Before Sunset


By. Choi Ha Soo
Kadang perpisahan itu seperti ini, sama-sama tidak sadar bahwa ia sudah di ujung jalan dan untuk sekedar melambaikan tangan saja kita tak ada waktu. Maka kadang apa yang di katakan Ibu benar, “ucapkan selamat tinggal sesegera mungkin nak kadang perpisahan tidak bisa di tebak datangnya”
****
Theo duduk gelisah di kursi peron. Seperti juga matahari yang condong ragu-ragu untuk segera tenggelam dan merampungkan senja atau berlama-lama membiaskan cahaya ke dalam sepasang mata yang dengan sendu tengah memandanginya. Senja berpindah ke dalam mata Theo. Juga sebagian mata lain yang sempat memerhatikan senja. Sebab sudah tidak terlalu banyak orang yang peduli pada matahari dan senja. Sebab orang-orang sudah melupakan langit dan sibuk berdesakan dengan hiruk pikuk bumi yang menyesakkan. Sebab orang-orang sibuk dengan kehampaan sendiri-sendiri. Sibuk memikirkan pulang. Sibuk memikirkan lelah. Sibuk memikirkan keluh. Sibuk memikirkan keringat. Sibuk memikirkan tidur yang masih jauh. Dengan berkas-berkas cahayanya. Dengan warna-warna.
Dengan sepi yang ditebar angin dan burung-burung pulang meninggalkan gema kepak sayap di udara. Dengan bunga-bunga menguncup dalam temaram. Dengan segala itu Theo masih duduk menunggu. Sendirian. Gelisah. Sementara matahari belum juga mau pulang. Belum juga mau tidur. Padahal bulan sudah mulai hendak beredar. Sudah cantik berpulas pupur putih cahayanya. Sudah anggun dibalut sutra kain gaunnya. Tapi belum muncul benar, sebab matahari masih juga berjaga di sana, condong. Ia, matahari itu, ingin menemani Theo yang duduk sendiri dan gelisah. Maka senja menjadi lama. Menyiramkan temaram ke sisi kursi di mana Theo duduk sendiri dan gelisah. Sebab senja berdiam diri di situ, maka malam mengembang di tempat lain yang jauh. Malam harus tetap bergulir, walau senja memilih tidak tenggelam dalam detik dan waktu yang terus mengalir. Jadilah Theo itu duduk di payungi senja, seperti dipayungi cahaya lampu yang jingga keungu-unguan warnanya. Sementara duduk dan gelisah itu, Theo berulang mengedar pandangannya. Bolak-balik matanya melongok ke pintu masuk stasiun dan rel kereta yang memanjang dan hilang di kejauhan. Sebentar-sebentar juga melirik jam dinding besar yang detiknya terdengar menyentak. Sepi yang mulai merambahi sudut-sudut stasiun. Sebentar ia pandangi senja, yang memang tidak bergerak. Tidak beranjak. Maka ia bergumam dalam duduknya dan dalam rasa gelisahnya.
berkas-berkas cahaya inipun akan berubah menjadi kenangan detik-detik melenggang tidak pernah memberi jeda terus berjatuhan
tidak ada perpisahan paling sunyi kecuali ketika senja seperti ini dan matamu tinggal mengedip hilang dalam gelap tanpa tanda
jika semua kelak habis kita tak lagi menuliskan kisah apa-apa tinggal merenungi segala jejak yang berserakan mencari makna
Dari kejauhan, dari batas temaram dan kekaburan pandangan, Theo samar- samar melihat kereta datang. Mula-mula lokomotif, kemudian gerbong demi gerbong tampak. Kembali, ia melirik jam dinding besar, kali ini dengan perasaan getir. Ia mengutuk detik-detik, yang, seperti dalam gumamnya, tidak pernah memberi jeda seraya terus saja berjatuhan. Lalu lemah dan putus asa, ia melirik ke pintu masuk stasiun dari balik pundaknya yang jatuh lunglai. Orang-orang sibuk keluar-masuk. Kereta kian dekat. Kereta yang menjadi alasan baginya untuk duduk tidak tenang, untuk gelisah yang kian menggeliat tak karuan. Kereta yang beberapa saat lagi akan menepi dan memuntahkan penumpang. Dan Theo, harus juga bergegas masuk ke dalam kereta itu, duduk di salah satu gerbong, untuk pergi meninggalkan stasiun ini, untuk juga menepi dan dimuntahkan di stasiun lain di tempat yang lain. Tempat yang jauh. Maka ia bangkit dari duduknya. Tapi rasa gelisah dan getir masih memberati tiap langkah yang diseretnya dengan sisa harapan yang sepertinya bakal mati ketika ia memasuki gerbong kereta. Dan akhirnya harapan itu memang mati! Theo masuk dan duduk di salahsatu kursi penumpang di gerbong paling belakang. Lewat jendela kereta, ia bisa melihat jam dinding besar yang suara detiknya tak lagi terdengar. Ia bisa juga melihat ke arah pintu masuk stasiun.
Orang-orang masih saja keluar-masuk. Orang-orang masih saja sibuk. Sementara ia tertelan rasa hampa sendiri, duduk di kursi penumpang di gerbong kereta yang sebentar lagi akan berangkat meninggalkan stasiun kecil itu. Perasaan hampa itu membuatnya terhisap ke dalam perasaan lain, perasaan asing yang memisahkannya dengan kesibukan penumpang lain yang juga naik seraya mencari tempat duduk kosong di dalam gerbong untuk ditempati. Terdengar suara peluit panjang. Suara peluit yang membikin hatinya tambah hampa. Suara peluit yang membuat telinganya pekak dalam bunyi denging panjang yang menyirap segala suara di sekitarnya. Yang ada hanya hening. Yang ada hanya denging.
Kupingnya tiba-tiba terasa sakit. Gerbong bergetar. Kereta bergerak. Theo memandang terakhir kali ke pintu masuk stasiun dengan rasa kecewa. Juga jam dinding besar dan kursi peron tempatnya sebentar lalu duduk menunggu. Kereta melaju meninggalkan stasiun. Senja tenggelam. Gerimis turun.
***
Seorang Lelaki terkapar ditengah jalan. Darah bersimbahan di sekitarnya. Di sekujur tubuhnya. Tertabrak angkutan umum. Tubuhnya terhempas. Kepalanya keras menghantam aspal jalan. Seketika itu juga ia meninggal. Padahal, Lelaki itu harus bergegas menemui kekasihnya yang berjenis kelamin sama di sebuah stasiun kecil tak jauh dari tempat ia tertabrak itu. Ia harus segera menemui kekasihnya yang akan berangkat ke tempat jauh. Ia harus menemui kekasihnya… harus… Orang-orang berkerumun melingkari mayatnya dengan suara-suara riuh. Jalanan macet. Bunyi klakson. Bunyi bicara orang. Bunyi deru kendaraan. Di antara bunyi-bunyi riuh itu, di udara, angin membawa gema sebuah suara: tidak ada perpisahan paling sunyi, kecuali ketika senja seperti ini…
“aku akan tetap mencintaimu walaupun kau tak mau bertemu lagi denganku” gumam Theo dalam hati, ketika kereta telah beranjak membawanya pergi ke kota tujuannya.
TAMAT~

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Miris banget cerita nya

Posting Komentar