cuman sedikit orang yang mengerti arti lukisan gue sendiri” balas Albert tetap dalam posisinya melihat sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah rumah kecil yang di kelilingi oleh pepohonan yang teduh dan matahari bersinar terang di atasnya. Sangat seimbang dengan warna lukisan cat air yang menutupi sketsa dari lukisan tersebut. Penuh dengan kebahagiaan.
“Terima kasih, selamat sore” ujar Refly membalikkan badannya dan keluar dari ruangan kesenian tersebut, namun spontan Albert menahan lengan Refly seperti saat mereka bertemu.
“So ... Sorry, lo mau pulang ? Mau gue anter ?” tanya Albert tanpa menunggu jawaban dari Refly dia sudah menarik tangannya dan menuju parkiran motor.
Dalam perjalanan mereka berdua hanya terdiam, namun Albert tidak menyangka dia bisa cukup sedekat ini dengan Refly. Meskipun jarang menunjukkan ekspresinya, Albert tahu Refly menggambarkannya melalui gerak tubuhnya, seperti saat ini Refly dengan erat memeluk tubuh Albert dari belakang. Perasaan berdebar – debar tiba – tiba saja datang menghampiri dada Albert, dan dia merasa sesuatu sedang tegang dari belahan kedua kakinya.
“Mau masuk sebentar ke dalam Al ?” tanya Refly setelah mereka berdua sampai di sebuah apartemen yang cukup mewah di daerah Jakarta Selatan.
“Ng .... Nggak makasih, gue sebaiknya pulang sudah larut malam” jawab Albert gugup berusaha menutupi daerah selangkangannya dengan tas selempangnya.
“Hati – hati di jalan, sampai jumpa di sekolah besok” balas Refly dan berlalu masuk ke dalam lobby pintu masuk apartemennya.
Albert hanya menatap punggung kecil milik Refly, aroma tubuhnya yang alami masih menempel lekat di jaket yang sedang di pakai oleh Albert itu. Dia hanya mengutuki dirinya bisa terangsang dengan seorang pria yang adalah teman sekelasnya sendiri.
***
Sebuah ruangan kecil dengan sofa dan beberapa perabotan lainnya memenuhi ruangan tamu itu. Refly menyalakan lampu meja yang terletak tidak jauh dari sofa yang sedang dia duduki. Melemparkan tasnya dan menutupi matanya dengan lengan kirinya. Masih terngiang – ngiang di telinganya tentang kejadian di kelasnya barusan, sekelompok anggota dari klub Balet datang padanya dan memintanya untuk masuk ke dalam klub tersebut. Sesuatu hal yang sampai saat ini berusaha di jauhinya, sekarang malah datang kembali menguak emosinya. Refly Hermawan seorang penari balet junior, juga seorang anak dari balerina yang cukup terkenal di Indonesia. Namanya sudah menjadi buah bibir di kalangan para penari balet di Indonesia karena bakatnya yang menurun dari ibunya. Tidak hanya bisa memerankan penari balet pria dalam sebuah pementasan, namun karena perawakannya yang kecil dan mirip seperti perempuan, Refly juga sering terlibat dalam pementasan sebagai seorang penari balet wanita di sebuah pentas.
Namun, entah beberapa tahun belakangan ini tiba – tiba kehadirannya dalam dunia balet menghilang begitu saja. Beberapa orang mengatakan bahwa dia mengundurkan diri karena cedera yang di alaminya, tapi tidak ada seorangpun yang bisa membuktikannya. Ada juga yang mengatakan bahwa Refly mengundurkan diri dari dunia balet karena fokus terhadap sekolahnya yang selama ini terbengkalai.
“Halo ?” tanya Refly kepada penelepon di seberang sana yang sudah menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana sekolah barumu di sana ?” tanya seseorang balik dari seberang telepon tersebut.
“Biasa saja, tidak ada yang istimewa” jawab Refly tenang.
“Maafkan aku yang tidak bisa datang menjenguk keadaanmu di sana, pekerjaanku masih menumpuk di sini” ujar orang itu lagi.
“Jangan khawatir aku bisa menjaga diriku sendiri, kak Roan” balas Refly datar masih tidak menunjukkan ekspresinya.
“ .... , Kau masih tetap dengan pendirianmu itu Ref ? Maafkan kakakku yang selama ini tidak pernah mengurusimu” ucap Roan dengan jeda sebentar menjaga kata – katanya agar tidak menyinggung keponakannya tersebut.
Refly terdiam mendengar perkataan adik dari ibunya tersebut.
“Mungkin Desember nanti aku bisa pulang, jaga kesehatanmu Refly, aku sayang padamu” ujar Roan mengakhiri pembicaraannya dan menutup sambungan telepon tersebut.
Refly mengembalikan gagang telepon ke tempatnya semula, beranjak dari sofa dan menuju kamar tidurnya. Tidak melepaskan seragamnya terlebih dahulu, Refly membenamkan kepalanya di bantal guling yang sudah di peluknya. Hawa hangat dari punggung Albert masih menghinggapi tubuhnya. Selama ini dia selalu sendirian, kesepian selalu menemaninya. Refly bingung kenapa Albert begitu terbuka dan mau mengantarnya pulang padahal mereka tidak terlalu dekat. Keresahan yang selalu menganggunya selama ini, hilang begitu saja ketika dekat bersama Albert.
Melihat lukisan yang begitu indah dan terpancar kehangatan dari sebuah keluarga yang tidak pernah di dapatnya selama ini, membuatnya sangat iri. Siapa gerangan pembuat lukisan tersebut sehingga memantulkan rasa kekeluargaan yang besar, Refly akhirnya datang ke ruang kesenian tersebut untuk mencari tahu siapa pelukis itu, namun tidak ada siapapun. Refly cukup terkejut karena Albertlah yang datang ke ruang kesenian tadi, dan mengatakan bahwa dialah pencipta lukisan tersebut. Refly berdebar – debar ketika berdekatan dengan Albert namun, dia tidak bisa mengekspresikan hal itu.
Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa sekolah yang sekarang mempunyai klub Balet, emosi Refly kembali lagi kerutan di dahinya muncul, berusaha mengontrol perasaannya yang di liputi kemarahan.
“Aku benci balet, aku tidak akan pernah menari lagi” gumam Refly dalam hati karena airmatanya sudah keluar.
Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar