Jangan Ambil Chipy-nya Meo
Diposting oleh: Cerita Kaum Pelangi - Minggu, 13 Juli 2014
By : Lovelo
Masih setengah jam lagi dari waktu yang dia janjikan untuk datang, tapi aku sudah bersiap rapi dari satu jam yang lalu. Kusisir lagi rambutku yang ikal. Di depan cermin aku terus tersenyum.
Ini adalah kencan pertamaku dengannya. Seorang mahasiswa semester empat yang sangat tampan.
Namanya Chipy. Chipy Anggara. Aku mengenalnya dua bulan yang laluketika dia datang untuk menemui kakakku.
"Chipy," dia mengulurkan tangannya.
"Romeo," kujabat uluran tangannya. Hangat.
"Pasti kamu adiknya Raga?" dia tersenyum, dan rasanya aku mau pingsan lihat senyumnya. Manis bangeeet!
"Iya, tapi Raga belum pulang," dengan berat hati kulepaskan genggaman tanganku.
"Aku tau, tapi dia bilang sebentar lagi sampai, dan kalo boleh, aku nunggu di sini ya?" dia menunjuk kursi teras.
"Tentu saja, silahkan duduk Kak Chipy, mau minum apa?" aku berdegup senang, berharap Raga lama di jalan biar aku bisa berlama-lama menemani Chipy. Hahaha, adik durhaka!
"Apa aja deh, yang dingin ya?" pintanya setelah duduk dan menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Oke!" aku tersenyum dan bergegas masuk untuk mengambilkannya minuman dingin, tanpa sadar aku setengah berlari menuju kulkas dan kembali ke teras dengan membawa dua kaleng minuman bersoda.
Begitu sampai di teras aku melihat Chipy sedang tertawa. Kakakku sudah duduk di sampingnya. Aku merengut agak kecewa.
"Pengertian banget sih, tau aja kakaknya lagi haus!" Raga mengambil minuman kaleng itu dari tanganku. Satu diberikannya untuk Chipy, satu lagi diminumnya dengan santai. Aku masih berdiri dengan wajah masam. Chipy juga meminum soda dingin itu tanpa mengucapkan apa-apa padaku.
Aku menatap sekali lagi wajah cakep Chipy, menghela napas panjang lalu berlalu pergi.
"Meo," langkahku terhenti karena panggilan lembut darinya, aku urung masuk ke dalam rumah.
"Iya Kak?" aku membalikkan badanku.
"Makasih," Chipy mengangkat kaleng sodanya, aku mengangguk. Lalu bergegas masuk dengan senyum lebar yang tak juga hilang.
Meo! Baru dia yang memanggilku begitu, semua teman memanggilku Romeo, begitupun Raga dan orang tuaku. Dan panggilan Meo darinya jadi terasa special.
Do you believe in love at first sight?
I do believe.
Hari-hari setelah itu, perasaan sukaku padanya semakin besar. Apalagi Chipy makin sering main ke rumah. Kadang datang dengan setumpuk kertas tugas, kadang datang hanya untuk main PS bersama aku dan Raga dan satu kali datang secara khusus untukku ketika aku sakit dan Raga sedang tidak ada di rumah karena Mama membutuhkannya untuk urusan usaha restaurant Mama di Bandung.
Oya, aku dan Raga tinggal terpisah dari Mama dan Papa. Mama dan Papa kami bercerai dua tahun yang lalu. Mama ingin Raga ikut dengannya dan aku ikut dengan Papa. Tapi Raga yang saat itu merasa sudah dewasa memutuskan untuk tidak ikut dengan siapapun, dan aku yang kecewa dengan perceraian mereka akhirnya memutuskan ikut dengan Raga tinggal di rumah yang ditinggalkan Mama dan Papa.
Raga yang khawatir meninggalkan aku dalam keadaan demam meminta tolong Chipy untuk menemani aku. Aku tentu saja senang setengah mati, bisa berdua dengan orang yang aku sukai, meski untuk itu aku harus sakit dulu. Tak ada yang mengetahui kelainan orientasiku tentang cinta, begitupun Raga. Kakakku pasti tidak berpikir apapun ketika meminta Chipy datang menemaniku.
"Masih demam ya? Obatnya udah diminum?" tangannya yang besar dan hangat menyentuh dahiku. Aku senang sekali diperhatikan seperti itu. Aku lupa akan sakitku.
"Udah mendingan kok, udah minum obat tadi," suaraku terdengar parau. Dan sepertinya aku mendadak kembali demam bahkan mungkin lebih parah saat tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Detik berikutnya aku mulai sibuk menenangkan jantungku yang tiba-tiba berdegup sangat kencang. Wajahku memanas, pasti sekarang warnanya merah. Sebagian karena pengaruh demam dan sebagian lagi karena blushing.
"Sekarang istirahat ya, biar cepat sembuh," Chipy menepuk punggung tanganku yang masih dalam genggamannya.
"Jangan pergi!" seruku tanpa sadar. Chipy menatapku lekat, lalu tersenyum.
"Iya, aku temani sampai kamu tidur," suara Chipy terdengar seperti bisikan. Kalimatnya membuatku berjuang keras untuk tetap terjaga. Aku ingin lebih lama ditemani, aku ingin bicara banyak dengannya. Kapan lagi bisa seperti ini? Tapi obat keparat itu bekerja dengan sangat baik, aku sukses dibuatnya tidur. Dan di detik terakhir batas kesadaranku melayang, aku masih bisa merasakan tangannya yang hangat mengusap pipiku. Sepertinya aku bermimpi.
Dan betapa senangnya aku ketika terjaga di tengah malam, aku melihat Chipy masih di sampingku. Tertidur dengan satu tangan menjadi bantal kepalanya dan satu tangan lagi masih menggenggam tanganku. Kukerjapkan mata untuk meyakinkan diriku bahwa ini nyata, dan tangannya yang hangat membuatku sadar ini memang nyata.
Gerakanku membuat Chipy terbangun. Matanya yang redup karena masih mengantuk menatapku cemas.
"Kenapa? Apa yang sakit?" suaranya terdengar serak khas suara orang baru bangun tidur, dan buatku itu sexy banget. Astaga, sempat-sempatnya otakku mikirin hal itu!
"Aku mau ke kamar mandi," aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi kepalaku terasa pening, mataku berkunang-kunang. Aku memutuskan untuk duduk lagi, bersandar di tumpukan bantalku.
"Kuat nggak? Aku bantu ya?" tawarnya sambil meraih bahuku. Aku menatapnya sejenak, wajahnya tampak tulus. Aku mengangguk. Kuabaikan denyutan hebat di kepalaku, aku turun dari ranjang dengan berpegangan pada lengan Chipy yang kokoh. Baru kali ini aku merasa bersyukur dalam sakitku. Ya Tuhan, aku mau sakit terus!
Chipy menungguku di depan pintu kamar mandi dan merangkul bahuku kembali menuju tempat tidur.
"Kalo besok belum ada perubahan, ke dokter lagi ya, sepertinya kamu harus dirawat, Meo." Chipy membantuku berbaring. Ada nada cemas kudengar dari suaranya, dan aku senang sekali.
"Nggak mau, aku nggak mau dirawat!" seruku sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa? Udah dua hari kamu demam!" Chipy sedikit membentakku, aku merengut, kututupi wajahku dengan punggung tanganku. Aargh! Tidak mungkin kan aku jujur padanya kalo aku takut dengan jarum suntik? Dia pasti menertawakanku. Dan aku tidak mau itu terjadi.
"Besok pasti membaik," aku memejamkan mataku, karena aku tau Chipy yang berdiri menjulang di samping tempat tidurku pasti sedang menatapku dengan mata hazelnya.
"Memang harus membaik, karena kalo nggak, aku akan menyeretmu ke Rumah Sakit!" suara Chipy terdengar tegas, aku tertegun. Kubuka mataku, benar seperti yang tadi aku pikirkan, Chipy sedang menatapku. Dia berdiri dengan tangannya yang terlipat di depan dada. He is so cool!
Aku menatapnya, menatap wajah yang dua bulan ini memenuhi ruang tidurku setiap malam, menjadi siluet yang membayangiku di setiap sudut kelas, dan wajah yang selalu kuharapkan menyambut pagiku ketika aku terjaga.
Matanya yang indah balas menatapku tak berkedip. Ya Tuhan, aku sangat menyukai matanya! Tidak! Bukan hanya matanya, aku menyukai semua yang ada padanya.
Aku menelan ludah. Gamang. Apa jadinya ya bila aku membuat pengakuan bahwa aku menyukainya? Sungguh, aku tidak bisa terlalu lama menyembunyikan perasaanku ini, aku ingin dia tau aku menyukainya, hanya itu. Kalo setelah itu dia menjauhiku, aku akan terima, yang pasti aku ingin melepaskan beban di hatiku. Ya, aku memutuskan akan mengakuinya sekarang juga.
"Chipy,"
Oh, great! Aku tak lagi memanggilnya Kak seperti biasa. Bersiaplah untuk melihat alisnya meninggi sebelah Romeo! Teriakku dalam hati.
"Meo," balasnya lembut.
Damn! Aku malah kehilangan kata-kataku!
"Tidurlah," serunya setelah melihatku hanya diam. Tidak, aku tidak akan bisa tidur sebelum membuat pengakuan ini.
Ayo Meo! Sekarang atau tidak sama sekali! Perintahku pada diri sendiri.
"Makasih udah nemenin aku," stupid Romeo! Kenapa malah kalimat itu yang keluar? Aku merutuk dalam hati.
Chipy tersenyum lalu mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Aku deg-degan.
"Kenapa harus makasih? Aku senang bisa nemenin kamu," mata hazelnya mengerjap pelan. Detak jantungku menggila.
Aku speechless.
"Dan aku pengen selalu nemenin kamu," Chipy menatapku lembut.
Mama! Oksigen!!
Diraihnya tanganku dan diletakkannya di dada kirinya.
Ya Tuhan, jantung Chipy seperti berada dalam genggaman tanganku, terasa sekali detaknya begitu cepat. Dia juga sepertiku!
"Rasakan detak di jantungku Meo, selalu seperti ini kalo di dekat kamu," suara Chipy terdengar seperti bisikan.
"Chipy, aku, aku," aku gugup luar biasa. Sungguh, ini di luar dugaanku.
"Aku menyukaimu, Meo, aku mohon jangan membenciku karena aku menyukaimu!" mata Chipy menatapku redup.
Mama, setelah dua tahun aku lupa caranya tertawa, sekarang aku menemukan kembali alasanku untuk bahagia.
"Gimana bisa aku membenci orang yang selama dua bulan ini ada dalam pikiranku?" ucapku gugup.
Mata Chipy membulat. Diraihnya kedua pipiku dengan tangannya.
"Meo, kamu, kamu juga," Chipy tak menyelesaikan kalimatnya setelah melihat aku mengangguk cepat.
"Aku juga menyukaimu Chipy," akhirnya pengakuanku lengkap sudah.
Chipy tersenyum, lalu meraihku ke dalam pelukannya. Aku membenamkan wajahku di bahunya. Menyesap wangi tubuh Chipy yang biasanya selama ini kuhirup dengan sembunyi-sembunyi, kini aku bisa menikmatinya tanpa jarak.
Chipy melepaskan pelukannya.
"Meo, badanmu gemetar, kamu menggigil?" Chipy memandangku cemas. Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku, aku mau nangis," aku menundukkan wajahku.
"Hah! Kenapa? Apa pelukanku terlalu kuat? Apa itu menyakitimu?" suara Chipy terdengar sungguh khawatir.
Aku menggeleng cepat.
"Aku terlalu bahagia," ungkapku jujur.
"Meo, kalo bahagia jangan nangis," Chipy mengangkat daguku. Kami saling memandang. Ya Tuhan, tolong pelankan volume detak di jantungku ini! Aku mohon...
Chipy menatap mataku, lalu pandangannya turun ke bibirku. Diusapnya pelan dengan ujung jarinya. Aku merasa seperti ada jutaan kupu-kupu di perutku. Well, juga dua ekor bayi gajah di dadaku.
Chipy merunduk, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Hanya beberapa centi lagi bibir kami bertemu, dengan bodohnya aku malah menahan bibir Chipy dengan jariku.
"Kenapa?" bisiknya kecewa.
"Chipy, aku lagi demam, kalo nanti demamnya nular, gimana?" tanyaku penuh penyesalan melihat wajah kecewanya.
Chipy menghela napas.
"Selain pandai mengacaukan detak jantungku, kamu juga pandai mengacaukan suasana romantis ya?" diacaknya rambutku gemas. Lalu tertawa sambil merengkuhku ke dalam pelukannya.
Akhirnya tak ada ciuman pertama malam itu, tapi aku nyenyak tertidur dalam dekapannya sampai pagi.
Aku tersenyum mengingatnya. Statusku setelah malam itu adalah kekasihnya. Dan ini adalah kencan pertama kami. Kutatap sekali lagi wajahku di cermin, lalu pindah menatap jam di tangan kiriku. Lewat empat puluh menit dari waktu yang dia janjikan. Harusnya Chipy sudah datang, aku mendesah cemas.
Apa dia lupa?
Setelah menimbang bimbang, aku memutuskan untuk menelponnya.
Tersambung.
"Halloo," suara di sana terdengar lembut.
Suara perempuan!
Aku diam. Terkejut. Lalu memutuskan sambungan telepon.
Bukan Chipy yang mengangkat teleponku. Siapa perempuan itu? Chipy tidak punya saudara perempuan, dia juga tidak tinggal dengan Mamanya.
Antara resah, cemburu dan juga cemas berpadu jadi satu di benakku.
Aku ingin coba sekali lagi menelpon Chipy tapi terdengar suara mobil masuk ke halaman depan rumah. Aku urung menelpon dan langsung berlari untuk membuka pintu.
Ternyata Raga.
"Tolong turunin tas di jok belakang Rom, oleh-oleh dari Mama buat kamu!" Raga masuk dengan satu tas besar di tangannya.
Tanpa banyak bicara aku menuruti perintah kakakku.
"Kamu udah baikan?" tanya Raga sambil melepas sepatunya.
