UNGGUN



By. Al-Zhafran Aditama (Kacamata Minus).
LIKE yang banyak yah guys, dan besok saya janji bakal posting lagi Who Says 3  .
”Bahkan jika kau tak hadir sekalipun, aku tetap merasa hangat. Tapi mengapa, kehangatanmu membuatku nyaman? Apa karna aku sudah terlalu lama tertelan dingin?”
Indah. Sangat indah. Mencoba membayangkan apa yang kamu berikan di perayaan sederhana bertambahnya usiaku. Hanya aku dan kamu. Berdua. Indah.
Selamat ulang tahun, begitu ucapmu. Seraya menyodorkan kue mini seukuran genggam tangan orang dewasa. Kue itu berwarna coklat, dan terasa seperti .. eh bukan, tapi memang kue rasa coklat. Selanjutnya, kamu memintaku untuk meniup lilin lilin yang ada di atasnya sambil membuat permohonan. Maafkan aku ya, aku tak suka berulang tahun. Aku juga tak suka di paksa untuk merayakannya. Kamu tau? Sebenarnya aku merasa agak risih karena inilah ulang tahun pertamaku. Aku cemberut, kamu bilang aku sedikit kekanakan karena sifatku ini dan kamu menyukainya, tak lama kamu mencolek sedikit whipped cream dengan jari rampingmu yang jail, kamu mencolek krim itu ke sepanjang hidung mancungku, ahh! Kotor semua, aku hampir menyelesaikan umpatan yang ingin aku lontarkan tapi tiba tiba kamu membungkam bibirku dengan bibir lembut kepunyaanmu. Tak sempat aku melontarkannya. Sebenarnya aku tak ingin moment itu berakhir, tapi yaa akhirnya berakhir, akan tetapi berakhir dengan indah.
Sejujurnya, aku masih sedikit tak suka dengan perayaan ulangtahunku sendiri, namun apa yang aku dapat buatku kehabisan stok kata kata. Tindakan nakalmu, keluguanmu, serta ciuman itu. Sempat aku membayangkan, seperti apa saat itu jika tahun ketujuhbelasku aku tak denganmu? Ahh, aku tak tahu.
“Ketika aku lelapkan lelahku, aku berharap engkaulah yang memelukku bagai unggun”
Kamu sempat tuturkan sesuatu yang akupun bahkan tak mengerti, apa maksudnya, dan mengapa. Aku menolak suatu tuntutan darimu. Bahwa berkahirnya “kita”. Aku menyayangimu. Bukan karna ciuman pertama kita dan kedua serta ketiga yang bahkan memang tak ada. Aku tulus, sungguh. Sudah pasti aku menolak pintamu, bahkan kamu sudah tahu hal itu.
Aku tak rela kehilanganmu, aku tak percaya jika aku membutuhkan seseorang yang lebih mencurahkan perhatiannya kepadaku selain kamu. Aku tidak begitu. Aku benar menyayangimu, aku percaya kamu memercayaiku. Namun, mengapa? Kamu batu, aku batu, bahkan akhirnya tak ada pihak yang menang atau kalah. Aku tahu sifatmu yang memang menghindari percekcokan. Benar saja, kamu meninggalkanku sendiri di tempat yang sama dengan kasus whipped cream itu. Hahaha, aku sakit.
“Kini aku hanya merasa hangat, hanya itu. Entah, sesuatu telah hilang. Walaupun aku tahu kaulah yang menghilang.”
Tak terasa setahun sudah aku hidup tanpamu. Akulah orang yang sama, masih sama seperti dulu. Setiap bulan aku mengirimkan hadiah hadiah kepadamu, tepat di hari ketujuhbelas tiap bulannya. Jika kamu tak tahu bahwa itu aku, maka aku sekedar memberitahumu.
Pernah dalam sebulan aku mengirim dua hadiah yang berbeda di hari yang sama. Tepatnya tanggal 17 Februari lalu. Karna, hari itu adalah hari dimana “aku mendapatkanmu” dan “bertambahnya usia mu” jatuh pada hari yang sama
Kamu masih mengganggapnya sebagai kado terindah bukan? Aku masih mengingatnya. Dua tahun yang lalu. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SMA mu, tentu aku juga. Aku kakak tingkatmu, ingat? Di hari itu, semua mengalir begitu saja. Kita berdua, selepas sekolah, masih menunggu hujan reda. Dikantin, tempat yang sangat pas. Kehangatan yang dihasilkan oleh kompor kompor yang dihasilkan oleh tiap etalasenya dan dipisahkan oleh sekat pembatas.
Tak kunjung reda, aku mulai mengantuk. Bersandar di dinding porselen kantin, menguap tanda kantukku. Satu persatu peneduh mulai beranjak namun, aku belum. Sama sepertimu. Eh, tunggu. Kenapa aku tahu … bukan, kenapa aku malah serba tahu tentangmu saat itu? Mungkin aku memang memperhatikan dirimu sedari awal.
Hanya segelintir orang yang ada di kantin. Aku, kamu dan teman temanmu. Bahkan, ibu ibu kantin langganan sudah hendak berkemas pulang. Begitu pula dengan teman temanmu. Aku berpikir bahwa kamu juga akan meninggalkanku sendirian disini. Sendiri. Nyata nyatanya, tidak. Walau kamu beranjak dan melangkahkan kaki, aku tahu kamu tidak akan meninggalkanku. Kenapa? Tentu, kamu malah berjalan menghampiriku dan meminta izin untuk duduk bergabung denganku.
Sebentar saja, kita mudah akrab, padahal aku termasuk orang yang pendiam kepada orang asing. Atau? Alam bawah sadarku sudah mengenalmu lebih dulu? Haaiss. Oh iya, kamu mengingatkan bahwa aku adalah kakak pengampumu selama masa orientasi siswa. Tentu saja aku ingat kamu yang telah kuperhatikan sejak awal hingga detik itupun berlanjut.
Tak lama setelah terjebak nostalgia, kamu bercerita bahwa kamu sedang berulang tahun. Yang keenambelas ungkapmu. Hahaha aku tak menyangka kamu memintaku untuk merayakannya bersamamu, pada detik itu juga. Kamu memintaku untuk memberimu hadiah, menuntutku malah, aha! Apa apaan itu! Tapi yaa, kamulah yang aku perhatikan, jadi tak ada keberatan secuil kertaspun yang timbul. Jika kamu memperhatikanku dengan saksama, pipiku mulai memerah saat kamu meminta hadiah tersebut.
Aku bertanya padamu, hadiah apa yang kamu inginkan, dan aku akan memberikannya jika aku sanggup untuk memberi pintamu. Kamu meminta sebuah jawaban. Ahh! aku tak pernah melupakan moment itu. Bahkan, punya jawaban sesuatupun, aku tak punya. Aku tertawa “tentang hati kak” saat itu aku berlaga bodoh untuk memastikan apa kamu serius”ahaha, kakak bukan anak IPA dek, tapi anak IPS hahah” bodoh ya? Kamu malahan tak menggerakkan satupun otot wajahmu untuk tersenyum. “jawab perasaan aku kaak!” aku terlonjak kaget, kamu menunduk sama seperti saat mengutarakannya, mungkin untuk menyembunyikan rona merahmu. Ini nggak bercandakan? Pikirku. Aku mulai tersenyum senyum edan karnamu. Aku hanya menjawab bahwa aku telah memperhatikanmu semenjak masa orientasi, “sebenernya, aku juga kak” pelan, namun penuh keyakinan tapi masih tak kuat untuk melihat mataku. “Lihat mata kakak, pinta sekaligus jawabku, untuk meyakinkanku bahwa aprilmop tak bergeser 2 bulan lebih awal. kamu tak berani dan menjelaskan mengapa. Kamu minder, simpulku. Ingat saat aku mengangkat dagumu sejajar daguku? Ahh. Sebenarnya aku malu dan itu adalah jawaban “ya” tanpa kata dariku.
Kurasa, tak hanya aku yang memperhatikanmu. Kurasa kita memang saling memperhatikan dan aku yakin hal itu benar adanya.
“Bahkan kamu masih terus meretih hingga habis ragamu menunggu fajar menjelang”
Pernah suatu hari setelah perpisahan itu kamu menghubungiku. “kak, aku kangen” isi pesan singkat paling indah yang pernah kudapat. Kedatanganmu kembali yang tak terduga membuatku mati rasa. Terlalu bahagia aku sesegera mungkin menekan tombol hijau dilayar telepon ku.karna aku takut kamu berubah pikiran secepat perpisahan kita dahulu.
“seriusan, kakak juga kangeeeeeeen banget sama adek” batinku. Begitu nada sambung terhubung, cepat cepat jantung ini berdegup hingga iramanya menyamai nada tunggu teleponmu karna Aku mulai rileks. Yeeeaaaahhhh!!! Diangkaaat! Voallaaa! Tarraaaa! Jeng jeng!! “hallo, hallo, haloo, kakak?” jawabmu ketika aku tak bereaksi dengan segala keajaiban saat itu.
“eh iya halo, apa kabar?” secepat mungkin aku menjawab, aku terlalu takut jikalau kamu malah menutup telepon dariku. Percakapan itu berlangsung dua jam lamanya, aku menyimpulkan bahwa kamu tak berubah sedikitpun. Akhirnya kita sepakat untuk bertemu. Pukul lima sore, hari setelah hari ini, kamu setuju. Aku akan melepas letihku menunggumu, aku bahagia sekali. Di tempat kejadian perkara whipped cream itu. Tempat bahagia sekaligus tempat yang bahkan tak bisa membuatku melupakanmu.
Pukul lima sore, pukul tujuh, saat itu pukul delapan. Kamu tak kunjung datang. Tiga jam lamanya aku menunggu. Aku mulai kecewa. Kamu tahu? Saat aku sampai di café ini aku bahkan rela menunggu lama untuk mendapatkan nomor meja yang sama seperti kejadian whipped cream lalu. Jadi aku menunggu sangat lama saat itu.
Aku tidak bodoh, tentu aku menelponmu. Tak ada jawaban, mengapa? Aku bersikeras bahwa kamu sedang tidak mempermainkanku. Aku yakin kamu bukan orang yang setega itu kepadaku.
Setengah sepuluh, aku meninggalkan café itu, aku sudah menghabiskan tiga iced blended caramel kesukaanmu. Sembari berlalu aku mengirimkan pesan singkat kepadamu yang bunyinya agar malam itu kamu tidak mencariku saat kamu sampai di café, aku sudah pulang, aku sudah letih, dan aku masih mencintaimu.
Parkiran mobil begitu terasa jauh bagiku, ku masukkan perseneling, mundur perlahan, dan mengarahkan mobilku kearah pintu keluar. Sebelum melaju, ku periksa spion belakang untuk memastikan apakah aman, sejujurnya ini hanya kebiasaanku sebelum berkendara. Mataku menyipit saat melihat sosok seseorang yang terseok seok kearah mobilku, orang gila pikirku, tapi sosok itu mendekat dan semakin kehilangan keseimbangan. Sepertinya dia melambai kearahku. Tapi siapa? Belum sempat aku melihat sosoknya, orang itu terjatuh. Tersungkur tepatnya.
“Baramu terus membumbung keangkasa dari sisa sisa semangat yang terus kau pacu untuk tetap menyala, untukku. Terimakasih”
Maafkan aku ya, aku telah menemukan penggantimu. Dialah yang merebut perhatianku.
Aku perkenalkan yaa, orang ini adalah orang yang kutemui dihari dimana aku seharusnya bertemu denganmu, kamu yang tak menemuiku membuat hatiku benar benar dongkol. Mungkin aku bisa membencimu. Oh iya, orang ini tak pernah menuntut apapun dariku, meski kesehatannya selalu memburuk dari waktu kewaktu, aku tetap menyanyanginya. Entah kenapa aku merasa harus menyayanginya meski ia tak pernah bangun saat aku menyatakannya. Orang ini taksadarkan diri, koma lebih tepatnya.
Mungkin aku bodoh, menyukai bahkan menyayangi seseorang yang kebetulan kutemui secara naas. Aku hanya teringat jika kamu selalu menyuruhku untuk selalu menolong siapapun tapi kamu tidak menyuruhku untuk mencintainya juga disaat yang bersamaan. Itulah mengapa aku harus meminta maaf.
Jika kamu bertanya alasan lain aku mengapa aku menyayangi orang ini, mungkin karena semua kekesalanku kepadamu yang bahkan tega mempermainkanku. membuatku lama menunggu, membuatku terus bersedih karna tak ada hal yang harus memaksaku bersedih. Semua ini tanpa alasan, sama sepertimu yang meninggalkanku tanpa alasan apapun, sama sepertimu yang selalu membuatku tersenyum ringan tanpa alasan, dan semua yang tak beralasan akan aku limpahkan kepadamu. Mulai sekarang.
Oh iya, aku meminta doamu ya, orang ini selalu tertidur pulas meski aku sudah berjamjam merayunya, merayu mungkin akan berhasil denganmu yang mulai merajuk. Tak apa, aku tak patah semangat untuk kasih baruku.
Ku ketahui setelah semalaman bersamanya, maksudku menungguinya sampai aku diperbolehkan memasukki ruang inapnya. Dokter menjelaskan bahwa ia sedang mengalami masa masa buruk dalam hidupnya. Yaa, sama seperti di film film, ia terkena salah satu penyakit langka.. eh, bukan tapi tepatnya virus yang ada di salah satu bagian otaknya(aku lupa apa namanya) telah menginfeksi dirinya hingga ia sulit untuk mengingat apapun. Apa aku harus menjelaskannya lagi? Aku anak IPS dan ini bukanlah salah satu dari banyak bidang yang harus ku kuasai. Dan bagian yang terburuknya adalah, ia rutin mengonsumsi obat obatan yang secara tak langsung juga menyerang bagian ginjalnya. Dokter juga menerangkan bahwa ia kambuh karena sudah berhenti mengkonsumsi obat semenjak beberapa bulan lalu, karena jika ia melanjutkan konsumsinya, ia akan mengalami gagal ginjal.
Dan saat inilah waktunya. Ia membutuhkan donor ginjal dan operasi bagian otak disaat yang bersamaan. Saat itu juga.
“Kini kau benar benar dalam kenangan dingin, tak mungkin lagi kau memelukku, tak mungkin lagi kau meretih, kini kau benar benar padam”
Mungkin, kamu akan menertawai dirinya. Saat malam aku menemukannya, ternyata ia kabur dari rumah sakit tempat ia dirawat. Tak ada alasan apapun yang diungkap dokter untuk melatar belakangi tindakannya. Tak ada yang membenarkan alasan apapun yang di kemukakan, karena hingga saat inipun ia masih belum dapat di tanyai. Benarkan? Kamu tertawa. Melakukan hal hal bodoh untuk sesuatu yang tidak jelas. Jelas kamu akan tertawa.
Mungkin, kamu juga akan menertawaiku. Apa aku sudah menjelaskan bagian dimana ia butuh seorang donorer? Bisa di tebak bukan? Yap, akulah yang menawarkan diri untuk menjadi pemasoknya. Kamu mengajariku untuk menjadi baik hati, dan jangan menjadi orang yang bodoh. Yah, sayang sekali, aku sulit membedakannya. Sama halnya dengan menunggu berjam jam sembari berharap kau benar benar akan datang.
Proses donor benar benar sulit, aku harus diperiksa ini itu, selanjutnya aku harus menunggu hasilnya untuk dinyatakan sehat dan terpenting lagi apakah organ milikku ini cocok. Sekitar dua jam nanti, ginjalku mungkin bisa berkenalan dengan pemilik barunya.
Ada sebuah prosedur yang membuatku kerepotan, bukan hanya aku, tapi juga pihak keluarganya, ada sebuah peraturan yang harus menunjukan bahwa kesediaan keluarga pendonor untuk mendonorkan salah satu organnya kepada pihak penerima. Aahahaha, kami kelabakkan saat itu.
“Akan kuberikan sesuatu untukmu, agarkau bisa memeluk seseorang yang kau cintai lagi, lakukanlah tanpa kesalahan...”
Baiklah, bagian kelabakan kurasa tak usah aku ceritakan. Setelah operasi ginjal itu, aku menunggu diatas ranjang sedikit empuk disalah satu ruang perawatan. Kurasa bagian ginjal kananku yang diambil, karena adanya bekas jahitan melintang kurang lebih sepuluh sentimeter. Kamu tahu? Senang rasanya bisa membantu orang lain, sama seperti ungkapmu sewaktu dulu sesaat setelah menolong orang yang tak kamu kenal.
Ada beberapa orang asing yang kulihat disana, kuduga itu adalah ibunya, wajahnya begitu mirip seperti dirinya. Ada juga anak perempuan, bukan tapi remaja perempuan yang sedari aku melihatnya sudah menangis tanpa henti.
Saat tersadar bahwa aku sudah sadar, wanita itu mulai memberikan perhatian, menyatakan bahwa aku adalah melaikat penolong malaikatnya yang lain, dan berbicara bahwa aku sudah tidur selama hampir tujuh jam lamanya, pada intinya adalah malaikat ynag ditolong oleh malaikat lain sedang menjalani operasi pada bagian otaknya. Operasi itu diperkirakan akan berakhir dalam hitungan jam lagi.
Tahu tidak? Jika dipikir pikir mungkin dirinyalah yang terbaik untukku, aku berharap, saat ia terbangun nanti, aku bisa mengenalnya lebih jauh. Hingga akhirnya menjadi duo malaikat meonolong dan tertolong. Aku sangat berharap. Namun, harapan itu sudah pupus.
‘ia kehilangan ingatan jangka pendeknya…’ kurang lebihnya itulah yang dokter sampaikan kepada pihak kelurga lalu selanjutnya di teruskan kepada diriku. Aku tertohok akan hal itu. Itu artinya, kehadiranku hanya akan membebani psikisnya saja. Yang benar saja, aku tak boleh, sebentar bukannya tak boleh tapi lebih berharap untuk mencegah kekacauan otaknya kembali terulang, tidak menemuinya dalam jangka waktu yang tidak dapat diperkirakan, yaah, aku mengalah dan jika itu yang menjadi penyebabnya.
Sedikit sakit rasanya, ahaha sedikit. Rasa sakitnya menyamai kehilangan dirimu yang tiba tiba.
Sesungguhnya aku masih mencintaimu. Sungguh. Bukan bermaksud manjadikanmu sebagai pelarianku saja, tapi lebih karena, walaupun sesakit apa dirimu, aku berjanji aku tak akan pernah meninggalkanmu. Berbeda dengan dia yang sekarang ini sudah ku tinggalkan, bahkan tanpa mengetahui siapa penolongnya, dan menderita apakah dia hingga ada malaikat yang menolongnya.
“dan, lakukanlah tanpa pernah mengingat sebanyak apa kau pernah padam. Sejujurnya, aku sangat nyaman dalam pelukanmu”
Cukup sudah dengan mantan calon kasih sejatiku. Aku kembali padamu.
Aku masih menyayangimu. Tapi aku tak mungkin, karena kamu telah membenciku semenjak aku menolong orang itu. Tiga bulan setelah itu, aku terus berusaha menguntitmu. Kamu dengan pasangan barumu kurasa. Ia cocok untukmu, tak seperti aku yang serba kurang untukmu. Maaf ya, aku menguntitmu. Tapi tenang saja, saat ini aku sudah berhenti, aku tahu bahwa ‘kita’ adalah kesalahan namun sepadan dengan kebahagiaanmu saat itu.
Aku berhenti, karna aku sudah tak tinggal dikota yang sama dengan dirimu saat ini. Sekarang ini aku menyibukkan diri dengan menulis. Dan aku sudah melamar menjadi penulis rubik lepas tentang cerita cerita remaja di sebuah majalah. Dua bulan lagi aku harus menghadiri upacara wisudaku sendiri dan masih berharap kamu akan datang, yaa aku masih berharap dan terus berharap padamu. Maaf.
Oh iya, mengenai perasaanku, aku harap kamu tidak mencariku. Tapi sesungguhnya, aku masih berharap kamu mengerucutkan bibirmu saat mendengar cerita tentang mantan calon kasihku. Aku ingin mendapatkan cemburu itu lagi darimu. Ahh!! Kusibakkan mimpi mimpi itu, nyatanya aku tak dengamu, bahkan tak bisa.
Jika kamu melihat postingan ini, lalu kamu mencoba menggali-gali ingatanmu, hal itu adalah kesalahanku. Kamu tak bersalah karena mencoba membetulkan sesuatu yang tampak salah, itu sudah jadi sifat asli manusia. Tapi sungguh, aku berharap kamu akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita dengan malaikat yang telah kutolong.
Sekali lagi, tolong maafkan aku, jangan cari aku. Aku suda bodoh tak mengetahui seberapa keadaanmu saat aku meminta untuk bertemu. Oh iya, kejadian café itu, aku sudah memaafkanmu. Sebanyak permintaan maafku padamu, yang sudah terbayarkan akan kehadirannya. Saat ini atau seterusnya akulah satu satunya orang yang mengetahui motifnya, maksudku dia sedang mencari seseorang, untuk memenuhi janji. Mengapa aku jadi serba tahu ya? Aku sangat yakin, karena dia datang untuk menemui diriku, Karena dia adalah kamu.
”Mungkin kau lupa akan aku, mungkin juga tidak, atau mungkin kamu berusaha mengingatku sembari berupaya menyalakan bara yang terus mencoba untuk memelukku”
~END ~

JUST YOU AND ME



By.Gaara Nyunyul
Like yang banyak yah Meembs, hargai Authornya dong .
Ada kalanya kita harus berpikir untuk dicintai...
Namun percayalah, cinta itu tak perlu mengenal siapa kamu...
Sebuah tangan menyentuh barisan buku yang terjejer rapi di rak perpustakaan. Jari-jemarinya menelusuri buku demi buku yang terjejer memanjang dalam satu barisan rak. Kening pemilik jari itu berkerut, namun seketika raut wajahnya kembali cerah saat dia telah menemukan sesuatu di sana. Buku yang dia cari! Jari telunjuknya menyentuh sudut buku tersebut namun sebelum sempat menariknya, telapak tangan lain telah merampas buku itu dari seberang rak.
“Hei..!” cowok yang merasa telah mengambilnya lebih dulu berteriak kencang ke seberang rak. Dia bergegas menuju tempat di mana orang itu merampas buku yang telah dia cari. “Aku yang lebih dulu dapat buku itu!” dia berteriak pada pelaku yang sedang memegang buku incarannya. Dia langsung bungkam seketika melihat orang yang sedang berdiri di depannya. Cowok dengan tatapan hangat, dengan alis tebal, bibir tipis, tubuh tinggi dan sosok yang sangat dikagumi di sekolah ini. Adik kelasnya!
“Tapi aku yang ambil buku ini lebih dulu. Maaf, deh!” cowok itu berucap sambil terkekeh riang. Kenavi Reanda Putra. Kalau tidak salah itu namanya. Dia begitu dipuja di sekolah ini sejak pertama kali dia memasuki lingkungan sekolah. Adik kelasnya yang sangat cuek, tapi sangat cerewet dan cerah seperti mentari karena kepribadian hangatnya.
“Nggak bisa gitu!” Kiyo berteriak kesal. “Aku udah cari buku itu dari kemaren-kemaren..! Nggak bisa! Tadi aku dulu yang pegang!” dia masih berteriak protes, sementara Avi begitulah sapaannya hanya menatapnya bingung.
“Kamu butuh banget, ya?” Avi bertanya cepat. Kiyo hanya melengos kesal. Mata sipitnya bergerak menatap wajah Avi. Entah kenapa dia merasa jantungnya berdegup kencang saat ini. Padahal baru kemarin dia putus dengan pacarnya. Cowok. Ya, dia adalah salah satu dari kaum pelangi!
“Aku udah dari kemaren-kemaren cari buku itu..!” Kiyo mendengus. Avi masih menatapnya lalu tersenyum.
“Gimana kalau kita bagi buku ini aja?”
“Maksud kamu?”
“Kita pake jadwal baca aja..! Waktu peminjaman kan enam hari, jadi kamu bawa tiga hari, aku tiga hari..”
Kiyo menggeleng. Wajah khasnya itu mendecih sebal. Ibunya adalah orang jepang, sedangkan ayahnya adalah orang indonesia asli, jadi wajah blasteran yang dominan ibunya itu menggeleng lucu.
“Bukunya tebel kayak gitu, mana bisa kalo baca cuma tiga hari! Aku juga kan sibuk!”
Avi menimang-nimang buku di tangannya sambil berpikir. Dia balas menatap Kiyo. Kiyo meliriknya dengan pandangan mengintimidasi.
“Ya udah, kamu bawa dulu aja, deh! Kalo mau dibalikin ntar kasih tahu aku, ya...! Aku jadi list readernya...” Kiyo mengangguk paham, lalu mengulurkan buku itu pada Kiyo. Kiyo menerimanya.
“Thanks!” Dia berbalik lalu melangkah ke tempat peminjaman. Sebenarnya Kiyo malu, tapi dia menutupi rasa malunya dengan ekspresi ketusnya. Kiyo bukan anak ketus dan pemarah, namun justru dia adalah cowok yang sangat manja. Di rumah saja dia selalu menempel pada Ibunya , atau yang biasa dia panggil dengan Haha-chan. Kiyo melangkah keluar perpustakaan sambil membawa bukunya, novel yang dia cari selama ini. Dia tersenyum senang lalu melangkah riang menuju kelas, berbeda dengan ekspresi galaknya tadi saat bertemu dengan Avi.
“Tunggu!” tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. Suara itu semakin mendekat karena pemiliknya berlari ke arah Kiyo. Kiyo menoleh dan mendapati Avi sedang terengah-engah karena acara larinya. Dia menatap bingung Avi lalu bertanya dengan nada yang berbeda dengan saat tadi di perpustakaan.
“Kamu manggil aku?” Kiyo bertanya cepat. Avi bengong seketika mendengar nada bicara Kiyo yang berbeda dengan tadi saat di perpustakaan, namun kemudian dia tersenyum.
“Aku boleh minta nomor hape kamu, nggak? Biar aku bisa tahu kalau kamu mau balikin bukunya..” suara Avi terdengar berharap. Kiyo balas menatapnya. Apakah dia salah dengar? Kenapa ekspresi Avi sepertinya berharap sekali? Apakah dia juga sama sepertinya? Lebih tertarik pada makhluk yang memiliki jakun di lehernya, sama-sama tidak memiliki payudara, sama-sama memiliki hal-hal lain dalam tubuh seorang pria?
“Hm... oke, deh!” Kiyo menampakkan senyum yang membuat mata sipitnya terlihat semakin sipit. Dia menyebutkan nomor HPnya lalu berpesan singkat, “SMS aja dulu, aku sering dikerjain orang iseng...!” dia tersenyum. Avi terpaku menatap senyum Kiyo lalu mengangguk.
“Eh.. nama kamu siapa?” dia tersadar lalu bertanya gugup.
“Kiyo! Namaku Kiyo..”
“Oh, Kiyo ya...! Namaku...”
“Avi, kan? Aku udah tahu..”
“Kenapa kamu bisa tahu?”
“Karena kamu terkenal di sekolah ini. Adek kelas yang udah menarik perhatian sekolah sejak pertama kali masuk...! Aku bener, kan?”
“Eh..? Itu... Itu...” Avi menggaruk tengkuknya. “Eh? Adek kelas...??” wajah Avi perlahan bengong seketika.
“Aku kan kakak tingkat kamu...” Kiyo terkekeh geli. Dalam sekejap Avi mengubah ekspresi bengongnya menjadi salah tingkah.
“Maaf, kak.. Aku kira... kakak sama-sama kelas satu...! Maaf, habisnya wajah kakak baby face, sih...!” Avi masih menggaruk tengkuknya malu-malu. Perlahan dia menatap wajah Kiyo yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak. Ekspresi imut dan lucu, yang membuat Avi mau tak mau juga ikut tersenyum.
“Nggak apa-apa, kok...! Jadi tadi kamu anggap aku seangkatan? Hehe.. jadi salting sendiri, nih! Oke, deh.. ntar aku SMS deh kalau udah selesai...” Kiyo mengangguk cepat.
“Eh itu... bisa SMS sekarang, nggak kak? Soalnya takut kakak lupa..” Avi bertanya cepat. Kiyo terkekeh lagi-lagi.
“Oke, oke..! Lagian aku juga nggak pikun, kok!” Kiyo mengeluarkan HP dari sakunya dan langsung mengirim SMS kosong pada Avi. Avi merogoh saku celananya dan mengeluarkan HPnya.
“Kok SMS kosong?” wajahnya berkerut.
“Emang aku harus SMS apa?” Kiyo balik bertanya heran.
“Kakak kan bisa SMS ‘Hai, Avi..! Ini Kiyo, disimpan ya nomer ini! Muach..!’ gitu...”
“Apa-apaan itu..?” Kiyo tergelak lagi-lagi. “Emangnya ngapain aku pake muach-muach segala? Kamu kan bukan pacarku...!”
“Eh, maaf...! Bukan gitu maksudku, kak..! Aku nggak bermaksud buat...” wajah Avi merah. Kiyo menyadari ucapannya, lalu langsung berdehem. Jangan sampai Avi tahu kalau Kiyo sebenarnya “berbeda”.
“Aku cuma bercanda, kok..! Tenang aja..!” Kiyo tersenyum canggung. Avi mengangguk, lalu berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Kiyo masih mematung, menatap punggung Avi yang meninggalkannya. Tiba-tiba Avi berbalik dan menoleh ke arahnya, dengan ekspresi kaget dan senyum yang perlahan tercipta di bibirnya. Kiyo balas tersenyum lalu melambai riang. Avi balas melambai dengan ekspresi kikuk. Kiyo mengernyitkan keningnya lalu menepuk dahinya sendiri. Dia pasti sudah gila, Avi kan tidak mungkin sepertinya!
Kiyo mengerucutkan bibirnya lalu masuk ke kelasnya.
***
Kiyo yang baru datang dari sekolah sempat bingung dengan kerumunan di depan rumahnya. Rumah yang biasanya kosong itu sepertinya telah memiliki penghuni baru. Kiyo manggut-manggut, lalu memarkir motornya di garasi rumah. Kiyo masuk ke dalam rumahnya dan mendapati ibunya yang biasa disapa dengan Haha-chan sedang memasak di dapur.
“Haha-chan, itu apa? Kenapa masak banyak banget?” Kiyo memeluk Ibunya dari belakang. Ibunya tersenyum lalu mengelus kepala anaknya.
“Kiyo tahu nggak siapa yang pindah ke rumah depan itu?” Ibunya menoleh, mendapati wajah manis anaknya yang sedang memasang wajah manja seperti biasanya.
“Siapa? Siapa?” Kiyo penasaran. Ibunya tersenyum lalu menepuk kepala anaknya pelan.
“Om Rean! Kiyo masih ingat dia, nggak?”
“Huaaaa??? Om Rean? Beneran?! Om Rean pindah di rumah depan kita itu?? Beneraaaaannnn...??” Kiyo berteriak histeris. Wajah senang dan antusias langsung muncul saat mendengar nama om Rean. Om Rean adalah teman kerja Ayahnya yang dulu sering mampir di rumah Kiyo setelah pulang kerja. Om Rean pernah bercerita kalau dia juga memiliki anak yang usianya setahun lebih mudah darinya. Suatu saat nanti mereka akan bertemu, itu janji om Rean. Tapi sayangnya setelah itu om Rean dipindahtugaskan ke luar kota, dan itu artinya Kiyo harus berpisah dengan om Rean sebelum sempat bertemu dengan anaknya. Setiap kali om Rean mampir pun hanya dengan istrinya, jadi hingga saat ini Kiyo tidak pernah bertemu dengannya.
“Kamu mau ke sana? Sekalian anterin ini, gih!” Ibunya memberikan rantang berisi makanan pada Kiyo. Kiyo mengangguk semangat, lalu meraih rantang itu. Namun tiba-tiba Ibunya menarik rantang itu kembali.
“Kiyo ganti baju dulu!” ucap Ibunya tegas. Kiyo mengerucutkan bibirnya.
“Tapi... tapi... Kiyo maunya sekarang...!” sifat manja anaknya muncul lagi. Ibunya menggeleng geli.
“Ini...! Tapi jangan lama-lama, ya maen di sana! Om Rean dan keluarganya lagi sibuk beres-beres pastinya...” Ibunya mengangguk cepat. Kiyo berteriak girang dan langsung memeluk Ibunya dengan sayang.
Akhirnya di sinilah dia sekarang! Di depan rumah baru om Rean yang berada tepat di depan rumahnya. Dia terus tersenyum riang lalu melangkah masuk ke dalam rumah om Rean yang sedang dipenuhi orang dari jasa pindah rumah. Kiyo melangkah masuk dan tersenyum begitu melihat om Rean sedang berbicara dengan istrinya di dalam rumah.
“Permisi, Om...!” suara Kiyo menginterupsi, mereka berdua menoleh ke arah Kiyo dan langsung tersenyum kaget.
“Kiyo...??!” mereka berteriak bersamaan. Kiyo tertawa dan langsung memeluk mereka. Rantang makanannya dia letakkan begitu saja di lantai.
“Ya ampun, kamu udah gedhe sekarang...! Jadi tambah manis, ya Pa..! Padahal dulu masih kecil aja udah manis, eh sekarang malah jadi tambah manis..! Kamu awet muda banget, sih Kiyo..!” tante Anda, istri om Rean tersenyum.
“Kiyo tetep manja, ya?” Om Rean tersenyum geli. Kiyo mengerucutkan bibirnya kesal.
“Biar aja Kiyo manja! Kan Kiyo nggak punya adek!”
“Lho, Ken juga nggak punya adek, tapi nggak manja kayak Kiyo...!” om Rean menyentil hidung Kiyo. Kiyo mengusap hidungnya dan kemudian menatap wajah mereka.
“Dia dimana sekarang?” Kiyo masih penasaran. Tak lama kemudian suara motor terdengar. Spontan mereka menoleh ke arah pintu saat sebuah suara muncul. Saat itulah wajah Kiyo melongo. Hari yang aneh, semua serba kebetulan! Itu Avi! Jadi anak om Rean itu Avi?
“Kok ada kak Kiyo di sini?” Avi tak kalah kagetnya dengan Kiyo. Kiyo menoleh ke arah om Rean dan tante Anda yang sedang menahan tawa.
“Jadi kalian saling kenal, ya?” mereka mengangguk-angguk mengerti. Avi terkekeh ringan lalu menoleh ke arahnya.
“Kak Kiyo kan kakak kelas Avi! Baru aja tadi siang kenalnya...”
“Iya...!” Kiyo mengangguk mengiyakan. Om Rean menepuk-nepuk kepala Kiyo. Tante Anda mencubit gemas pipi Kiyo. Inilah sikap mereka sejak dulu. Dulu saat Kiyo masih kecil mereka suka sekali mencubit pipi Kiyo, dan sekarang sepetinya masih belum berubah. Tapi anehnya Kiyo sama sekali tidak terganggu dan malah tersenyum senang.
“Mama sama Papa kok malah godain kak Kiyo, sih?” suara Avi menginterupsi kegiatan mereka.
“Biar aja, Mama suka sama dia! Unyu-unyu, tau!” tante Anda tersenyum lalu menjawil hidung Kiyo. Kiyo menatap Avi dengan pandangan tidak enak.
Akhirnya setelah acara pencubitan itu Kiyo sengaja menemui Avi yang sedang berada di kamar barunya. Kiyo hanya berdiri di depan pintu dan menggaruk tengkuknya.
“Maafin aku, ya..! Aku nggak berniat buat cari perhatian orang tua kamu..” suara Kiyo bergetar. Dia ingin menangis tiba-tiba. Avi menoleh ke arahnya, dan sedikit kaget melihat ekspresi Kiyo yang sepertinya siap untuk menangis itu. Avi berdiri, menarik tangan Kiyo masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya.
“Kak Kiyo, jawab pertanyaanku, ya...! Aku mau kak Kiyo jujur sama aku..!” Avi menatap wajah Kiyo yang sedang menunduk. Tangannya menyentuh pundak Kiyo. Kiyo mendongak, dan menampakkan wajahnya yang sudah berkaca-kaca. Dia terdiam lalu memalingkan wajahnya. Dia mengangguk pelan.
“Vendy Atma Brifandi itu mantan pacar kakak, kan?” suara Avi bergetar.
Deg! Wajah Kiyo pucat seketika. Dia mengangkat wajahnya menatap mata Avi.
“Ke..kenapa kamu bisa tahu..?”
“Aku tahu, karena dia sahabatku! Dia selingkuh, dia udah nyakitin pacarnya..! Aku nggak suka perbuatan dia, karena itu aku nyoba buat selidiki siapa pacarnya, dan aku tahu kalau itu kakak..! Untuk pertama kalinya aku merasa ada sesuatu di dalam sini yang memaksaku untuk melindungi kakak...” Avi menyentuh dadanya. “Saat itu aku baru menyadari kalau aku benar-benar sayang kakak! Aku memutuskan untuk masuk sekolah yang sama, dan aku dukung Papa untuk pindah rumah ke sini. Selain itu, kejadian di perpustakaan itu emang aku sengaja buat deket sama kak Kiyo..! Aku sayang kakak...! Aku cinta kak Kiyo..!”
Kiyo menatap wajah Avi, namun perlahan air mata telah menetes di pipinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini dia merasa begitu dicintai. Walaupun dia telah berganti-ganti pacar, namun selama ini dia tak pernah merasakan perasaan ini. Perasaan seolah-olah dia dianggap sebagai barang berharga dan langka di dunia ini!
“Aku cuma cowok manja...” Kiyo menunduk. Dia merasa tak pantas untuk dicintai seperti ini.
“Aku tahu! Tapi aku suka kalau kakak manjanya ke aku!”
“Aku cengeng...”
“Aku bakalan minjemin dadaku buat kakak kalau lagi nangis...”
“Aku egois...”
“Aku bakalan kabulin semua yang kak Kiyo minta...”
“Aku...”
“Aku sayang kak Kiyo.. eh, salah... aku sayang Kiyo...”
“Aku... nggak pantas dicintai kayak gini...”
“Nggak pantas untuk orang lain, tapi hanya aku yang pantas untuk mencintai dan dicintai Kiyo! Apa itu cukup?”
Kiyo mendongak, menatap mata Avi yang sedang menatapnya lembut. Dia mengangguk pelan, dan Avi langsung mengecup keningnya sayang. Kiyo tersenyum manis. Avi menghapus air mata di pipi Kiyo dan balas tersenyum. Mereka berpelukan sayang.
“Keeeennn....? Kiyo manaaa...?? Dia dicari Ibunya, nih..!” suara tante Anda menginterupsi. Kiyo langsung melepas pelukannya dan membuka pintu kamar Avi. Namun sebelum kaki Kiyo melangkah pergi, Avi berbisik di belakangnya.
“Mulai sekarang dan seterusnya kamu harus ingat kalau ada cowok brondong yang jadi pacar kamu, lho...!”
Kiyo menoleh ke arahnya, mencubit hidungnya, lalu menjulurkan lidahnya mengejek.
“Tunggu sampe aku selesai baca novel, aku pertimbangkan!” Kiyo berlari ke ruang tamu, menemui Ibunya. Mereka pulang, namun sesaat Kiyo menoleh ke arah Avi yang sedang berdiri di pintu kamarnya. Avi tersenyum lembut dan membuat tanda hati dengan tangannya. Kiyo berdecih sebal, namun semburat merah menghiasi pipinya. Malu.
“Cih! Dasar kekanakan!” dia bersungut-sungut sambil menahan tawa. Tawa bahagia. Saat ini di dunianya hanya terlihat Avi dan dirinya! Hanya mereka!
END.

Kau Tetap Sahabatku


By,,. Shii Bochah Muchil
Di like sebelum baca yah member ingat satu like sangat menghargai cerpen penulis.
Good reading guys…
*****
Perkenalkan namaku Irvan. Lebih tepatnya Muhammad Irvan.
Aku dilahirkan dari 8 bersaudara dan aku anak ke 5. Mungkin hal tersebut sangat berpengaruh bagiku terutama bagi kehidupanku.
Kasih sayang dari orang tua sangat jarang untuk ku dapat apalagi saat aku Menempuh pendidikan di tingkat Mts(sederajat smp),, mereka sibuk mencari Nafkah untuk anak-anak mereka sekolah,,. Dan rasa yang ku derita juga menimpa adik dan kakak kakaku,.. akan tetapi kami memahami dengan keadaan kami ini,,. Dan kami saling mengerti antara satu dengan yang lainnya.
Setelah lulus MTs aku putuskan untuk menempuh pendidikanku selanjutnya di sebuah pondok pesantren yang berlokasi di Martapura, yang artinya sangat jauh dari tempat tinggalku yaitu di Palangkaraya.. Walaupun masih dalam satu pulau, menurutku perjalanan Palangka-Martapura begitu memakan waktu.
Dengan bekal seadanya yang diberikan oleh orang tua ku,. aku mencoba untuk mulai kehidupan yang baru. Walaupun waktu itu usiaku masih tergolong sangat muda yaitu sekitar 16 tahunan, tapi usia tidak menyurutkan niatku untuk hidup mandiri di kota Intan sana,,, menempuh ilmu agama,.. dengan mimpi semoga aku dapat berguna bagi Bangsa terutama Agama islam yang hampir Tergilas akan jaman yang kejam ini.
Oh iya,,, di sini sukurnya aku punya paman dan bibi walaupun hanya sepupu ayahku tapi mereka sudah ku anggap sebagai paman dan bibi saudara ayahku. Mereka punya kost kostan spesial putra yang lebih populer di sini sebagai asrama(pondukan). Dan mulai sejak itu aku resmi menjadi seorang anak pondok.
Keesokan harinya aku mendaftar sekolah di sebuah pondok pesantren terbesar di Martapura yang pastinya ditemani oleh sepupuku (anak dari pamanku). Yang Ia juga sekolah disini kelas 3 wustho(sederajat 3 SMA), kira kira umurnya 18 tahun namanya adalah Zean. Pamuda yang tampan dan sosok kakak yang baik. Akhirnya setelah tiga hari berlalu dan aku telah mengisi beberapa perlengkapan pendaftaran maka pada hari sabtu yang tanggalnya ku lupa aku mulai menempuh pelajaran di bangku kelas 1 wustho lokal f di pesantren tertua di Kalimantan Selatan ini. Santri putra masuk dari jam stengah 8 dan pulang jam 12 tepat. Dan di lanjutkan dengan masuknya santri putri saat jam stengah 1 siang sampai jam 5.
Aku harus bilang waw (Seperti itu),,, satu kelas diisi oleh 60-75 siswa, dan tiga orang siswa duduk pada satu bangku panjang, dan yang lebih waw lagi saat Ustadznya membacakan kitab, harus memakai pengeras suara, agar dapat didengar oleh 60-75 siswa yang ada dalam satu kelas tersebut.
Hari pertama begitu mengasyikan aku berkenalan dengan beberapa orang asli martapura dan sekitarnya, walaupun jujur aku begitu sulit mencerna percakapan mereka, tapi mereka orangnya baik baik.Ustadz ustadz di sinipun ramah semua dan punya ilmu yang sangat tinggi dalam kitab kuning.(kitab arab yang super tebal, tanpa ada baris satu hurufpun.)
Untungnya aku sekolah di Mts, sehingga aku dapat lebih memahami dengan kitab kitab tersebut. Walaupun tidak sehebat dengan teman teman sebangkuku yang belum ku kenal ini.
Sepulang sekolah aku berjalan kaki menuju asrama,walaupun aku punya paman yang punya asrama tapi aku putuskan untuk mandiri untuk tidak menumpang di rumah mereka. Padahal mereka sangat memeksaku untuk tinggal di rumah mereka yang jaraknya sangat dekat dari asrama.Tapi saking baiknya mereka aku diijinkan untuk tinggal 1 bulan tanpa harus bayar, setlah itu aku harus bayar seperti anak yang lain, dengan pastinya di berikan diskon oleh mereka. Walau aku sering tak enak hati dengan mereka akan tetapi di sisi lain aku sangat senang dengan kebaikan mereka.
Oh tidak,,,, betapa terkejutnya aku ada seorang laki laki yang berada di kamar asramaku tepatnya dikamarku.
”kau siapa?” Tanyaku padanya, Sontak diapun terkejut dan menoleh ke arahku, akan tetapi rasa terkejut itu sirna di kala ia telah melihatku.
”Ouuh iya,,,, hai aku Imam kau Irvan kan?” Jawab serta Tanyanya balik.
”ya,,dari mana kau tau nama ku dan sedang apa kau di kamar ku?” Jawwabku dan tanyaku balik.
”aku anak baru di sini dan aku juga baru sampai di tempat ini ,oh iya aku juga sekolah di tempat kau sekolah tapi aku baru dapat masuk besok. Dan aku ada di sini karena aku memeng di tampatkan disini oleh ibu asrama.” Jelasnya yang hanya dapat kata oooo dari mulutku,...
”ouhh,,salam kenal ya, kalau ku boleh tau kamu orang mana?” Tanyaku sambil memberikan tanganku padanya.
“aku orang Samarinda, kalau kamu” Sambutan tanganku di ambilnya dengan hangat.
“oughh kalau aku orang palangka, salam kenal yaa.” Jabatan tangan kamipun berakhir.
“yaa salam kenal juga” balasnya dengan ramah.
Hari itu ialah hari pertama kami bertemu aku dan dia bercerita tentang jutaan kisah hidup kami masing masing.oh iya kami memiliki banyak persamaan dari segi hobi dan makanan kesukaan, kami sama sama menyukai memancing, sepeda serta berenang, dan kami sama sama suka makan nasi goreng karena makanan yang praktis, Iman adalah lulusan pesantren yang ada di kota samarinda sehingga mungkin ia akan lebih ahli di bidang ilmu ini dari pada aku.
***
Adzan subuh sudah sangat keras terdengar di telingaku, maklum di tempat ini (Martapura) penuh dengan mushalla dan Masjid,
Ku lihat ranjang disebelahku sudah sangat rapi
‘kemana imam yaa rapi banget ranjangnya?’ tanyaku dalam hati. Aku pun mulai membawa badanku untuk bengun di pulau kapukku, pulau kapuk yang selama 1 Minggu ini telah menemaniku.
“Hey,, sudah bengun yaa”, tegur Imam,,
“ HAAA Iya nih padahal masih ngantuk banget, oh iya kamu abis dari mana?” tanyaku dengan mulut sambil menguap.
“Aku habis ambil udhu di belakang, oh iya air sungainya seger banget” jawab nya sambil merindingkan badanya keenakan.
“Emang baru ngerasain yaa air sesegar itu?” tanyaku haran.
“bukannya ga pernah ngerasain air segar seperti ini, cuman takjub aza gitu dengan tempat ini, di sini tuuu, tempatnya adem banget sungainya bagus, santrinya juga keliatan baik baik dan relegius malah, oh iya kapan kamu ambil udhunya? kita sholat bareng ajah, ayo cepat nanti keburu Iqamah, lagi” serunya dengan langsung ku sigapi dengan ambil air udhu di belakang asrama kami, yang langsung bersambung dengan Lanting yang mengapung bagus di pinggir sungai sungai.
****
Indah amat indah dan sangat teramat indah,.. dapat mengenal teman-teman yang ada di sini membuatku sangat bahagia,.. Imam yang jadi teman sekamarkupun merupakan teman terbaik yang ku miliki. Hari hari ku lalui bersama Imam memang sungguh menyenangkan suka dan duka kami lewati bersama, pahit dan manisnya hidup di asrama kami nikmati dan kami lalui, saat kami terlambat untuk solat ke musholla, Imam selalu menjadi Imamku saat solat, karena sekali lagi Imam lebih segalanya dari diriku. Imam kau sosok yang sempurna, sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
****
Muhammad Ihsan,, Muhammad Ilham, Muhammad Irvan,, Secara bergantian Pak Ustadz yang selaku wali kelas di kelasku menyebutkan nama-nama santri untuk mengambil raport kenaikan kelas mereka masing-masing.
Dan Dammnn, itu namaku aku pun melangkah untuk mengambil hasil raport itu,, dan semoga saja aku dapat naik kelas dan nilaiku lebih tinggi dari semester yang kemaren..
“Bismillahirahmanirrahim” ucapku seraya mulai membuka raport yang bercover tulisan Arab itu,...
“Hufhhhhh,,.. Paling tidak Aku naik” ucapku lega saat aku melihat tulisan tidak naik kelas (sudah di terjemahkan) telah di coret sang ustatdz dan ini berarti aku telah resmi naik kelas. Kami satu kelas yang di diami oleh 65 santri ini merasa sangat senang karena semua santrinya naik kelas, dan tak ada yang tinggal kelas.
“Gimana nilaimu Van??” tanya Imam saat kami bertemu di jalan untuk pulang. Memang wajar Imam berkata demikian karena kelasku dan kelas imam beda lokal. Aku di lokal 4f dan ia di lokal 4h
“Ga bagus-bagus baget sih,, tapi cukup kok untuk membuat aku naik ke kelas 2 Wustho” ucapku bercampur rasa antara senang dan lumayan kecewa.
“Udahlah Van,,, jangan sedih,, masih ada 9 tahun lagi kok, buat memperbaiki nilai” ucap Imam memberi semangat.
“Okee, bagaimana denganmu,.. jangan-jangan kamu tak naik kelas,,..” ucapku menyindir yang langsung di sambut wajah cemberut dari Imam
“Bercanda Ma,,, bercanda,.. Masa Kamu yang pinter ini ga Naik kelas,,,Heee” nyengir kudaku muncul lagi.
“Iya Van,,, Alhamdulillah aku juga naik kelas kok,, yaa, dengan nilai yang lumayan lah” ucapnya yang akhirnya kamipun pulang menuju asrama bersama, dengan jarak yang tidak terlalu jauh kami sampai di asrama dengan sangat cepat.
Yaaa,, satu tahun telah berlalu dengan sangat cepat memikirkannya bagaikan kami melaluinya hanya satu menit,,, tapi menjalaninya membuat kenangan kami tak terlupakan seumur hidup.
Aku dan Imam menjadi sahabat yang sangat dekat,, pergi ke pengajian kami selalu bersama,,, solat berjamaah bersama, dan kadang kami ber2 solat berjamaan jika waktu menghalangi kami ke masjid atau musholla, setahun pula kami sering maka bersama, memasak bersama di dapur kami yang ukurannya tidak seberapa,.. dan kadang membeli makanan di warung jika bulan telah sampai saat masih muda.
Hingga rasa aneh itu muncul,,, rasa aneh yang aku tak tau itu apa,,,.. rasa di mana keganjilan itu menimpa,.. rasa di saat aku bingung jika tak bersamanya dan rasa di mana aku sangat senang jika sedang berdua. Rasa itu kian melekat seiring berjalannya waktu dan rasa itu semakin dalam untuknya,....
*****
Rasa itu ada, bahkan sangat terasa...
Memang rasa itu tak terlihat akan tetapi ia nyata,..
Nyata dalam hatiku yang kian hari kian menyiksa,,,
Menyiksa diri dan relung jiwa...
Oh tuhan rasa apa ini,,,
Aku tak ingin memilikinya,,,
Dan Aku tak ingin salah saat aku memilikinya,,,
Dan Apakah ini ,,,,
Yang di namakan......
JATUH CINTA
*****
“Jadi kau sungguh-sungguh akan pulang kampung tahun ini??” tanyaku pada Imam yang sedang memulai memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas.
“Iya Van aku kangen rumah,, dan ibuku tidak sabar melihat nilaiku,, walaupun tidak bagus-bagus amat,,..” Imam sambil tertawa berbicara dengan pandangan masih terfokus pada ransel yang akan ia bawa,, tak melihat di sini sahabatnya sedang merasa di tinggalkan.
“Vannn,,,..” Tegur imam setelah ia selesai mengemasi barangnya,.. dan aku masih terdiam di kasur yang berseberangan langsung dengan kasurnya,.
“Hmmm, iya mam,..” aku bahagia ia dapat kembali menyapaku, setelah asyik hanya berkutat dengan barang bawaannya.
“Emmmm,, Aku janji Van,, gak bakal lama kok, kan kita liburan cuman dua minggu aja.” Ucap Imam yang mungkin melihat mimik sedih dari mukaku sebelumnya.
“Iya mam,,, ga papa, dan itu juga hak mu kok” jawabku sekenanya,.. kami melihat dan memandang satu sama lain,,, pandangan imam hanya seperti pandangan sahabat yang akan pergi, akan tetapi berbeda dengan pandanganku.
Yaaahhh ulangan kenaikan kelas telah di laksanakan nilai pun telah di bagikan dan liburan telah sampai,..
2 minggu waktu yang di berikan para Ustadz di sekolah sudah sangat cukup untuk para santri di sini pulang ke kampung asal mereka termasuk teman sekamarku ini,.. besok subuh ia akan pergi ke Samarinda pergi ke tempat sang orang tuanya mencari nafkah untuk anaknya sekolah di sini,.. Yaaa, karena Imam adalah anak tunggal yang tidak memiliki saudara.
Sedangkan aku. Hmmmmm,, Orang tuaku mungkin sudah lupa dengan anknya ini, sehingga tak ada niatan aku untuk pulang ke Palangka, dengan memutuskan untuk tetap di Martapura kota yang telah ku diami selama satu tahun ini.
*****
“Jangan lupa oleh-olehnya ya mam,” ucap kak Zean yang mengantarkan imam bersamaku.
“Iya kak, Insya Allah. kakak mau apa. mau batu gunung dari samarinda yaahh, atau mau batu halaman rumahku, itu kan juga oleh-oleh dari Samarinda” ucap imam meledek kak Zean.
“Jika kau mau, yachhh, bawkan aku batunya. tapi batu permata yahhh” Balasan canda kak Zean dapat membuat kami bertiga tertawa. Yaaa. selepas sholat Subuh tadi,, aku di bantu oleh kak Zean mengantarkan imam ke Terminal Bis Kota yang letaknya tak jauh dari Masjid Al-Karomah (Masjid terbesar di Martapura)
Kami masih bercanda bertiga di samping bis yang akan di tumpangi oleh imam,.. mungkin kami datang terlalu pagi sehingga belum banyak orang yang datang baik para penumpang walaupun keluarga yang akan mengantarkan,
“Oh yaaa,,, Kak Zean,
Jaga Irvan baik-baik yah kak, kalau ia nakal rajam ajah kak” Ucap Imam yang seolah-olah meledekku.
“Imaaaammmmmm” Ucapku agak sedikit berteriak sambil mencoba memukul bahu Imam, akan tetapi ia cepat menghindar.
“Iya, iya, aku cuman bercanda kok Van,” ucapnya sambil menghindar, dengan melepas tawa.
Dan kak Zean pun hanya dapat tertawa melihat tingkah laku kami yang sering kami lakukan ini, dan beliau sangat memakluminya.
“kayaknya penumpangnya sudah banyak yang naik dannn, emmm,. Kayaknya aku juga, akan naik. ” ucap Imam setelah kami puas tertawa.
“Jaga diri baik-baik yah Mam,, perlihatkan jika santri Martapura itu adalah santri yang baik dan berakhlak mulia di kota Samarinda sana” Nasehat kak Zean yang hanya di tanggapi dengan anggukan mengerti dari Imam,..
“Akhhh kakak ini, kaya Imam yang mau pergi selamanya saja, kan hanya 2 minggu ka” aku kesal dengan ucapan Kak Zean yang seakan seperti melepas ke pergian imam yang akan lama.
“Irvan,, kak Zean ga bercanda, ini serius. banyak santri sini yang pulang hanya membawa nama buruk kota ini, dan kakak ga mau itu juga terjadi pada Imam” ucap Kak Zean yang berhasil membuatku hanya mengangguk dan menundukkan kepala sama halnya yang di lakukan oleh imam sebelumnya.
“Iya kak, Insya Allah, imam akan memperlihatkan Akhlak dan kebaikan dari santri Martapura, dan emmm. makasih nasehatnya ya Kaa. aku berangkat dulu.” Imam menyalami tangan Kak Zean dan menciumnya. yaaa Ini memang wajar walaupun usia kak Zean hanya terpaut 3 tahun lebih tua dari usia kami, akan tetapi kami telah menganggap beliau orang tua kami karena beliau selalu mengajarkan kami apa yang kami tak ketahui. Dan selalu memberikan teladan yang baik kepada kami.
“Vannn, aku berangkat yah.” Ucap Imam selesai menyalami dan mencium punggung tangan kak Zean, seraya mengulurkan tangannya kepadaku.
“Iya Mam, moga sampai pada tujuan yaaahh” Ucapku mengambil uluran tangan Imam. Dan imam langsung mendorong punggung tangannya agar aku menciumnya sama halnya dengan apa yang ia lakukan terhadap Kak Zean. akan tetapi aku langsung membuang muka, enak saja aku harus mencium tangannya, kamikan masih seumuran.
“Hey aku ini lebih tua darimu” ucap Imam dengan mimik protes.
“cuman 2 bulan kok” jawabku protes pula, Akan tetapi jabatan tangan kami masih sangat melekat. dan kami terdiam sejenak saling memandang
Dan,
dammmmmmn,
“Aku bakalan sangat merindukan kamu di sana Van.“ Ucap Imam memelukku dengan sangat erat.
“aku juga mam, 2 minggu, akan terasa 2 tahun buatku. Jika tak bersamamu mam Sahabatku.” tak kalah erat aku memeluk tubuh imam yang ukurannya hampir sama denganku ini.
“Jaga diri baik-baik ya Van,” ucap Imam di sela pelukannya.
“Kamu juga mam, Jangan terlalu larut malam jika mengaji. walaupun mengaji adalah hobimu. Dan kau jangan lupa untuk menjaga kesehatanmu.” Nasehatku yang selalu ku berikan pada Imam, aku pun berkaca-kaca dan masih dalam pelukannya.
“Iya Van, kau juga, jangan telat makan yahh, aku tak mau jika saat aku datang kau semakin kurus.” Ucap Imam yang sangat tau akan kelakukan ku yang sering telat makan.
“Iya Mam, aku janji” dan pelukan kamipun berakhir. Airmataku menetes entah mengapa, dan kulihat pula Matanya pun berkaca-kaca.
****
“Sudahlah van,,, jangan bersedih, cuman 2 minggu saja, kalian berpisah” ucap kak zean menghiburku setelah sebelumnya melihat mimik sedih di wajahku ketika melihat bis itu telah melaju jauh.
“Iya kak,, cuman 2 minggu, dan emmmm, semoga tak lebih.” Ucapku menundukkan kepala.
“Hey, jangan bersedih dong, kan kalian juga pernah berpisah satu bulan saat bulan puasa kemaren” ucap kak Zean berusaha menghiburku kembali,, yaaah beliau tau sekali akan kedekatan aku dan Imam. Dan bagaimana kami (aku dan Imam) menjalani hari bersama.
“Tapi saat ini beda ka, kenapa yahhh???” ucapku kembali mengangkat kepalaku.
“Hemmm, sudahalah,, untuk menemanimu biar kakak saja yang jadi pengganti Imam, toh teman-teman kakak juga banyak yang pada pulang kampung” ucap Kak Zean sambil menggandeng bahuku.
“Oke kak,” ku berikan satu jempol pada kakak sepupuku ini dengan mengembangkan senyum tipisku sebisa mungkin.
‘Hanya 2 minggu Vann,,, tak lebih dan tak akan lebih,, aku akan menunggunya lagi 2 minggu disini,,, di tempat ini,,, di stasiun bis ini,.... Aku akan menunggumu selalu Mam,,,.. ‘Muhammad Khairul Imam’ Sahabatku,,,,,
Yang kucinta
*****
Author Story Pov :
~12 Years Latter
“sodokollhul Adzim” Seorang pria dalam kamar menutup lembaran kitab suci yang telah ia baca selama satu jam yang lalu.
Mendengar selesai membacakan ayat demi ayat al-Qur’an seorang wanita masuk kedalam kamar tersebut.
“Assalamualaikum” Ketuk wanita nan jelita itu.
“Walaikum salam, masuk Nis” Sang wanitapun membuka pintu dan masuk kedalam serta duduk di samping sajadah sang pria.
“Ada Apa Anisah?” tanya sang pria.
“Ini mas, Tadi ada undangan dari pengurus masjid katanya sore nanti masjid akan mengadakan buka puasa bersama” Jawab wanita yang akrab di panggil Anisah itu.
“Kok dadakan sekali Nis?” Tanya sang Pria heran.
“Anisah Juga gak tau mas, katanya yang akan memberikan tausyiah bisanya datang hari ini, jadi mungkin itu penyebabnya acara ini diselenggarakan secara dadakan.” Jelas Anisah kepada pria yang tak lain dan tak bukan adalah suaminya.
“oh, memangnya siapa Nis, ustadz yang akan memberikan tausyiah nanti.” Sekali lagi Sang suami bertanya.
“Katanya Ustadz dari Kota Palangkaraya yang dulu sekolah di Martapura, em. Sekolah tempat mas dulu menuntut ilmu bukan itu mas?” Tanya sang istri berbalik, akan tetapi sang suami tak menjawabnya dan hanya raut kebingungan dan kegundahan yang menimpa hati sang suami.
‘Ustadz dari Martapura, Asal Palangka? Apakah?’ Hati sang suami masih bertaut kebingungan.
****
Irvan Story Pov :
Aku telah sampai di Kota ini, kota yang semenjak lama aku ingin datangi, berharap suatu harapan yang dulu ku nantikan akan ada disini.
Sesampainya di masjid kota yang paling besar di kota ini, aku berjalan menyusuri beberapa Jama’ah yang telah terlebih dahulu duduk di saff bagian depan. Akupun duduk di tempat yang disediakan panitia sebelum akirnya aku memberikan tausyiahku di bulan ramadhan yang penuh berkah ini.
Untung sekali bagiku mendapatkan undangan memberikan Tausyiah di Kota Samarinda, Kota yang dulu Ku nantikan seseorang pulang dari sana.
Hingga akhirnya pembawa acara mempersilahkanku untuk memberikan tausiyah. Akupun berdiri mengucapkan salam Kepada Jama’ah yang begitu banyak ini. Di bulan puasa memang jama’ah selalu gemar buka di masjid apalagi ada tausiyah dari ustadz yang datang dari luar daerah, dan mungkin termasuk daerah kota yang sedang aku datangi ini.
“Assalamualaiku Warahmatullahi wabarkatuh,..” Ucapan salamku di sambut hangat oleh semua Jama’ah.
“Walaikum salam Warahmatullahi wabarkatuh,..”
Mataku berputar sedikit melihat betapa padatnya jamaah masjid,
‘Tunggu dulu,. iaaa,,, apakah itu dia?’ Hatiku bertaut antara benar atau tidak menerka seseorang yang sedang duduk pada bagian paling pojok belakang masjid.
‘apakah itu dia?’ sekali lagi aku terdiam, akan tetapi deheman dari pembawa acara berhasil membuyarkan diamku dan aku melanjutkan tausyiahku, walau jujur pikiranku sangat tidak konsentrasi.
Setelah tausyiahku selesai, kamipun membaca do’a dan tak lama adjan maghrib pun tiba pertanda kami telah menunaikan ibadah puasa kami hari ini dan menikmati indahnya berbuka.
***
Setelah selesai solat maghrib berjamaah bersama, beberapa jama’ah pulang kerumahnya masing masing dan beberapa lagi masih diam di masjid untuk bersholawat atau diam menunggu azan isya untuk sholat tarawih bersama. Sedangkan aku tengah mengobrol masalah agama dengan beberapa pemuka agama dan para sesepuh di masjid kota ini untuk menantikan tibanya waktu solat isya dan dilanjutkan dengan terawih berjamaah. Sesekali aku mencuri pandang pada seseorang yang semenjak tadi memecahkan konsenterasiku, konsenterasiku sudah mulai buyar, saat menyampaikan tausyi’ah tadi pun aku gugup entah mengapa, akan tetapi aku masih dapat meminimalisir rasa gugupku tersebut.
Aku memberanikan diriku untuk mendatangi orang tersebut, setelah meminta izin kepada para pemuka masjid untuk menemui orang itu dan mulai dengan perlahan aku mendekatinya.
Langkahku semakin dekat semakin lambat, Sebenarnya aku menggunakan celana kain panjang dan bukan sarung. tubuhkupun gontai, pandang ku hanya terfokus pada pria yang duduk di pojok shaff hampir paling belakang dari shaff pria tersebut.
Perlahan demi perlahan aku melangkah, dengan nafas yang sangat sedikit, entah kenapa nafasku seakan habis dengan kejadian ini.
Sekarang,
Aku sudah berada tepat di depannya, aku masih berdiri sedangkan ia masih dengan duduk bersilanya dan hanya menundukkan muka.
Akupun duduk bersila didepannya mengikuti duduk yang ia lakukan.
Ia masih menundukkan muka.
“Ahlan wasahlan ya Akhi” (Apa kabarmu ya saudaraku?) aku mencoba memulai percakapan ini dengan menanyakan kabarnya.
Lama ia terdiam hingga akhirnya ia angkat bicara “Ahlan Biek, Ya Akhi” (kabar baik, ya saudaraku) ia mau menjawab akan tetapi ia masih menundukkan muka.
“wa Anta (dan engkau?)” Pria itu balik bertanya kepadaku.
“Alhamdulillah, Wasyukru Illah (Segala Puji bagi Allah, dan Aku bersyukur Kepada Allah) kabarku juga baik” Ku jawab pertanyaannya dengan senyuman, senyuman yang tak ia lihat karena ia masih tertunduk,. Entah apa alasannya.
Lama kami ditiup angin keheningan, hingga sekali lagi aku mulai untuk membuka percakapan. “Kenapa Mam?” tanyaku to the pount. Tapi ia hanya terdiam dan semakin membenamkan kepalanya menunduk ke bawah.
“Imam Kenapa?” Ku naikan suaraku lebih tinggi berharap orang ini akan menjawab pertanyaanku.
“Aku harus jawab apa Van, pertaanyaanmu masih membingungkanku.” Ia mulai menengadahkan kepalanya dan memperlihatkan mukanya.
Benar ia Imam, Imam yang selama ini membuat aku harus memperjuangkan sebuah kata yaitu penantian.
“kau masih ingat denganku?” tanyaku sambil menaikan alis sedikit meremehkan.
“Aku tak mungkin melupakanmu.” Ucap Imam mulai berkaca kaca.
“Kenapa kau tak tepati janjimu mam. kenapa kau tak kembali ke martapura waktu itu, kenapa mam” Ku goncang sedikit tubuh Imam yang sekarang sudah besar tidak seperti terakhir kali aku melihatnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ia sekali lagi menunduk.
“tatap aku mam, tatap aku.” Ku hentikan goncanganku pada tubuhnya dan mulai menenangkan diriku.
“Maaf van, maaf”
“Hufhh” ku hela nafas panjangku merasakan kesejukan malam di masjid ini.
“Maafkan aku Van,.” Sekali lagi Imam meminta maaf padaku.
“Kenapa mam, kenapa kau ingkar janji dengan ku, kau bilang hanya 2 minggu akan pergi, sedangkan ini sudah lebih dari 12 tahun mam, 12 TAHUN, kenapa mam” mataku mulai berkaca-kaca, sekarang aku berada di titik kerapuhanku. Sekarang aku rapuh bahkan sangat rapuh.
“Setiap hari mam aku datang ke terminal untuk menantikan kedatangan bis dari Samarinda ke Martapura, berharap salah satu yang turun itu adalah sahabatku. Berharap sahabatku yang ku nanti datang kembali dan menempati janjinya. Berharap kami akan melalui hari hari bersama untuk bersekolah di Negri santri sana, berharap akan datang sahabat yang selalu menjadi imamku di asarama dan berharap sebuah harapan akan datang,. Akan tetapi mam, harapanku selalu pupus jika penumpang terakhir menuruni bis dan ia bukan orang yang ku harapkan, selama satu bulan mam aku melakukan hal itu, dan selama satu bulan itu pula aku selalu membawa kehampaan harapanku itu.” Aku meracau tak karuan bak kerasukan aku memaki orang yang ada di depan ku ini.
“Tak berhenti disitu mam, aku mencoba memberi jarak pada harapanku itu, hanya satu minggu sekali aku mendatangi terminal, yaitu pada hari jum’at, dimana hari itu hari yang dulu engkau pergi, dan sekali lagi mam, aku berharap kau akan pulang juga di hari itu, akan tetapi apa yang aku dapatkan mam, satu bulan, dua bulan, satu tahun dua tahun hingga akhirnya bertahun-tahun sampai aku lulus di Pondok pesantren itu, aku selalu melakukan hal tersebut mam, hanya satu yang ku minta, yaitu Allah akan mengabulkan harapanku, yaitu membawakan sahabatku untuk pulang, paling tidak memberikan senyumannya padaku.” Tangisanku tak dapat dibendung lagi. Semua telah ku tumpahkan, semua telah ku keluarkan dan semua telah ku luapkan.
“Maaf van, maaf” untuk kesekian kalinya Imam meminta maaf. Masih bersungkur di pahaku iman juga ku rasakan sedang menangis, ku rasakan dengan isakan yang ku dengar darinya. Kamipun beberapa saat terdiam untuk meminimalkan suasana ini. Kurasakan Imam masih menangis di atas pangkuanku.
Ku mulai mengangkat tubuh Iman bangkit dan duduk kembali, dan ku angkat kepala imam, berharap ia memandangku, memandang sahabatnya yang telah lama ia tinggalkan.
“Aku mengalami kecelakaan van,”
“Maksudmu?” Aku terkejut mendengarkan pernyataan dari Imam barusan.
“2 hari setelah kedatanganku ke kampung halamanku ini, musibah besar terjadi padaku dan orang tuaku, ayahku kecelakaan van, dan beliau meninggal” Ucap Imam kemudian tertunduk kembali meresapkan kesedihan yang mungkin kembali terusik dalam hatinya.
“Aku berduka kala itu van, akupun seakan hancur di tinggalkan tulang punggung keluargaku, memang aku anak semata wayang, tapi jika beliau meninggal, siapa juga yang menafkahiku dan ibuku,”
“oleh karena itu, aku putuskan untuk tidak bersekolah lagi di Martapura dan memutuskan untuk melanjutkan usaha berdagang yang ditinggalkan ayahku, berharap dengan hal itu aku dapat menafkahi ibuku dan diriku sendiri” Jelas Imam dengan masih tertunduk.
“Kenapa kau tak menghabariku mam, paling tidak aku bisa kasih suport untukmu dan paling tidak aku tau kabarmu dan sekali lagi paling tidak aku tidak menjadi orang yang bodoh yang setiap minggunya menunggu orang yang tak pasti di terminal bis, kenapa mam?”. Ku naikkan beberapa oktaf suaraku. Seharusnya aku tak melakukan hal yang demikian. Karena saat ini aku juga tau pastinya Imam sedang bersedih mengingat kejadian saat ayahnya kecelakaan.
“Karena tak ada sarana buat aku memberitahumu van, aku juga tak memeliki keluarga di kota Martapura sana. Kau tau sendiri Handphone pun dulu tak ada, bagaimana caranya aku memberi tahumu van, aku juga terlalu sibuk mengurus usaha ayahku dan menafkahi ibuku.” sambil mengeluarkan airmata Imam menatapku dengan sangat lekat.
Sejenak kami terdiam meresapi akan suatu hal yang kami rindukan.
Kami sama sama menatap dan menangis
Kami berdua saat ini sama sama berada dalam posisi yang sangat rapuh.
Hening sejenak menyelimuti kami.
Kami saling pandang dan saling menatap dengan lekat.
Ia Imam, yahhh Imam sahabatku 12 tahun yang lalu ku kenal ia hanya 1 tahun yaitu semenjak kami bersekolah di pondok pesantren yang sama dan di asrama yang sama serta sekamar pula.
Ia adalah Imam, bukan hanya Imam namanya, tapi ia juga sering menjadi Imam saat kami sholat berjamaah dulu di asrama, Imam anak yang cerdas, Imam sahabatku yang baik dan Imam seseorang yang berhasil membuatku menantinya selama 12 tahun.
“Kau kan jadi sahabatku selalu van.” Ucap Imam memecahkan keheningan.
“ya mam, Kau pun adalah sahabat ku selalu mam.” Ku peluk dengan erat tubuh kokoh sahabatku ini.
Teringat aku akan pelukan terakhir kami di 12 tahun yang lalu, pelukan perpisahan dulu juga diiringi dengan tangisan. Akan tetapi pelukan sekarang berbeda ini adallah pelukan pertemuan yang indah sekarang juga di iringi oleh tangisan, akan tetapi tangisan ini adalah tangisan bahagia, tangisan bahagia akan berjumpa dengan sahabat lama, sahabat yang dinanti kedatangnnya, dan Dia tetap sahabatku selamanya.
The End