ONE IN A MILLION part 4
Diposting oleh: Cerita Kaum Pelangi - Minggu, 06 Juli 2014
By : Sa-Chan
Jakarta Selatan adalah kota administrasi yang paling kaya di bandingkan dengan wilayah lainnya. Dengan banyaknya perumahan warga kelas menengah ke atas dan tempat bisnis utama. Jakarta Selatan merupakan daerah penyangga atau daerah resapan air bagi Propinsi DKI Jakarta. Kota Jakarta Selatan memiliki satu kawasan industri yaitu, Cilandak Commercial Estate yang di dukung oleh sarana listrik dan sarana komunikasi sebagai penunjang investasi.
“Albert, tumben lo datang ke ruangan OSIS tanpa di minta ?” ujar Lena saat mereka berdua sedang berdiskusi tentang pentas seni yang akan di laksanakan beberapa minggu lagi.
“Kemarin ‘kan lo bilang mau ngomongin tentang pensi bulan depan ? Ya udah gue mampir ke sini” balas Albert malas.
Lena hanya menyengir lebar, lalu memberikan sebuah file laporan yang cukup tebal kepada Albert
“Semua klub sudah memberikan proyek acara yang akan mereka tampilkan nanti, terkecuali klub Balet” lanjut Lena menerangkan.
Albert agak terkejut mendengar ucapan dari sang Ketua OSIS sekaligus teman kecilnya tersebut.
“Nggak usah kaget begitu, Vina bilang ke gue dia masih bingung tentang pertunjukkan balet apa yang akan di tampilkan. Dia sering curhat sama gue tentang keadaan anggota klubnya yang tidak terlalu serius dengan latihan baletnya” tukas Lena lagi mendesah pelan.
“Kemarin Vina juga ngomong ke gue begitu, dia masih minta gue buat ngajak Refly ke klubnya” balas Albert membolak – balik proposal yang di berikan oleh Lena tadi.
“Angkatan kelas tiga sudah pada tahu kok, lo paling deket sama Refly. Jadi nggak kaget juga Vina memelas sama lo buat ngajak Refly masuk ke klub Balet. Tapi gue bingung tuh anak kayaknya langsung menjauhi semua yang berurusan dengan balet, .... , dia nggak ada cerita apa – apa sama lo, Al ?” tanya Lena memberi jeda sebentar.
Albert terdiam sejenak memikirkan kejadian beberapa hari lalu saat Refly menceritakan tentang phobianya terhadap balet.
“Al ? Kenapa ? Refly cerita sesuatu ke lo ?” tanya Lena masih penasaran.
“Chorophobia, Refly bilang begitu ke gue, tapi gue nggak tahu penyebabnya apa sampai dia punya phobia kayak begitu” jawab Albert pelan.
Lena terkejut mendengar hal itu dari Albert.
“Jarang seorang penari mempunyai phobia seperti itu, pasti ada alasan di balik Refly nggak mau menari lagi” ujar Lena lagi antusias mendengarkan pembicaraan yang Albert ucapkan.
“Lo tahu tentang Chorophobia ?” tanya Albert.
“Nggak terlalu juga sih, tapi gue pernah punya saudara yang menderita phobia kayak begitu, cuman bukan phobia terhadap balet” jawab Lena lugas.
Albert hanya termenung memikirkan apa penyebab Refly mengidap phobia seperti itu. Apakah dia memang benar mempunyai sebuah cedera sehingga phobia itu muncul begitu saja ? Albert tidak tahu tapi firasatnya mengatakan terjadi sesuatu dengan kehidupannya di masa lalu.
Beberapa saat di ruang OSIS mendengarkan ocehan Lena tentang pensi yang akan di laksanakan bulan depan, akhirnya Albert pergi setelah bel keempat berbunyi dan kembali menuju kelasnya. Namun langkahnya terhenti karena melihat seseorang yang berdiri di depan klub Balet, dan Albert mengenal orang itu dengan baik.
“Refly !!” panggil Albert langsung berlari menuju ke arah Refly yang terkaget karena sahutan dari Albert.
Refly tidak menengok malahan berusaha tidak mendengar suara Albert yang menangkap basah melihatnya ke arah klub Balet, namun tangan Albert yang besar menggenggam pergelangan tangan Refly erat sebelum dia menjauh.
“Tunggu, kenapa lo kabur begitu ?” ujar Albert memberi jeda sejenak sambil melihat ke arah klub Balet yang masih berlatih.
Refly tidak menjawab juga tidak menatap ke arah Albert. Sebelum Refly menepis tangannya, Albert langsung menarik Refly masuk ke dalam klub Balet, lalu memanggil Vina.
“Albert ? Refly ?” kaget Vina tidak percaya.