"Udah," jawabku pendek saja. Aku melirik jam tanganku, Chipy sudah terlambat satu jam.
"Mau pergi?" ditatapnya aku dari atas ke bawah.
"Iya, tapi kayaknya nggak jadi," aku menghindari tatapan mata Raga. Aku bergegas ingin kembali ke kamar, tapi Raga dengan cepat menarik tanganku.
"Mau ke mana sih? Nggak kangen apa sama kakaknya?" Raga menunjuk sofa di sampingnya dengan dagu menyuruhku duduk.
"Baru juga dua hari nggak ketemu," sungutku sambil menjatuhkan tubuh di sandaran sofa.
"Mau pergi sama siapa?" tanya Raga dengan pandangan menyelidik.
Astaga! Apa-apaan sih kakakku ini? Dia bertanya dengan nada seolah-olah aku ini adik perempuannya yang baru berusia 13 tahun!
Dia lupa kalau aku ini sudah 17 tahun dan aku ini laki-laki!
"Apaan sih nanya kayak gitu?" aku mengerucutkan bibirku.
"Hahahaha! Tinggal jawab aja kenapa sih?" Raga tertawa menyebalkan. Aku menunduk, rasanya ingin sekali berbagi tentangku kepada seseorang, tentang perasaanku selama ini yang aku sembunyikan rapat. Tapi apa jadinya nanti kalau Raga tau adiknya ini penyuka sesama jenis? Belum apa-apa nyaliku sudah menciut. Kalau Raga murka gimana? Sabuk hitam karatenya bisa membuat tulangku berserakan nantinya!
"Aku ke kamar dulu," kuabaikan pertanyaannya, dan bergegas naik ke tangga menuju kamarku.
"Chipy jagain kamu dengan baik kan waktu kamu sakit?" pertanyaan Raga sukses membuat langkahku terhenti di tengah tangga. Aku membalikkan badanku, nanar menatap kakakku yang juga sedang menatapku.
Aku menelan ludah, resah. Aku mengangguk dan melanjutkan langkahku menuju kamar.
Apa Chipy cerita tentang hubungan kami ya sama Raga? Batinku gelisah.
Kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur. Chipy benar-benar melupakan janjinya untuk datang, bahkan menelponku saja dia tidak!
Apa pernyataan sukanya kemarin malam itu hanya bercanda? Atau dia sengaja mempermainkan aku karena tau sikapku selama ini menunjukkan perasaanku padanya?
Lalu perempuan yang menerima teleponku tadi, dia siapa? Apa sebenarnya Chipy sudah punya pacar perempuan?
Aaaargh!
Pertanyaan-pertanyaan tak berjawab membuat kepalaku berdenyut sakit.
Kuketik sebuah pesan singkat untuk Chipy.
Kamu sibuk ya? Nggak jadi pergi juga nggak papa kok Py, yang penting kamu baik-baik aja. Kabari aku kalo udah free ya.
Pesanku terkirim.
Chipy.
Dia memang bukan lelaki pertama yang aku sukai, tapi dia lelaki pertama yang menyatakan perasaannya padaku, lelaki pertama selain Papa dan Raga yang memberiku tempat dalam pelukannya. Dan ini pertama kalinya aku berani menjalin sebuah hubungan.
Haruskah berakhir ketika aku baru saja memulainya?
Ponselku berdering. Dengan malas aku meraihnya. Chipy!
Aku langsung bangun dari tidurku, merapikan rambutku sebelum menekan tombol jawab. Astagaa Romeo! Yang telepon kan nggak liat kamu!
"Hallo," kuharap suaraku terdengar biasa.
"Meo, maaf baru sempat telepon, aku mendadak ada urusan tadi," suara Chipy di seberang sana terdengar seperti menyesal.
"Iya nggak apa-apa kok," lagi-lagi aku berharap suaraku tidak terdengar kecewa.
"Udah malam banget, apa aku masih harus datang ke rumahmu?"
Well, sepertinya hanya aku yang menginginkan untuk bertemu, kalimat Chipy seakan hanya aku yang butuh bertemu dan dia sekedar mengikuti keinginanku untuk membuatku senang, padahal kemarin dia sendiri yang mengajakku jalan! Dadaku mendadak sesak.
"Nggak usah Py, Raga juga udah datang kok," egoku yang bicara.
"Kamu nggak kangen aku?" suara Chipy melemahkan egoku yang tadi sempat bertahta.
"Kangen," jawabku setelah jeda yang sedikit panjang.
"Kalo kangen, turun dong, aku udah di rumah kamu nih,"
"Hah? Serius?" aku langsung turun dari tempat tidur, dan dengan ponsel masih di telingaku aku keluar dari kamar dan bergegas menuruni tangga.
Aku melihatnya, duduk di sofa ruang tamu bersama Raga. Dia juga melihatku lalu melambaikan tangan. Aku tersenyum.
"Hai Meo!" sapa Chipy setelah aku mendekat dan duduk di samping Raga. Sikap Chipy sama seperti biasa sebelum dia menyatakan perasaannya padaku. Berarti dia memang tidak ingin kakakku tau, pikirku tenang.
"Aku bawa oleh-oleh dari Mama, makan sama-sama yuk!" ajak Raga sambil membongkar isi tasnya.
"Asiik, ada brownies kukus!" seru Chipy ikutan mengaduk-aduk tas Raga.
Mama tinggal di Bandung, dan setiap datang ke Jakarta atau jika aku dan Raga yang ke sana, Mama tidak pernah lupa membawakan brownies kukus Amanda yang terkenal enak di sana.
Malam ini memang tak ada kencan special, kami bertiga nonton bola sambil makan kue dan lempar-lemparan kulit kacang, tapi bisa melihat Chipy ada di dekatku itu sudah cukup membahagiakan. Apalagi aku sering sekali memergoki Chipy melirikku di sela-sela nonton. Aku melupakan perempuan yang tadi mengangkat telepon dariku.
#####
Chipy, Meo cinta kamu!
Tanpa sadar aku menuliskan kalimat itu di tembok kamarku tepat di samping tempat tidurku.
Aku tidak takut Raga membacanya, karena dia sudah tau tentang hubunganku dengan Chipy. Ya, aku sudah mengakuinya, dan di luar dugaan ternyata Raga tidak marah atau mematahkan tulang igaku. Dia malah tenang karena aku mendapatkan kekasih seperti Chipy.
Dan hari ini aku lagi kangen banget sama Chipy, sudah satu minggu ini dia tidak datang ke rumahku, sibuk tugas katanya. Dan aku memakluminya. Raga juga jarang kutemui bersantai, dia lebih banyak keluar rumah.
Kalau aku sudah jadi mahasiswa, mungkin aku juga akan seperti mereka.
Tapi, ini hari minggu, apa Chipy tidak punya sedikit saja waktu untukku? Raga juga pergi, apa kalian sedang bersama saat ini?
Tiba-tiba saja terbersit pikiran konyol di otakku. Selama berteman dengan Raga, pernah tidak ya Chipy punya perasaan suka sama kakakku yang maha tampan itu? Raga lebih tampan dariku, dia idola di campusnya, disukai banyak mahasiswi dan juga mahasiswa yang belok sepertiku.
Huuh! Memikirkan itu membuat lambungku mencelos tidak karuan.
Pintu kamarku di ketuk dari luar. Aku mengabaikannya, Raga pasti langsung masuk kalau aku tidak membukakan pintu untuknya.
"Buka aja!" teriakku malas.
Pintu dibuka dan seseorang masuk.
"Apa aku mengganggu?"
Aku langsung membalikkan tubuhku. Chipy! Dadaku langsung penuh konser musik rock.
"Katanya sibuk? Kok nggak bilang mau ke sini?" aku langsung bangun dan duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Aku mengusap rambut ikalku, berharap tidak kusut parah saat ini.
"Kangen," Chipy duduk di tepi tempat tidur, kami berhadapan. Bisa menghirup lagi wanginya yang lembut terasa sangat menenangkan syaraf di otakku.
Aku tersenyum.
"Aku juga kangen, kamu sibuk banget sih," aku merengut.
"Iya, maaf ya, menjelang UAS memang selalu begini, tugas berhamburan," wajah Chipy seperti penuh penyesalan.
"Bisa ke sini emangnya tugasmu udah selesai?" tanyaku pelan, aku nggak mau terlihat menuntut waktu yang dia miliki.
"Belum, tapi bermain denganmu sepertinya jauh lebih menarik dari pada melihat kertas-kertas tugas itu," Chipy tersenyum. Dan aku yakin ada pink di wajahku sekarang, aku senang mendengarnya.
"Mau jalan?" tawarku deg-degan.
"Mmh, boleh!" jawaban Chipy membuatku ingin bersorak gembira. Akhirnya, bisa jalan berdua lagi aku sama Chipy.
"Aku ganti baju dulu," aku beranjak turun dari tempat tidur. Chipy mengangguk.
Agak ragu, aku melepas kausku di depan Chipy. Aku berniat menggantinya dengan kemeja lengan panjangku.
Chipy terus memandangku sambil tersenyum. Aku malu, tubuhku belum terbentuk sempurna seperti Raga yang rajin ngegym. Aku cenderung kurus, dan bentuk tubuhku seperti perempuan, tentu saja minus dada yang membesar. Sepertinya mulai hari ini aku harus serius olah raga, aku juga ingin tanganku berotot seperti Raga dan Chipy.
Chipy berdiri mendekatiku.
"Sini aku bantuin," Chipy mengambil alih kancing-kancing kemejaku. Dipasangnya satu-satu dan aku hanya berdiri kaku, senang dan juga malu.
"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah semua kancing kemejaku terpasang sempurna.
"Up to you Baby, today is yours." Chipy tersenyum. Belum sempat aku mengajukan tempat yang ingin aku datangi, ponsel Chipy berbunyi.
"Sebentar Meo," Chipy menjauh sebelum menjawab panggilan teleponnya, wajah Chipy kulihat agak sedikit tegang. Aku hanya bisa mengangguk, entah kenapa perasaanku mendadak tidak karuan.
Benar saja.
"Meo, aku minta maaf, kita jalannya besok aja, aku mendadak ada urusan," Chipy masuk lagi ke kamarku setelah kurang lebih lima menit menerima telepon di luar.
"Penting banget ya?" tanpa bisa kukendalikan aku memasang wajah super kecewa.
"Iya, jangan marah ya Meo," diraihnya tanganku. Tapi dengan cepat aku lepaskan lagi. Sungguh, aku sangat kecewa. Ini bukan yang pertama Chipy mengecewakan aku, dan kali ini aku ingin sekali saja marah, biar Chipy tau aku juga ingin jadi prioritas.
"Romeo please," wajah Chipy terlihat mendung, aku baru sadar kalau wajah kekasihku ini terlihat pucat. Tapi aku tidak perduli, aku kesal!
"Iya, pergilah, aku memang nggak pernah penting buat kamu," aku menunduk, menatap matanya hanya akan membuatku luluh seperti biasa.
"Aku akan menghubungimu nanti," dikecupnya kepalaku lalu bergegas pergi tanpa membujukku terlebih dulu.
Aaaaaargh!!!
Chipy nyebelin!!!
#####
Semakin hari, aku semakin mencintai Chipy. Terlepas dari seringnya dia datang terlambat atau mengecewakan aku, dia tetap mendominasi pikiranku. Kekasih mana yang tidak meleleh kalau setiap malam dinyanyikan lagu pengantar tidur lewat telepon, lagu favorit kami adalah Lost in Space. Suara Chipy sangat merdu saat menyanyikan lagu itu. Dan suaranya seperti candu, tak lelap tidurku kalau dia belum bernyanyi untukku. Sungguh aku sangat cinta dia, tak ada sedetik waktupun aku tak mencintainya.
Sebentar lagi Chipy ulang tahun, aku mau belikan hadiah untuknya. Sebuah jaket keren yang pernah aku lihat di counter pakaian khusus pria. Chipy pasti makin cakep pakai jaket itu.
Ditemani Putra sahabatku di sekolah aku pergi ke Pelangi Plaza, mall terbesar di kotaku. Dan aku bersyukur, jaket itu masih belum ada yang beli dan sekarang sudah ada di tanganku.
Puas keliling mall, aku mengajak Putra untuk makan siang di sebuah food court. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat seseorang yang sangat aku kenal, lebih dulu masuk ke food court itu. Chipy!
Dan juga seorang perempuan yang sangat cantik.
#####
Entah sudah berapa lama aku tertidur, kepalaku terasa pening. Pulang dari Pelangi Plaza itu aku langsung tidur setelah menangis dan melemparkan kantong belanjaan berisi jaket itu ke sudut kamarku. Aku sangat marah, aku kesal mengingat Chipy pergi berdua dengan seorang perempuan, dia pasti pacar Chipy!
Aku harus menanyakan siapa perempuan itu, Raga mungkin saja tau sesuatu. Karena yang aku lihat sepertinya perempuan itu lebih tua dari Chipy dan Raga. Bergegas aku menuju kamar Raga. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar kakakku yang sedikit terbuka, aku mendengar suara Raga sedang bicara dengan seseorang. Chipy!
"Aku ingin dia yang mengakhiri hubungan kami," itu suara Chipy, aku tertegun mendengarnya. Tubuh Chipy membelakangi aku, aku hanya bisa melihat punggungnya.
"Romeo udah sayang banget sama kamu Py," aku melihat Raga duduk memeluk bantal.
"Aku tau, tapi aku nggak bisa ngelanjutin ini Ga, aku nggak bisa terus pura-pura, aku sayangnya sama kamu, aku nggak bisa mencintai orang lain selain kamu Ga,"
Mataku basah mendengar kalimat Chipy. Ternyata, ternyata Chipy hanya pura-pura sayang sama aku? Chipy dan Raga... Aaargh! Dadaku sesak dan aku ingin lari dari sini, tapi...
"Trus gimana cara kamu bilang sama Romeo?"
"Mmmh, aku akan pura-pura, aku akan bilang kalo aku sakit dan harus pergi berobat atau terapi di luar kota, jadi aku kan punya alasan buat nggak datang kemari, lama-lama Meo juga akan lupa sama aku, nanti gantian kamu yang harus datang ke rumahku, ya?"
"Sebenernya aku nggak tega juga sih Py, adikku pasti sedih banget,"
Tuhan, inikah rasanya sakit karena cinta? Sesakit inikah? Air mataku tak lagi bisa aku tahan, menetes satu-satu menjadi anak sungai. Chipy jahat! Aku benci Chipy!!
"Meo udah bangun belum ya, aku harus bicara hari ini juga,"
Tanpa suara aku beranjak pergi, aku kembali ke kamarku.
#####
Terdengar ketukan di pintuku. Aku tau pasti itu Chipy.
"Masuk!" suaraku terdengar parau, aku terlalu banyak menangis hari ini.
"Meo, suaramu serak, kamu sakit, Sayang?" begitu masuk, Chipy langsung menghambur ke arahku. Pelukan Chipy masih seperti biasa, hangat dan wangi. Rasanya ingin kupeluk terus, tak ingin kulepaskan, entahlah aku takut ini adalah pelukan terakhirnya.
"Nggak,"
"Suaramu serak,"
"Aku habis nangis,"
"Kenapa?"
"Kangen Mama," tentu saja aku bohong.
"Jangan sakit," Chipy menyentuh pipiku lembut.
Sudah terlanjur sakit, dan itu karenamu!
"Nggak sakit," aku menyingkirkan tangan Chipy dari pipiku. Hal yang biasanya aku suka dan ingin berlama-lama disentuh olehnya, sekarang terasa perih.
"Aku mau pamit Meo,"
"Kemana?" padahal aku sudah tau Chipy, kamu mau kita putus kan?
"Aku harus terapi, aku sakit Meo,"
Great! Seperti yang sudah dia rencanakan tadi dengan kakakku.
"Kamu sakit apa? Kenapa harus pamit? Apa kita nggak akan ketemu lagi?" suaraku meninggi.
"Dokter mendeteksi ada kanker di rongg.."
"Cukup!!!" aku tidak memberi kesempatan Chipy untuk meneruskan kebohongannya.
"Meo?" wajah Chipy terlihat sedih. Tapi aku tidak akan tertipu untuk kedua kalinya. Wajah malaikatnya selama ini ternyata hanya topeng. Bodoh sekali aku ini Tuhan..
"Nggak usah diterusin!! Aku udah tau kamu mau bilang apa! Kamu sakit, iya kan? Apa tadi.... Kanker? Harus terapi dan kita akan lama nggak ketemu! Gitu kan? BASI TAU NGGAK!!" teriakku histeris. Tenggorokanku sakit, tapi tak seberapa dibandingkan sakit di hatiku.
"Meo, aku, aku,"
"Kamu harus tau Py, aku udah dengar semuanya, aku dengar yang kamu rencanain tadi sama Raga! Kamu cuma pura-pura sayang sama aku!! Iya kan?? Jahat kamu Chipy!! Jahat!!!" aku hilang kendali, kupukul dada Chipy kuat-kuat. Chipy terjerembab, jatuh terduduk, tapi Chipy tidak berniat mengelak, dia diam saja meski aku terus memukulinya bertubi-tubi. Dia hanya melindungi wajahnya dengan lengannya agar aku tak memukul di bagian itu. Tapi aku seperti kesetanan, aku seperti tidak puas hanya memukuli tubuhnya, aku melihat kantong berisi jaket yang ingin aku hadiahkan untuknya, kuambil dan aku lemparkan ke wajah Chipy. Chipy mengerang, darah keluar dari hidungnya.
"Aku benci kamu Chipy!! Aku benci kamu!!!!" aku jatuh terduduk di depan Chipy yang masih tergeletak di lantai, aku kehabisan tenagaku.
"Maafin aku Meo," suara Chipy nyaris seperti bisikan.
"Salahku apa Chipy, sampai kamu sejahat ini sama aku?" aku sesenggukan, dadaku sakit.
"Maaf,"
"Seperti maumu, kamu mau aku yang mengakhiri hubungan kita kan? Fine! Kita putus!"
Dan aku merasakan kekosongan yang paling kosong saat kalimat itu selesai aku ucapkan. Kosong yang terasa menyakitkan, kosong yang membuatku ingin memenuhinya dengan air mata. Kosong yang terasa sendirian, hampa, aku seperti hilang dalam balutan udara.
You are my soul satellite,
I'd be lost in space without you..
#####
Sebulan berlalu, aku masih diliputi pilu. Ajakan menghibur dari sahabat-sahabatku tak mampu mengeluarkan aku dari duka yang tersisa. Chipy masih memenuhi benakku, marah, benci, rindu, dan emosiku, semua masih tentang dia.
Aku juga benci Raga. Sejak hari itu aku berhenti menyapanya, aku menolak bicara dengannya, dan sebisa mungkin aku tidak usah bertemu dengannya. Tidak perduli seberapa besar usahanya untuk mengajakku bicara. Aku masih bisa memaafkan jika yang mengkhianatiku adalah teman, atau orang lain, atau siapapun, tapi dia kakakku sendiri, sulit sekali aku memberinya maaf.
Setelah kejadian itu, Chipy juga berulang kali menghubungiku, tapi panggilan teleponnya selalu aku abaikan, lewat pesan singkat, dia masih saja menyampaikan permintaan maafnya. Tapi aku tak membalas pesannya, aku masih sangat benci dia. Dan aku akhirnya mengganti nomer handphoneku biar Chipy tidak bisa menghubungi aku lagi.
Bayangan tentang hari-hari yang aku lalui dengannya kembali hadir. Chipy bukan tipe cowok romantis, tapi buatku apapun yang dia lakukan untukku selalu terasa romantis.
Kencan malam minggu yang sering gagal, selalu digantinya dengan hari lain. Dia selalu berusaha membuatku bahagia. Tapi ternyata semua itu hanya palsu, dia mempermainkan aku dengan sangat tega.
Padahal yang aku rasakan selama ini, Chipy begitu tulus, aku bisa merasakan cinta di matanya setiap kali dia menatapku. Sentuhannya yang lembut, aku bisa merasakan ada cinta di sana. Tak sedikitpun ada ragu tentang perasaannya padaku. Tapi kenapa, kenapa harus berakhir seperti ini?
Braak!
Pintu di buka dari luar, aku lupa mengunci pintu kamarku.
Raga berdiri dengan wajah tegang, dia terlihat kacau. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah tembok dan pandanganku jatuh tepat di tulisan yang pernah aku gurat dengan stabillo merahku, 'Chipy, Meo cinta kamu!'
Deg.
Tiba-tiba dadaku terasa ngilu. Kenapa ini?
"Romeo, ikut aku!" Raga menarik tanganku.
"Apaan sih?" aku langsung menepiskan tangannya kasar.
"Chipy mau ketemu kamu, dia sakit!" seru Raga tertahan. Aku mendengar suara Raga seperti menahan kesedihan.
"Drama aja terus! Aku nggak mau dengar lagi semua tentang dia, ambil Chipy buat kamu!" teriakku murka, sandiwara apa lagi ini? Chipy sakit, dan mau ketemu aku? Kebohongan apa lagi ini? Tapi, tapi kenapa hatiku berkata lain?
"Cukup Romeo! Berhenti mengucapkan kalimat yang akan membuat kamu menyesal nantinya! Chipy, dia, dia sekarat di ICU, dia mau ketemu kamu!" tangis Raga pecah. Ya Tuhan, apa ini? Chipy sekarat?
Aku bangun dari tempat tidur, menatap nanar wajah kakakku yang basah, mencari kebenaran di sana, dan sungguh aku sangat berharap bisa menemukan kebohongan di wajah Raga, aku ingin air matanya adalah dusta, kali ini aku ingin sekali dia sedang bersandiwara, tapi kenapa tidak aku temukan? Kenapa air mata itu begitu jujur?
"Chipy kenapa?" suaraku mulai bergetar.
Tak ada jawaban, Raga hanya menarik tanganku keluar dari kamar dan masuk ke mobilnya, aku tak melawannya. Entahlah, aku seperti kehilangan separuh napasku.
Dan sepertinya aku bukan hanya kehilangan separuh napas saja tapi juga separuh jiwaku. Ketika sampai di depan ruang ICU, dari pintu kaca aku bisa melihat dia terbaring dengan dipenuhi alat medis. Lelaki tercintaku, ada di sana, dengan mata terpejam, dan selang-selang besar di mulut dan hidungnya. Ya Tuhan, Chipy kenapa? Pandangan mataku mengabur karena air mata, lututku gemetar, nyaris tak sanggup menopang tubuhku. Raga merengkuh bahuku ketika melihat aku merosot dan jatuh di atas lututku. Dipeluknya aku, dan diajaknya duduk di kursi tunggu.
"Tenangkan dirimu, jangan masuk dulu kalo emosimu belum stabil, jangan nangis di depan Chipy," Raga mengusap bahuku, seperti menenangkan aku, padahal aku bisa merasakan tangan Raga juga gemetar.
Pintu ruang ICU terbuka, dua orang perempuan keluar dari sana. Yang separuh baya itu, aku pernah melihat fotonya di dompet Chipy, itu Mamanya dan seorang perempuan dengan jas putih itu, sepertinya dia adalah dokter. Dan aku terkejut melihatnya, dia adalah perempuan yang aku lihat jalan bersama Chipy di food court itu. Iya, perempuan cantik yang membuatku cemburu itu, jadi dia dokter di sini?
Mereka mendekati aku dan Raga.
"Tante, ini Romeo, Arane, ini adikku yang aku ceritakan tadi," Raga memperkenalkan aku sama Mamanya Chipy dan dokter cantik itu. Mereka menyalami uluran tanganku.
"Romeo, ini Mamanya Chipy, dan Dokter Arane ini kakak sepupunya Chipy,"
Kakak sepupu? Aku pernah cemburu padanya, ternyata dia saudara sepupu Chipy, ya Tuhan...
"Chipy mau ketemu kamu Nak," Mama Chipy menatapku dengan wajahnya yang masih berurai air mata. Lalu beliau memberikan sebuah buku padaku. Seperti diary. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Ini diary Chipy.
Aku menatap Raga, dan kakakku langsung mengangguk pelan.
"Masuklah, temui Chipy," kali ini dokter cantik itu yang bicara. Matanya juga basah.
Dengan langkah ragu aku masuk ke ruangan dingin itu, kamar ICU tempat Chipy berbaring dengan kesakitannya. Aku tidak tau Chipy sakit apa, tapi pasti sangat sakit karena aku melihat ada selang besar yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Tubuhku menggigil, bukan karena ruangan ini dingin, tapi karena aku tidak sanggup melihat Chipy seperti itu. Tanganku gemetar, diary Chipy nyaris jatuh dari genggaman. Kuambil tempat di samping ranjang Chipy dan perlahan kubuka diary bersampul hitam itu.
Hampir semuanya tentang aku, tentang perasaannya padaku. Aku tersenyum. Tapi hanya sekejap, karena di lembar selanjutnya aku nyaris tak mampu membacanya karena pandanganku terhalang oleh air mata.
#Dear Diary,
Aku pikir yang selama ini aku rasakan hanya karena aku kecapean. Tapi ternyata lebih serius dari yang aku bayangkan. Stadium 3 untuk kanker nasofaring mengerikan ini, rasanya kakiku tak lagi berpijak di bumi saat harus mendengarkan hasil pemeriksaanku.
Kanker nasofaring stadium 3? Ya Tuhan, tanganku semakin gemetar membuka lembaran berikutnya.
#Dear Diary,
Tak ada ketakutan menghadapi kematian yang berdiri di depan mataku saat ini. Yang aku takutkan adalah berpisah dari Meo. Aku sangat mencintainya, aku tidak ingin meninggalkan dia dalam kesedihan ketika ajal menjemputku kelak. Tak ada cara lain, aku harus berpisah sebelum dia tau aku sekarat. Tapi apa aku bisa berpisah dari orang yang sangat aku cintai?
Chipy, harusnya aku mengerti isyarat hatimu saat itu. Tanpa bisa kucegah air mata menetes dan jatuh di lembaran kertas diary yang sedang kubaca.
#Dear Diary,
Akhirnya kutemukan cara untuk membuat Meo membenciku, dibantu Raga aku membuat sandiwara itu, Raga memberi isyarat kalau Meo ada di depan pintu kamarnya dan kemungkinan besar mendengar pembicaraan kami. Taukah Diary, saat bersandiwara itu aku menangis tertahan, aku tidak ingin Meo membenciku, tapi hanya dengan cara itulah Meo bisa melupakanku. Aku tidak ingin Meo sedih kalau tau waktuku tak banyak tersisa.
Benar saja, Meo murka, aku dihajarnya tanpa ampun, sakit, tapi tak sesakit hatiku karena harus berpisah dengannya. Ya Tuhan, aku terlalu mencintai Romeoku!
Kugigit bibirku kuat-kuat menahan isak dan air mata yang berhamburan. Ternyata ini adalah caranya menjagaku dari kesedihan. Bodoh! Chipy bodoh! Kenapa kau lakukan itu Chipy?
Aku tak sanggup membaca lembaran berikutnya. Dadaku terlalu sesak, seperti ada jutaan batu besar yang berhimpitan. Aku membiarkan diary itu jatuh ke lantai.
Napasku terasa berat, betapa jahatnya aku selama ini. Apa yang sudah aku lakukan terhadap orang yang sangat aku cintai ini Tuhan?
Chipy.
Matanya masih terpejam, kupegang tangannya yang hangat, kutatap wajah yang sangat aku rindukan ini. Wajah Chipy sangat pucat, dan aku tak bisa menghentikan air mataku. Kuciumi tangan Chipy yang bebas dari selang infus.
"Chipy, ini aku. Bangun Py, aku kangen kamu. Maafin aku udah jahat sama kamu, maafin aku Chipy," aku sesenggukan. Tak sanggup berkata lagi, bahkan bernapaspun kini aku kesulitan, aku terlalu banyak menangis.
Aku merasakan tangan Chipy bergerak, dia balas menggenggam tanganku!
"Chipy, harus kuat, kamu pasti sembuh, iya kan? Jadi pacarku lagi ya Py, aku nggak mau kita putus, aku sayang banget sama kamu!" suaraku bercampur isak tangis. Aku takut Chipy meninggal.
Aku lihat Chipy mengangguk. Matanya mengerjap pelan. Ya Tuhan, aku mohon jangan ambil Chipy, beri aku kesempatan menebus kesalahanku sama Chipy, Tuhan...
"Chipy, kamu pasti sembuh, kita akan jalan-jalan lagi ke taman itu, kita belum sempat gurat nama kita di pohon itu kan? Chipy-nya Meo itu cowok yang kuat, iya kan?" aku ingin sekali menjerit, dadaku teramat sangat sesak. Napasku tersengal.
Tangan Chipy yang dalam genggaman tanganku terangkat, diletakkannya tangan kami di dadaku. Lalu dengan gerakan lemah dibawanya kembali genggaman tanganku dan ditaruhnya di dadanya. Isakku menggila. Kupeluk tubuh Chipy dan aku menangis di sana.
You are my soul satellite
I'd be lost in space without you..
Lagu itu Sayang, ingin kudengar lagi kau nyanyikan di penghujung malam ketika kau akan mengakhiri pembicaraan kita di telepon. Dan aku ingin sekali bibirmu memanggil lagi namaku dengan lembut, Meo, Meo...
Panggil Meo lagi Chipy!
'Cause your life shines so bright
I don't feel no solitude
You are my first star at night
I'd be lost in space without you..
Kenapa diam saja Chipy? Apa kau tidur? Sebentar Chipy, jangan tidur dulu, aku akan minta sama Tuhan untuk membiarkan jantungmu kembali berdenyut, karena aku tak merasakan lagi detak yang katamu selalu menghentak setiap aku berada di dekatmu. Kenapa aku tak mendengar apapun? Bukankah saat ini aku sangat dekat? Jangan tidur dulu Chipy, aku mohon..
####
Malam ini langit gerimis, tapi kau janji akan mengajakku jalan ke taman kota. Dua bulan ini kau benar-benar meluangkan waktu untuk bertemu denganku, dan itu membuatku senang.
Aku masih menunggumu Chipy. Ini kencan kita yang kesekian kalinya kau buat aku menunggu. Sudah kuduga, kau terlambat lagi. Kali ini apa alasanmu? Hmm? Bersiaplah untuk kujitak Chipy!
Sebuah boneka tazmania menutupi pandanganku. Aku meraihnya dan menengok ke belakang darimana boneka itu berasal. Aku merengut kesal, Chipy berdiri dengan senyumnya yang imut. Kalau udah liat senyumnya, aku tak punya alasan lagi untuk tetap marah. Aku berdiri dan menghambur ke dalam pelukan Chipy.
"Maaf, udah membuatmu menunggu lama," Chipy mengusap punggungku memberi efek nyaman luar biasa pada otakku. Semua rasa kesal langsung lenyap tak bersisa.
"Udah biasa kan? Malah aneh kalo kamu datang tepat waktu," aku melepaskan pelukanku, kutatap wajah tampan di depanku. Chipy tersenyum mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku pikir dia akan menciumku, ternyata hanya menempelkan hidungnya ke hidungku. Matanya terpejam. Wanginya begitu menggemaskan. Aku jadi berpikiran nakal. Tanpa dia duga, aku menggigit hidungnya pelan. Chipy terkejut, tapi aku sudah siap berlari menjauh.
Aku tertawa melihat matanya membulat dan bibirnya mengerucut. Dengan gerakan cepat dikejarnya aku yang berlari mengitari tempat tidurku. Aku tak berhenti tertawa. Dan saat Chipy nyaris berhasil menangkapku, pintu kamarku dibuka dari luar. Raga berdiri di sana, di sampingnya ada Arane, dokter cantik sepupu Chipy yang pernah aku cemburui itu, mereka tersenyum menatapku. Aku balas tersenyum. Tapi senyumku lenyap ketika melihat Chipy tak lagi ada di dekatku.
"Chipy! Kebiasaan deh, selalu menghilang tiba-tiba!" aku merengut kesal. Kusibakkan selimut di ranjangku berharap Chipy bersembunyi di situ. Tapi tak ada.
"Chipy! Katanya mau pergi ke taman?" kubuka lemariku, tak ada Chipy.
"Chipy!! Aaah, jangan nyebelin deh!" kubuka kotak pensilku, juga tak ada Chipy di sana. Dengan panik aku menyibak gorden, membuka laci meja, aku mencari Chipy di semua sudut kamarku, tapi seperti biasa Chipy lenyap begitu ada Raga masuk ke kamarku.
Aku membuka pintu kamar mandiku, tempat terakhir yang ada kemungkinan Chipy bersembunyi di situ. Tapi tangan Raga mencegahku, dicekalnya tanganku kuat-kuat.
"Cukup Romeo!! Raga berteriak keras memekakkan telingaku.
"Apaan sih, lepas! Aku mau cari Chipy!" aku mencoba melepaskan tanganku dari genggaman tangan Raga, tapi tak berhasil, tangan Raga kuat sekali.
"Cukup Romeo, hentikan, Chipy udah meninggal Romeo, cukup!" dipeluknya aku sambil terisak.
Eh! Apa katanya? Chipy udah meninggal? Astaga, sepertinya kakakku udah mulai gila! Dia bilang Chipy udah meninggal, padahal Chipy barusan ada di sini, masih tertawa bersamaku.
"Hentikan Romeo, jangan menyiksa dirimu dengan cara seperti ini, Chipy nggak akan tenang di sana!" teriak Raga tak membiarkanku yang meronta ingin melepaskan diri dari dekapannya.
"Raga, lain kali ijin dulu kalo mau masuk ke kamar, kau selalu membuat Chipy ketakutan, dia pergi setiap kamu masuk ke sini," kataku pelan, kali ini tak berusaha meronta, entahlah, tiba-tiba aku merasa lelah tanpa alasan.
"Meo," Arane menyentuh pundakku. Dia memanggilku Meo, seperti panggilan dari Chipy. Aku tersenyum. Raga melepaskan pelukannya tanpa kuminta, dan kakakku yang tampan itu membiarkan Arane menarik tanganku, menyuruhku duduk di tepi tempat tidurku. Aku menurut. Arane sendiri menarik kursi dari meja belajarku dan duduk berhadapan denganku.
"Masih mengenalku?" tanyanya sambil menatapku lembut.
"Tentu saja, kau Dokter Arane, sepupu Chipy,"
"Masih ingat di mana pertama kali kita berkenalan?"
"Di Rumah Sakit?" jawabku ragu. Dia tersenyum dan mengangguk.
"Ya, di Rumah Sakit, di hari yang sama kau datang menjenguk Chipy,"
Aku diam.
"Dan itu adalah dua bulan yang lalu, Meo," Arane menatapku, entahlah perasaanku tidak enak ditanyai seperti ini, aku harus mencari Chipy.
"Maaf, aku harus pergi, Chipy menungguku!" aku berdiri, tapi tangan Arane menahanku.
"Kau akan tetap duduk di situ sampai aku selesai bicara denganmu," nada yang lembut tapi tegas itu membuatku tidak nyaman. Chipy, tolong aku!
"Tapi, Chipy menungguku!" seruku tak sabar.
"Chipy memang sedang menunggumu, Meo. Menunggu kau bangun dari tidur dan mimpimu."
Apa sih? Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan, aku kan sudah bangun!
"Dua bulan ini kau terus tertidur Meo, kau melupakan hidupmu, sekolahmu, kau melupakan Mama dan Papamu, kau melupakan Raga. Bahkan kau juga melupakan Chipy!"
"Aku nggak mungkin melupakan mereka, aku nggak mungkin melupakan Chipy, dia bersamaku setiap hari!"
"Kau melupakan Chipy, Meo, kau tidak tau kan di mana Chipy sekarang?"
"Dia tadi bersamaku, dan pergi setelah melihat kalian datang!"
"Benar kan apa yang aku bilang tadi, kau melupakan Chipy, kau lupa kalau Chipy nggak pernah pergi, dia ada di sini," Arane menunjuk dadaku sebelah kiri.
Aku meraba dadaku. Tempat yang terasa kosong entah berapa waktu lamanya. Bagian dari tubuhku yang selalu terasa sakit tanpa alasan, tanpa aku tau kenapa sakitnya sangat sakit. Dada kiriku, tempat aku menyimpan semua tentang Chipy. Kenapa terasa hampa, kenapa aku jadi pengen nangis?
"Kau harus tau Meo, aku dan juga kakakmu menyimpan Chipy di tempat yang sama, karena kami berdua sangat menyayangi Chipy. Chipy hidup di hati kami, tak pernah pergi. Tapi kami sadar sekarang Chipy punya ruang yang tak lagi sama, dan melepaskannya bukan berarti kami berhenti sayang, Chipy ingin kita menyayangi dia dengan cara yang berbeda. Dan sudah dua bulan ini kamu melupakan Chipy, Meo. Tak ada doa darimu, tak ada kunjunganmu ke rumahnya, tak ada semangat hidup darimu, padahal Chipy menginginkan semua itu. Kau terus saja hidup dengan bayanganmu, kau menyiksa dirimu Meo, dan Chipy pasti tidak suka itu. Dua bulan mungkin tidak cukup untuk menerima kenyataan bahwa Chipy sudah meninggal, pilihlah sebanyak apa waktu yang kau butuhkan untuk menerima takdir kalian, tapi jangan seperti ini Meo, Chipy pasti sedih,"
Aku diam. Diam paling sunyi sepanjang hidupku. Diam yang tanpa aku sadari telah membuatku menjadi serpihan.
"Chipy ingin kau menyimpan diary ini, dan kau meninggalkannya di kamar ICU di hari yang sama saat Chipy meninggal. Ambillah, Chipy menyimpan banyak cinta untukmu dalam diary ini." Arane meletakkan diary bersampul hitam itu di pangkuanku.
Aku diam. Diam paling duka sepanjang hidupku. Diam yang tanpa aku sadari telah membuatku menjadi mati.
Seems like it was yesterday when I saw your face.
You told me how proud you were but I walked away, if only I knew what I know today..
I would hold you in my arms, I would take the pain away.
Thank you for all you've done, forgive all your mistakes. There's nothing I wouldn't do to hear your voice again. Sometimes I want to call you but I know you won't be there.
I'm sorry for blaming you, for everything I just couldn't do. And I hurt myself by hurting you.
Somedays I feel broke inside but I won't admit. Sometimes I just want to hide 'cause it's you I miss. You know it's so hard to say goodbye when
it comes to this.
Would you tell me I was wrong? Would you help me understand? Are you looking down upon me? Are you proud of who I am? There's nothing I want to do, to have just one more chance, to look into your eyes and see you looking back.
If I had just one more day, I would tell you how much that I've missed you since you've been away. Oh, it's dangerous, It's so I'm afraid to try to turn back time. I'm sorry for blaming you for everything I just couldn't do. And I've hurt myself by hurting you.
#####
Dear Romeo,
Malam ini gerimis, hujan jatuh kecil-kecil dan bening. Tetesannya bisa aku lihat jatuh satu-satu dari jendela kamar rawatku.
Kau sedang apa Sayang? Tak merindukanku?
Di sini aku seperti gila merindukanmu Meo, aku ingin sekali melihatmu, aku ingin sekali mendengar suaramu. Tapi aku tidak bisa menelponmu Meo. Kau sulit aku hubungi, dan andai bisapun, aku tak bisa bicara denganmu Meo. Ya, penyakitku ini telah merenggut suaraku, juga pendengaranku, aku bahkan tak mampu berteriak saat aku kesakitan. Dan kau tau apa yang aku lakukan saat sakit menderaku? Aku membayangkan wajahmu Meo biar aku kuat menahan sakitku dan aku bersyukur kanker keparat ini tak membuatku buta, aku masih bisa melihat foto-fotomu dan aku bisa menuliskan tentang rinduku padamu, Sayang.
Maafkan aku Meo, sering membuatmu kesal karena menungguku.
Maaf, sering datang terlambat menemuimu karena aku sulit mendapatkan taksi setiap aku kabur dari Rumah Sakit ini.
Maaf, atas segala keterbatasanku selama menjadi kekasihmu.
Maaf, tak bisa selalu ada untukmu karena Tuhan lebih ingin aku bersamaNya.
Terima kasih Meo, untuk bahagia yang kau berikan.
Terima kasih untuk ciuman pertama kita yang debarnya akan kubawa serta saat Tuhan memanggilku.
Terima kasih untuk semua waktu yang kulalui indah denganmu.
Terima kasih, telah mencintaiku.
Romeo,
Kutinggalkan sebelah sayapku di sini, agar aku tak bisa terbang jauh, agar aku bisa terus denganmu.
Jaga dirimu baik-baik Meo Sayang, Chipy cinta kamu.
.............
Aku duduk di depan gundukan tanah yang masih basah. Kubaca nama di nisan kayu itu, Chipy Anggara. Air mataku kembali jatuh satu-satu, seperti gerimis dalam tulisanmu.
Diary-mu ada di pangkuanku, baru selesai aku baca. Tulisanmu yang terakhir itu berantakan, kau pasti menuliskannya dengan kesakitan. Maafkan aku tak ada di sana saat gerimis menemanimu. Aku juga bahkan tak ada saat tanah basah ini menerimamu dalam dekapannya yang abadi.
Tapi tenang, Sayang, separuh sayap yang kau tinggalkan itu akan mengantarkanku menuju ke haribaanmu. Satu sayatan saja, aku harap itu tak terlalu menyakitkanku.
Tunggu aku sebentar lagi.
"Sudah sore Romeo," Raga menyentuh bahuku. Aku mendongak. Tersenyum pada Raga, kakak tercintaku, juga pada dua laki-laki berpakaian seragam putih yang akan mengantarkanku ke Rumah Sakit Jiwa Bakti Persada.
You are my soul satellite.
I'd be lost in space without you..
Senja yang merah, waktu yang indah untuk berpulang.
TAMAT~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Sedih banget ceritanya
jadi nangis bacanya.
Posting Komentar