“Tadi gue ngeliat Refly berdiri di depan klub, jadi gue ajak sekalian masuk” ujar Albert riang, namun merasakan gemetar di telapak tangan Refly yang di genggamnya.
“Ref, bisa nggak lo liat sebentar latihan kita, mungkin lo mau merubah pikiran lu buat masuk klub kita” ujar Vina tidak sabar menatap Refly intens.
Refly hanya mengangguk pelan namun tetap menunduk.
Vina dan beberapa temannya yang sudah senior bersiap – siap dan melakukan gerakan pemanasan dasar dalam balet dengan alunan lagu instrumental klasik.
“Angkat kepala lo Ref, Vina serius ketika berbicara tadi meskipun lo punya phobia dan gue nggak tahu penyebabnya tapi tolong hargain jerih payah Vina” ucap Albert pada Refly yang kaget dan mulai menatap ke arah depannya.
Gerakan tiga orang balerina yang di depan Refly mulai seirama dengan musik lantunannya dan memperlihatkan beberapa gerakan balet yang indah. Membuat Refly melihat masa lalunya kembali, sesuatu yang ingin benar – benar dia lupakan. Namun saat ini semuanya muncul lagi, mengusik mental dan fisiknya, Refly tidak menyadari cara berdirinya sudah seperti seorang penari balet profesional dengan posisi kaki turn out. Albert yang melihat hal itu hanya tersenyum senang dan menatap wajah Refly dengan antusias, tidak fokus dengan pertunjukkan yang berada di depannya sekarang.
“Gimana Ref ? Gue harap lo mau bergabung sama klub kita” sahut Vina agak tersengal – sengal sehabis menari tadi dan mendekat ke arah Refly dan Albert.
Refly masih dengan mimik tidak yakin dan tubuhnya masih bergetar, lalu beralih menatap Albert di sampingnya, namun terlihat kaget karena Albert masih menatapnya dengan posisi yang sama. Vina yang melihat hal itu hanya mengerutkan keningnya dan menyenggol bahu Albert agar tersadar dari lamunannya.
“Woi Al, lo ngapain ngeliatin Refly begitu ?” ketus Vina agak keras karena merasa kecewa pertunjukkannya tadi tidak di lihat oleh Albert.
Seketika wajah Albert memerah dan tersadar akan sekelilingnya yang sudah menatapnya aneh.
“So ... Sorry Vin, gimana Ref ?” tanya Albert balik berusaha mengalihkan pandangan mereka padanya.
“Ak ... Aku tidak yakin” jawab Refly gugup masih memegang seragam lengan kiri Albert.
“Pliss Ref !! Gue pengen lo jadi pelatih kita di sini juga sebagai anggota, pensi bakalan di adain sebulan lagi dan gue nggak tahu harus berbuat apalagi” tukas Vina langsung membungkuk memohon.
Melihat hal itu Refly tidak enak hati dan tidak tahu harus melakukan apa, hanya melihat Albert untuk meminta pertolongan.
“Gue akan bantu lo menghilangkan phobia itu” ujar Albert berbisik di telinga Refly yang sontak wajahnya merona merah.
Refly masih tertunduk dengan warna telinga yang sangat merah, melihat hal itu Albert hanya tersenyum jahil, namun mendadak Refly makin menggenggam erat lengan kiri Albert di sampingnya lalu berkata pelan,
“Aku mau masuk asal Albert juga ikut” ucap Refly pelan namun terdengar sangat jelas.
“Hahhh ... ??” kaget semua orang di situ terutama Vina yang membulatkan mata tidak percaya dan langsung menatap Albert curiga.
Mengetahui hal itu Albert salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa, wajahnya juga sangat memerah kembali mendengar hal itu dari Refly.
“Ma ... Maksud lo apa Ref ? Kenapa ngajak si bodoh ini ?” ketus Vina menunjuk muka Albert langsung dengan jari telunjuknya.
“I ... Iya, gue bukan penari balet Ref, lo bercanda aja” sambung Albert dengan nada tertawa.
“Di rumahmu ada sanggar balet dan kakakmu juga seorang balerina, lalu waktu itu kamu juga bilang sering berlatih balet di rumah ‘kan ?” tanya Refly balik menatap mata Albert.
Vina makin menyipitkan matanya berusaha menunggu konfirmasi dari Albert.
“Ta ... Tapi gue ‘kan udah ikut klub Melukis, waktu luang gue nggak akan cukup untuk latihan balet lagi di sini” jawab Albert masih membela diri dan mengalihkan pandangannya dari tatapan Refly yang memelas.
“Nggak usah banyak alasan Al, lagian lo belum punya ide buat melukis untuk kompetisi akhir tahun ‘kan ? Jadi seenggaknya waktu luang lo itu bisa berbagi di sini sama kita – kita” senyum Vina penuh arti, Albert hanya menelan ludah melihat sifat asli Vina keluar.
Gemerutuk tangan Refly yang masih memegang seragam Albert kembali terasa di sekujur tubuhnya, kepala Refly kembali tertunduk. Albert merasa bersalah, dengan helaan nafas sekali akhirnya dia memutuskan sesuatu.
“Oke gue bakalan masuk klub Balet, tapi karena Refly yang minta” ujar Albert tegas menatap Vina dan sekelilingnya.
Mendengar hal itu, Refly langsung mendongakkan kepalanya dan kembali menatap wajah Albert. Vina langsung menepuk bahu Albert kencang dan tertawa lepas,
“Gue nggak nyangka lo latihan balet juga Al” ujar Vina senang.
“Dengan satu syarat Vin, lo nggak boleh maksa Refly menari balet sampai dia berkata ingin menari dari mulutnya sendiri” balas Albert tidak mengindahkan pernyataan Vina.
“Ke ... Kenapa ?” tanya Vina kaget.
“Lo bisa ‘kan janji sama gue ? Sampai pensi bulan depan Refly bakalan jadi pelatih doank dan nggak bakalan ikut menari” lanjut Albert lagi.
Vina menolehkan pandangannya pada Refly, tapi Refly masih terdiam memeluk lengan kiri Albert.
“Oke, itu untuk Refly doank ‘kan ? Sebagai gantinya lo yang bakalan ganti posisinya Refly, Al” ujar Vina tak mau kalah membuat keputusan cepat sebelum Albert membantah.
“Ti ... Tidak apa – apa ‘kan Al ? Aku juga ingin melihatmu tampil di atas panggung menari balet” sambung Refly membuat Albert dan Vina terkejut.
Albert hanya menggaruk – garuk pipinya yang tidak gatal, melihat sisi imut dari Refly yang beberapa minggu ini belum pernah di lihatnya.
“Lo denger ‘kan ? Refly sudah setuju jadi jangan banyak alasan, besok datang pagi buat latihan pertama kita buat pensi bulan depan” sahut Vina kencang yang membuat semua anggota di sana menjadi bersemangat melihat dua pria pertama yang masuk klub Balet.
***
Sebelum mengantar Refly kembali ke apartemennya, Albert mengajaknya ke sebuah tempat makan di bilangan daerah Jakarta Selatan. Sehabis dari klub Balet, Albert menuju ke klub Melukis meminta ijin kepada sang ketua karena beberapa bulan sebelum kompetisi melukis akhir tahun nanti waktu luangnya akan di gunakan di klub Balet. Dino sang ketua klub langsung mengangguk menyetujui setelah melihat seseorang di samping Albert yang di kenalnya cukup baik dan sudah menjadi bahan gunjingan di sekolahnya tentang kemahirannya dalam menari balet.
“Kenapa diam aja Ref ? Makanlah” ujar Albert ketika pesanan makanan mereka sudah sampai.
Refly masih menatap semua makanan yang berada di atas meja, merasa mengerti tatapan Refly, Albert langsung menyeletuk,
“Traktiran gue, nggak usah sungkan ayo cepat di makan keburu dingin” lanjut Albert lagi memberikan sendok ke tangan Refly agar di pegangnya.
“So ...Sorry ya Al, kalau kamu jadi repot gara – gara keinginan egoisku” balas Refly pelan dengan wajah tertunduk.
“Gue nggak suka lo terus – terusan menunduk kayak begitu, kalau bicara sama orang harus tatap matanya ‘kan ?” tanya Albert sambil menaikkan dagu Refly ke atas dan menatap wajah imutnya yang masih berair karena ingin menangis.
“Baru kali ini ada orang sebaikmu sama orang sepertiku Al, benar – benar jujur dan nggak ada niat buruk” jawab Refly tersenyum polos dan membuat Albert menahan nafas saat itu juga melihat senyuman Refly pertama kali di perlihatkannya.
Wajah Albert memanas, dadanya berdebar kencang tidak karuan. Selama ini setelah mengetahui orientasi seksualnya yang berbeda dengan beberapa pria lainnya, Albert belum pernah merasa terobsesi seperti ini terhadap seseorang. Jantungnya seperti ingin meledak dan Albert merasa harus melindungi Refly apapun yang terjadi dan tidak akan pernah melepaskan pandangannya dari hadapan Refly.
“Terima kasih sudah traktir makan malam hari ini Al, juga mengantarku pulang” ujar Refly setelah mereka berdua sampai di pintu masuk apartemen Refly.
Sebelum Albert membalas ucapan Refly, ada sahutan seseorang dari dalam lobby apartemen Refly, memanggilnya.
“Refly ?” sambung seseorang.
“Kak Roan ?” kaget Refly mendengar suara orang yang memanggilnya.
Bersambung .
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar