Who Says? | END


‬ Author: Otsu Kanzasky

ps: sekilas cerita tentang Julian dan Kiel saat di Belanda.
***
Memasuki penghujung musim panas, detik-detik dimana daun akan menguning dan meninggalkan rantingnya. Suasana yang cukup hangat, sehangat kondisi di dalam rumah kediaman Wails.
Mereka baru saja melakukan sarapan bersama, dan sampai detik ini Richard tak lagi `menyerang' Julian maupun Kiel akan ketidak setujuannya pada hubungan mereka. Pria itu lebih banyak diam, sedikitpun tak melirik Julian seolah pria tampan itu tak terlihat. Atau mungkin ia memang tak ingin melihatnya?
Setidaknya hal itu tak di permasalahkan oleh Lily, dan malah wanita paruh baya itu cukup senang karena tidak ada tatapan sengit atau percakapan panas saat sarapan.
Apakah hal itu sebuah kemajuan?
Inilah yang di pikirkan Kiel. Memang meski Richard tak menyinggung tentang hal itu, sesekali ia diajak bicara tentang pekerjaannya, dan terdengar wajar-wajar saja.
Tapi tetap saja dirinya tidak tenang. Setidaknya Richard mengatakan sesuatu tentang keputusan yang diambilnya akan hubungan dirinya dengan Julian. Dan tentu ia mengharapkan mendengar sesuatu yang baik.
"Julie, Marie, bukankah kalian kemarin pagi berjanji akan membantu Papa untuk memindah beberapa tanaman ke pot?" ucap Lily, saat melintas di ruang santai, dan melihat kedua putrinya tengah bersantai menonton film. Marie menengok ke belakang sofa.
"Apa harus sekarang?" tanyanya dengan wajah memelas.
"Ya sekarang. Mama dan Papa akan menghadiri undangan pernikahan teman, ingat kalian berdua sudah berjanji"
"Akan kita kerjakan setelah menonton film" Julie menawar.
"Tidak, sekarang"
Julie melengos kesal, sementara Maria santai saja bangkit berdiri. Lily menggelengkan kepalanya kecil melihat putri keduanya yang mematikan tv dengan kasar. Tapi kemudian ia ingat, jika tidak melihat Kiel dan Julian disana.
"Mana Kiel?" tanyanya.
"Cuci piring" jawab Julie tak berminat. Lily menautkan alisnya.
"Kalian belum mencucinya?" ia memperhatikan kedua putrinya bergantian.
"Kemarin aku dan Julie, hari ini giliran Kiel" kata Maria.
"Kalau Julian?"
"Tadi dia meminjam laptopku, kurasa sekarang dia ada di kamar Kiel. Marie ayo!" ucap Julie yang berjalan meninggalkan ruang santai, agak keras memanggil sang kakak.
Sementara itu Kiel yang ada di dapur, tampaknya belum menyelesaikan tugasnya karena sesekali ia membalas pesan dari Kelly. Bahkan saat Julian masuk pun pria cantik itu tak menyadarinya.
Julian berdiri bersandar pada meja makan dan melipat kedua tangannya di dada, memperhatikan Kiel yang asyik mencuci piring. Pria tampan itu akan mengatakan sesuatu kalau saja Lily tidak muncul tiba-tiba. Telah rapih dengan dress hitam yang serasi di tubuhnya.
"Disini rupanya kalian" ucapnya, membuat Kiel dan Julian menoleh kompak.
"Mama mau kemana?" tanya Kiel, membalikkan badan. Memperhatikan sang Ibu yang tampil cantik.
"Mama dan Papa ada undangan pernikahan teman"
"Sekarang?"
"Tentu saja Kiel. Nanti setelah kegiatanmu selesai bantulah kedua kakakmu di rumah kaca"
Kiel mengangguk kecil. "Ok"
"Sudah siap?" tanya Richard yang tiba-tiba muncul. Tampak tampan dengan stelan jas berwarna abu-abu.
"Sudah, ayo berangkat" ajak Lily.
"Duluan ke mobil, ada yang mau ku bicarakan dengan mereka" ucapnya. Lily hanya mengangguk, sempat menoleh pada Kiel dan Julian saat melangkah pergi.
Kini hanya mereka bertiga. Kiel tampak agak gugup dengan keadaan ini, apalagi kini Richard menatap Julian dengan tatapan tajam.
"Aku diam bukan berarti aku akan berhenti menginterogasi kau" ujarnya, membelah suasana menegangkan di dapur. Julian tak bergeming.
"Kau boleh senang karena istri dan dua putriku setuju, tapi lihat saja. Aku tidak akan semudah itu melepaskan Kiel. Ingat itu" tegasnya, lalu menatap Kiel.
"Kalau begitu saya akan lebih keras mempertahankannya" kata Julian, cukup tenang.
Richard tak berkata apa-apa lagi. Tapi saat ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba ia menatap Julian kembali.
"Jangan melakukan apapun saat aku dan istriku tidak ada dirumah, Maria dan Julie akan mengawasimu" ancamnya.
Kiel menengok pada Julian yang berdiri di dekat meja makan, dan tanpa sengaja pria tampan itupun menoleh padanya.
"Hal ini tidak akan berjalan lancar" kata Kiel, menunduk lesu. Julian memasukkan kedua tangannya ke saku celana training seraya berjalan mendekat.
"Kenapa harus memikirkan hal itu? Yang terpenting keluargamu sudah tahu tentang kita" ujar Julian, memegang dagu Kiel. Membuat mata indah berwarna biru itu kembali menatap wajah tampan di hadapannya.
"Tetap saja, aku tidak bisa tenang kalau Richard terus memusuhimu" desahnya lelah. Memegangi tangan Julian yang kini berada di pipinya.
"Aku bisa saja menyembunyikanmu dari Richard" Julian mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kelopak mata kanan Kiel lembut.
"Kamu bisa melakukan banyak hal, tapi tidak dengan menjauhkanku dengan keluargaku" ujarnya, mendorong dada Julian agar sedikit menjauh dari tubuhnya.
"Lalu apa? Kamu akan menuruti Ayahmu?" Julian beralih berkutat di leher Kiel.
"Mana mungkin" si perak berusaha mendorong pundak kokoh Julian. "Aku akan berusaha meyakinkan Richard, bagaimanapun juga aku bahagia bersamamu" lanjutnya. Menatap kedalam mata abu-abu Julian yang tajam.
Ada sirat aneh di sorot mata elang itu. Hal yang tak dapat di hindari Kiel, seperti dapat menyedot siapapun yang melihatnya. Namun tentu saja tak membuat Kiel membenarkan apa saja yang di lakukan pria tampan itu, terlebih di dalam situasi seperti ini.
Karena pria berdarah Rusia itu kembali berusaha `menyerang'nya dengan ciuman-ciuman kecil di lehernya.
"Julian" protes Kiel, berusaha menarik kepala sang kekasih.
"Kita ada di dapur, bisa-bisanya kamu melakukan ini di saat seperti ini" ucapnya agak tak nyaman. Tetap saja usahanya tak mampu membuat pria tampan itu berhenti.
Julian memegangi tangan Kiel erat, menulikan telinganya akan protes si perak itu.
"Ingat sudah berapa lama kita tidak bertemu sebelum datang kemari?" tanyanya tiba-tiba, menjauhkan kepalanya dari leher Kiel. Menatap sepasang mata biru itu tajam.
Kiel tampak tengah mengingat. "Mm, tiga hari?" ia tampak tak yakin.
"Tiga hari kita tidak bertemu, setelah semalam aku menahan diri apa sekarang aku harus melakukannya lagi?" suara beratnya yang tajam serta tatapan mata yang seolah selalu dapat menembus ke dalam pikiran, membuat Kiel memerah.
"T-tapi tidak disini, kamu lupa dengan kata-kata Ric--uwaa!"
Kiel memekik kaget dan refleks melingkarkan tangannya di leher Julian, karena tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhnya ala bridal style.
"Turunkan aku! Julian!" pinta Kiel agak kesal. Berusaha meronta tapi pria tampan itu tak bergeming.
"Bagaimana kalau Marie dan Julie tahu?!" ia tak berhenti berusaha mencegah langkah Julian yang menaiki tangga.
"Memang apa yang akan mereka katakan pada orangtuamu?" tanyanya, mengalihkan tatapannya pada Kiel.
Si perak itu berdecak kecil, kehabisan akal untuk mencegah niat Julian. Tak urung ia gemas dengan sikap seenaknya pria itu, dan membuatnya melampiaskan dengan mengeram atau menggigit keras leher sang kekasih. Bertujuan agar pria itu mengaduh kesakitan dan menurunkannya.
"Kamu semakin membuatku horny" kata Julian tenang. Tak sedikitpun terlihat kesakitan, dan hal itu membuat Kiel melepas gigitannya cepat.
Dan kini si perak pasrah dibawa ke kamarnya, yang letaknya paling atas dan terpencil.
Julian dapat dengan mudah menaiki tangga ke kamar Kiel dengan membopong pria cantik itu, dan membuka pintu kayunya.
"Turunkan aku, aku tidak mau di lempar ke tempat tidur" pinta Kiel, setelah Julian menutup pintu kembali dengan mendorongnya dengan punggung.
Sejenak pria tampan itu hanya menatap Kiel, lalu akhirnya menurunkannya perlahan. Kiel membenahi kausnya yang agak miring karena perlakuan Julian tadi, dan diam-diam mencari celah di balik punggung pria itu.
"Jangan berpikir untuk lari" kata Julian, seperti dapat membaca isi kepala Kiel.
"Tidak, aku hanya baru ingat kalau ponselku tertinggal di dapur" ujarnya tepat. Karena dirinya memanga baru ingat jika benda itu berada di dapur.
Tapi gerakan tangan Kiel terhenti karena Julian dengan cepat mencegah tangan ramping itu dan menarik si empunya hingga menyandar di pintu kamar. Mempertipis jarak mereka, dan Julian segera menyumpal bibir merah Kiel dengan bibirnya agar tak ada protes yang keluar dari mulut mungil itu.
Si perak menutup matanya pasrah, toh tidak mungkin untuk menolak, selain itu dirinya memang tidak akan pernah menolak. Kiel membalas tiap pagutan di bibirnya, dan tak merasa jika tangannya tidak lagi di cengkram oleh Julian.
Kiel mengerang kecil saat lidah Julian menyusup masuk ke dalam mulutnya. Merasakan sapuan lidahnya yang menjelajahi setiap rongga mulutnya, lalu kembali menyesap bibirnya lembut.
Tubuhnya seketika tak bertenaga. Kiel nyaris merosot karena kakinya melemas, andai saja Julian tak sigap menahan tubuhnya sembari memperdalam ciuman mereka.
Puas bermain lidah di dalam mulut Kiel, Julian menyudahi ciuman panas itu. Menatap wajah memerah Kiel dengan bibir basah dan nafas yang tersendat. Sepasang mata biru itupun balas menatap, bergerak menelisik pada wajah tampan Julian lalu turun ke bahunya yang lebar.
Kiel suka ini. Melihat Julian yang memakai singlet hitam, memperlihatkan garis dada bidangnya dan otot bisep yang kokoh. Sangat sexy di matanya, ampuh membuat gairahnya naik.
"Shall we dance?" bisik Julian, merendahkan suaranya yang berat. Tanggannya bergerak nakal mengusap nipple Kiel yang masih tertutup kaus.
Si perak itu menggeliat kecil, menggigit bibir menahan desahan. Meski Julian tak sedang menatapnya, dirinya tetap mengangguk.
"Tutup dulu jendelanya" ucapnya, mendorong lemas pundak Julian. Pria tampan itu menaikkan satu alisnya, lalu menengok ke belakang punggungnya.
"Aku tidak mau Julie dan Maria mendengar" lanjut Kiel malu-malu.
Sementara itu di bawah. Maria dan Julie yang sedang berkutat di dalam rumah kaca dengan di kelilingi 2-4 pot dan tanaman yang siap di pindahkan tak sengaja melihat Julian yang tengah menutup jendela kayu kamar Kiel.
Julie menaikkan satu alisnya. "Apa yang sedang dia lakukan dikamar Kiel?" tanyanya heran. Lalu memutar kepalanya menatap Maria.
"Kenapa jendelanya di tutup?" tanya Maria balik, kini bertatapan dengan Julie. Dan mereka saling menatap bingung.
"Atau Kiel juga ada disana?" tanya mereka bersamaan. Dan kini alis Julie kembali naik sebelah, namun kini dengan ketertarikan.
"Menurutmu apa yang mereka lakukan disana?" tanya Julie dengan seringai aneh. Maria mengangkat bahu kecil.
"Yang jelas aku tidak tertarik" ucapnya cuek. Kembali berkuat pada pot dan mengisinya dengan tanah.
"Oh ayolah Marie, kau tahu apa yang ku pikirkan! Apa harus kita laporkan pada Mama dan Richard?" Julie ikut berjongkok. Ada kejahilan di mimik wajahnya.
"Memangnya kau tahu apa yang mereka lakukan? Sudahlah, biarkan saja. Pura-pura saja tidak tahu"
"Ah, kau memang tidak seru" sungut Julie. Kesal karena ide jahil yang ada di kepalanya terpaksa harus diredam.
"Memangnya kau mau membuat situasi semakin aneh? Kalau aku sudah cukup Richard dan Julian perang dingin saat ini" kata Maria, sekilas menoleh pada Julie selagi tangannya sibuk menyekop tanah.
"Iya-iya aku tahu"
Selagi kedua wanita itu sibuk dengan tugas mereka, maka di kamar, Julian dan Kiel juga sibuk dengan `kegiatan' mereka.
Kilau indah berwarna biru milik Kiel tampak sayu menatap pada sosok Julian yang menindih kakinya, tengah melepas singletnya dan memperjelas bentuk tubuh atasnya yang gagah. Si perak itu mengalihkan pandangannya, karena sedikit tak tenang melihat pemandangan itu.
Namun baru sedetik ia menatap kearah lain, dagunya ditarik lembut dan bibir Julian menyergap bibirnya. Kiel menutup matanya, balas menghisap bibir Julian serta melingkarkan tangannya di leher pria itu.
Ciuman lembut nan manis itu semakin lama semakin panas, Julian mulai mengambil alih permainan, mengintimidasi tiap jengkal yang dapat di capai lidahnya. Tangannya pun tak kalah aktif, mulai meraba ke dalam kaus Kiel dan memberikan sensasi lain pada sang empunya.
Kiel meremas rambut Julian gemas, meladeni permainan lidah di dalam mulutnya. Membuat tubuhnya terasa panas-dingin, belum lagi sensasi geli yang di ciptakan tangan Julian di kulitnya.
"Nnghh.." ia berusaha mendorong bahu kokoh itu, karena mulai kehabisan nafas. Dan hal itu tak sia-sia karena Julian segera menyudahi ciuman panas mereka, lalu mengecup pipi Kiel dan turun ke rahang.
Si perak itu memejamkan matanya, menikmati sentuhan sekecil apapun di tubuhnya, serta kecupan demi kecupan yang di lehernya. Sensasi yang aneh namun membuatnya ketagihan.
"Aah! Julian...geli~" Kiel menggeliat kecil, meremas rambut Julian, merasakan kedua nipplenya yang di mainkan.
Desahan lirih meluncur dari mulutnya, seiring dengan gerakan jari Julian. Semakin meningkatkan libidonya dengan membuat mark di sekitar dadanya.
Julian bergerak teratur, membuat si perak yang di tindihinya itu dibuat nyaman akan perlakuannya. Meski tak dapat di pungkiri jika dibawah sana, di balik celana, ada benda miliknya yang harus segera di keluarkan.
Dengan mudah dan tanpa di sadari Kiel, ia membuka kaus si perak itu tanpa mengurangi sentuhannya yang membuat kekasih cantiknya mendesah nikmat dan meminta lebih.
"Aah...jangan disana. Umh...aah.." Kiel refleks mengangkat tubuhnya, dengan lemas hendak mencegah tangan Julian yang menyelusup dibalik celana basketnya. Dimana di bagian tengahnya, tepat di area yang mengembang, telah sedikit basah.
Julian kembali mencium bibir Kiel, menghisap bibir kenyal itu selagi tangannya bergerilnya di area sensitif Kiel. Dan desahan tertahanpun terdengar, tangan Kiel yang mengalung di leher Julian mendorong kepala pria itu memperdalam ciuman mereka.
"Mmhh..ngghhh~" Kiel menggeliat, merasakan juniornya yang di pijat lembut. Seketika membuat tubuhnya bergetar.
Julian tak sedikitpun memberi kesempatan pada kekasihnya untuk membalas, seolah ingin melahap bibir itu, ia sampai membuat Kiel kembali berbaring. Tangannya terampil bermain di bawah sana, sedikit demi sedikit melorotkan celana basket merah Kiel.
"Kenapa kamu masih memakai nama Ayahmu yang sudah meninggal?" tanyanya setelah melepas bibirnya, lalu menjilat leher Kiel. Seperti seorang vampire yang kelaparan.
"Aah,aku...aku hanya--aah! Ooh..nggh~" tubuh Keil menghentak kecil ketika tangan Julian menggelitik ujung juniornya, tepat di bagian lubangnya.
"Hm?" pria tampan itu menunggu. Sibuk menyesap nipple pink Kiel yang melenting.
"Uuhh...sshh...aku suka...lagipula mereka--aanhh~... mereka tidak keberatan.." Kiel tak kuasa menahan desahannya. Karena Julian tak berhenti memberi kenikmatan di tubuhnya.
Puas bermain dengan nipple Kiel, kini lidahnya menyapu permukaan kulit halus Kiel. Perlahan, memberi sensasi hangat di tiap jengkalnya, dan membuat si empunya mendesah hebat ketika daging merah muda yang basah itu menjelajahi area selangkangannya.
Tubuh Kiel menggeliat kenikmatan, tangannya tak berhenti meremas-remas rambut Julian. Pria tampan itu sendiri seolah tengah menyantap hidangan lezat yang tak ingin ia sisakan secuilpun, kedua tangannya membuka lebar kaki Kiel, meletakkannya diatas pundaknya sambil meremas-remasnya.
Racauan dan desahan si perak itu semakin membangkitkan batang Julian yang masih terkurung. Dan Kiel tak lagi dapat mengontrol mulutnya ketika rasa hangat dan lembab menyergap kemaluannya. Benda miliknya itu serasa di pijat lembut oleh lidah Julian, hingga precumnya mulai keluar lebih banyak.
Mata tajam berwarna abu-abu itu tajam memperhatikan Kiel yang menggeliat `berperang' dengan kenikmatan yang menimpanya. Dan hal itu tak disia-siakan oleh Julian, semakin dalam menghisap benda di dalam mulutnya hingga membuatnya berkedut.
Ia pun mengeluarkannya, tak lupa memijatnya dan tak membuat Kiel berhenti mendesah. Tangannya yang lain bergerak ke lubang surag milik Kiel yang terkatup rapat, membasahi area tersebut dengan precumnya.
"Aaah...Julian, berhenti bermain-main. Aku sudah tidak tahan mau keluar~" rengek Kiel tak sabar.
"Tidak sekarang" kata Julian, membenahi letak kaki Kiel di pundaknya. Kini pria cantik itu berbaring dengan sebagian tubuh terangkat, dan Julian dapat melihat lubang incarannya dengan posisi yang tepat.
Tak sabar ia menurunkan training hitamnya dan batang kejantanannya pun mencuat keluar, berdiri menantang dengan gagah.
"Tunggu, Julian. Ak--AAHH!" Kiel menghentakkan kepalanya keras. Matanya membulat sempurna, menggigit bibir kuat-kuat menahan rasa ngilu di lubangnya yang kecil yang kini di paksa untuk terbuka lebar.
Ia mencengkram erat seprai tempat tidur, matanya kini terpejam erat dan tampak setitik kristal bening di sudutnya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya, dan setidaknya ciuman itu dapat mengalihkan sedikit perhatiannya.
Julian bergerak aktif, selagi bibirnya sibuk dengan bibir Kiel, ia dapat dengan mudah mengangkat bokong padat si perak itu dan dengan sekali hentakan memasukkan batangnya ke dalam lubang.
Kiel menjerit tertahan, tanpa sadar mencakar punggung Julian. Ciuman itu berlangsung cukup lama, lagi-lagi Julian dapat membuat suasana panas dan Kiel tak lagi memermasalahkan rasa sakit di lubangnya.
Pria itu mulai bergerak perlahan, memegangi pinggul Kiel dan menambah tempo gerakannya. Kiel mengerang di sela-sela bibir mereka, merasakan tiap gerakan Julian.
Lubang Kiel yang sempit meremas-remas batangnya dengan sempurna, kenikmatan yang luar biasa baginya. Julian semakin cepat memompa batangnya, selagi satu tangannya menahan pinggang Kiel karena si perak itu memeluk lehernya erat dan membuatnya seperti koala yang memeluk batang pohon.
Selalu. Rasa sakit yang menyiksa di awal, akan berubah nikmat di akhir. Kiel tak berhenti mendesah seiring dengan gerakan Julian yang menusuk titik nikmatnya di dalam sana, belum lagi juniornya yang terjepit diantara tubuh mereka, menggeseknya dan memberi kenikmatan yang sama.
"Aku keluar" desisnya, semakin erat memeluk leher Julian.
Pria tampan itu semakin mempercepat gerakannya, membuat Kiel melenguh tertahan saat juniornya memuntahkan laharnya.
Tubuh Kiel lemas, ia meletakkan kepalanya di pundak Julian, membiarkan tubuh berkeringatnya menempel pada Julian yang kini menyangga tubuhnya.
"Giliranku" ucap Kiel seraya mengangkat kepalanya, menatap Julian.
Pria tampan itu tak menyahut, membiarkan Kiel bangkit dan otomatis mencabut batangnya yang masih tegak berdiri. Ia memperhatikan tiap gerak-gerik si perak itu, kini bersimpuh di antara kakinya dan dengan lembut membelai batangnya.
"Kenapa belum keluar?" tanya Kiel seraya menggenggam batang Julian dan menatap pria itu.
"Aku mau kamu yang melakukannya" jawab Julian, lalu mengusap bibir merah Kiel.
Pria cantik itu pun mengecup ujungnya, lalu mulai menjilatinya tak lupa memainkan tangannya. Julian menutup matanya, mengusap rambut perak Kiel, dan ia ingin lebih.
Kiel tampak seperti seseorang yang kelaparan. Tanpa ragu ia memasukkan kepala batangnya, namun tak dapat menampung benda panjang itu seluruhnya. Dengan gerakan tertatur ia menyesapnya seperti menikmati lollipop, tak lupa mengisap ujungnya dan membuat Julian mendesis lirih, tak terdengar.
"Aku tidak mau keluar disana Kiel" ujarnya, menarik dagu si perak itu hingga mengeluarkan batangnya dari mulutnya.
Julian menarik tangan Kiel agar bangkit, dan menuntunnya untuk duduk di pangkuannya. Kembali berciuman, saling melumat dan menghisap.
Liar. Kiel sadar jika dirinya tidak pernah berciuman seperti ini sebelumnya, dengan Julian. Entah apa yang merasukinya, ia hanya melakukan apa yang ia kehendaki. Dan ciuman panas itu membuat juniornya yang telah tertidur kembali bangun, kini mengembang diantara himpitan tubuh mereka.
"Masukkan" kata Julian setelah bibirnya menjauh. Kiel mengangguk kecil, lalu mengangkat tubuhnya. Sembari berpegangan pada pundak Julian, tangannya yang lain menggenggam batangnya dan mengarahkannya pada lubangnya. Setelah merasa pas ia mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan tatapan ragu, dan mengerti akan kecemasannya pria tampan itu mengecup bibirnya singkat seraya memegangi pinggulnya.
Kiel menggigit bibir bawahnya kecil, berpegangan pada pundak Julian dan mulai mendorong tubuhnya ke bawah. Menahan rasa perih yang kembali menyerang lubangnya ketika kepala penis Julian mulai masuk.
"Aakh..." ia menggigit bibirnya kembali. Terus menggerakkan pinggulnya, meski sakit berusaha memasukkan penis besar itu ke dalam tubuhnya.
Julian mendaratkan kecupan-kecupan di leher Kiel, meremas bokongnya dan membantu kekasihnya itu untuk memasukkan seluruh penisnya. Perlahan tapi pasti, gerakan pinggul Kiel meningkat, mengabaikan rasa sakit yang ada.
"Aaahh!!" rintihnya keras, lega karena penis Julian telah sepenuhnya masuk ke tubuhnya.
Lubang pantatnya berkontraksi, seperti meremas-remas pada benda asing yang memasukinya. Memberikan kenikmatan yang luar biasa, untuk yang kesekian kalinya dan lubang itu tetap sempit dan memuaskan.
"Aahh...oh..uuhh" Kiel mulai bergerak perlahan, dengan kepala tertunduk dan mencengkram pundak Julian.
Semakin lama gerakannya bertambah, desahan yang keluar dari mulutnya pun semakin basah. Hingga tubuh ramping itu bergerak naik-turun dengan cepat, mengeluar-masukan penis Julian yang basah karena precum.
"Akh...nnhhh...oh" ia terus meracau. Merasakan sensasi luar biasa di lubang dan juniornya yang bergesekkan dengan perut Julian.
Ranjang kayu yang mereka tempati tampaknya cukup kokoh di banding penampilannya, dan secepat apapun Kiel menggerakkan tubuhnya, tidak akan membuat tempat tidur yang mereka gunakan berdecit layaknya ranjang tua.
Hentakan tubuh Kiel yang berirama naik-turun menghantarkan Julian pada detik-detik puncak kenikmatannya. Ia mendorong kepala Kiel dan mencium bibirnya kembali, semakin memanaskan suasan, dan Kiel mampu menjaga ritme gerakannya.
Pria tampan itu memijat lembut junior si perak, merangsangnya agar cepat berorgasme. Lenguhan basah meluncur begitu saja tanpa di cegah, dan lagi-lagi tubuh Kiel mengejang kecil ketika dirinya tak sanggup menahan semburan hangatnya. Bersamaan dengan Julian yang memuntahkan cairan hangat di dalam lubangnya.
Kiel memeluk leher Julian erat, saat pria itu menyudahi ciuman mereka, lalu mengecup pundaknya seraya meremas bokongnya. Dan cairan lengket itupun berhenti menyembur, mengalir keluar ketika ia mengangkat tubuh ramping itu dan membuat penisnya tercabut.
Hangat, ia mendekap punggung Kiel seraya mengusap pelan rambutnya, cukup memberi kenyamanan bagi si perak yang bersandar penuh dan meletakkan kepalanya di bahu. Nafasnya terdengar teratur, tampak sangat lelah.
"Ayahmu tidak akan mengganggu kita kalau hubungan ini di resmikan" ujar Julian lembut. Kiel yang tengah memejamkan mata pun kembali membuka matanya dan menatap Julian.
"Maksutmu?" tampak sorot bingung di matanya.
"Pilihlah dari sebelas Negara, kita resmikan hubungan kita di Negara yang kamu inginkan" ucapnya, semakin membuat Kiel bingung.
Meresmikan hubungan? Itu artinya...menikah?
Kiel menatap kaget. Benarkah itu yang di maksut?. Meski cukup terkejut tampak rona senang di wajah kagetnya.
"Kita baru menjalin hubungan selama satu bulan" ujarnya, masih belum mempercayai apa yang di katakan Julian.
"Lalu?" pria tampan itu menatap tajam. Kiel menggeleng kecil, lalu kembali memeluk Julian dan menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu.
"Aku senang mendengarnya" ucapnya agak berbisik. Tak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
"Sebelum itu kamu harus ikut denganku ke Rusia"
"Kapan?" Kiel kembali menatap Julian.
"Secepatnya"
"Kamu tahu apa yang sedang ku pikirkan?" tanya Kiel, menelisik menatap wajah tampan kekasihnya. Julian tak menyahut.
"Kita harus berbenah sebelum Mama dan Richard pulang" ucapnya kemudian, membuat Julian berdecak kecil.
Yah, mereka memang harus segera membersihkan diri dan tempat tidur.
***
Malam datang menjelang, menghembuskan angin terakhir di musim panas. Cerahnya langit diatas membuat siapa saja melihatnya akan merasa senang, karena jarang sekali hamparan berwarna hitam pekat itu dihiasi taburan bintang.
Cuaca dan suasana yang sangat pas untuk mengadakan pesta Barbeque sederhana di halaman belakang rumah keluarga Wails.
Yah memang, Lily sudah merencanakan hal ini saat menyuruh Kiel untuk pulang. Lagipula pesta barbeque selalu menyenangkan, apalagi jika di adakan dengan keluarga.
Kepulan asap beraroma mulai menguar di sekitar halaman, Maria bertugas memanggang dagin, Julie menyiapkan piring di meja taman bersama Lily, sementara Julian hanya duduk sambil menikmati kopinya di bangku yang terhubung dengan meja. Sementara Kiel yang selesai menerima telepon pun bergabung dan duduk di samping Julian.
"Sana kamu bantu Maria" suruh Lily pada Julie yang membantunya melengkapi hidangan pendukung di piring. Wanita berambut cokelat itu hanya mengangguk dan beranjak ke tempat Maria memanggang daging.
"Telepon dari siapa?" tanyanya, sambil menata kentang goreng sekilas mengalihkan pandangannya pada Kiel yang duduk tepat di sebrang meja, di depannya.
"Kelly, dia akan menikah beberapa bulan lagi" jawab si perak, lalu mencomot sebuah kentang goreng dan langsung di lahapnya.
"Oya? Kapan?"
"Entah, dia hanya memberitahuku sebatas itu"
Selagi Ibu dan anak itu mengobrol ringan, Richard baru saja keluar dari rumah membawa sebuah botol wine. Pria paruh baya itu mengernyit tak suka melihat putranya dan Julian duduk berdekatan.
Dengan sengaja ia mengambil tempat duduk di tengah-tengah kedua pasangan itu dan membuat Julian harus menggeser pantatnya. Bagaimanapun juga dirinya harus mengalah.
"Sayang, masih banyak tempat kosong. Berhentilah mengganggu mereka, kamu lupa apa yang sudah kamu katakan semalam padaku?" tegur Lily, Richard mendesah kecil.
"Aku tidak lupa" ucapnya setengah hati. "Aku hanya tidak ingin melihat mereka berdekatan di depan mataku" imbuhnya.
"Relakan saja Pa, cepat atau lambat mereka akan menikah!" kata Julie nimbrung, lalu tekekeh geli. Maria hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Kiel tampak kaget, menoleh pada Julian yang tetap tenang. Apakah Julie tahu tentang hal yang mereka lakukan di kamar pagi tadi?
"Oh sayang, berhentilah menggoda Papamu" hardik Lily lembut. Tapi Richard sudah terlanjur menatap garang pada Julian.
"Benar kau akan menikahi Kiel?" tanyanya tajam.
"Itu rencananya" jawab Julian santai.
"Apa? Kalian baru berhubungan dan--kau serius dengan putraku?" tampaknya Richard sudah kehabisan kata akan jawaban mengejutkan Julian.
"Saya selalu serius mengatakan sesuatu"
Richard beralih menengok pada Kiel yang duduk diam di samping kirinya.
"Apa itu benar?" tanyanya shock. Kiel mengangguk kecil.
"Kamu lihat ini? Mereka sudah--"
"Aku tidak mau ada perdebatan lagi" potong Lily cepat. Membuat Richard terpaksa menutup mulut dengan rasa tidak terima yang meluap.
"Semalam kamu bilang akan pura-pura tidak tahu dan membiarkannya asal Kiel bahagia, bukankah hal itu bagus mereka akan menikah? Setidaknya Julian akan bertanggung jawab penuh akan Kiel" ujar Lily menjaga intonasinya tetap lembut.
"Ya benar, tapi ini menikah!"
"Aku yakin Julian tidak main-main Pa" kata Maria, yang berdiri menghadap alat pemanggang. "Biarkan mereka bertanggung jawab akan keputusan mereka" lanjutnya, mengalihkan tatapan matanya pada Kiel.
Richard memutuskan untuk diam, dan mendinginkan kepala. Memang semalam dirinya telah memutuskan untuk diam, dalam arti membiarkan hubungan putranya dan Julian, tapi mendengar kata menikah pikirannya kembali kacau.
Menikah tak semudah pengucapannya. Banyak pasangan normal diluar sana kesulitan mempertahankan rumah tangga mereka, lalu bagaimana pernikahan sejenis? Dirinya hanya tidak sanggup memikirkan hal tak menyenangkan yang nanti bisa saja menimpa putranya.
"Kalaupun Julian melakukan sesuatu yang menyakiti putraku, aku tidak akan tinggal diam" ujar Lily, menatap tegas pada Julian. Sekaligus memperingati pria bermata abu-abu itu.
"Saya tidak akan mengecewakan keluarga ini" kata Julian gentle. Lily tersenyum tipis.
"Kau ingin menikahi anakku, memang apa pekerjaanmu?" tanya Richard, dengan alis tertekuk menatap pria yang duduk di sisi kanannya.
"Julian pebisnis!" sahut Kiel cepat, sebelum pria tampan itu membuka mulut.
Bisa gawat jika Julian menjawab dirinya adalah pimpinan kelompok mafia `kan?
"Oya? Bisnis apa?" tanya Lily tertarik.
"Dia pebisnis di Rusia, dan ada beberapa di Inggris" jawab Kiel, lalu melirik pada Julian yang juga menatapnya tanpa protes.
"Orang Rusia rata-rata komunis. Bagaimana kau bisa membuatku yakin kalau Kiel bisa hidup tenang denganmu?" tanya Richard sinis.
"Kalaupun ada penjahat yang mengganggu putra anda itu berarti orang yang anda cari tepat di sebelah kanan anda Tuan" Julian terlalu tenang menanggapinya. Membuat Kiel berpikir jika kekasihnya itu tak sedikitpun memiliki rasa takut.
"Kamu dengar sayang? Julian pria yang sangat bertanggung jawab" Lily bersuara, menatap suaminya yang masih tampak gelisah. Dan tatapan lembutnya membuat Richard menghela nafas samar.
"Aku tidak peduli denganmu, yang ku tahu jika kau menyakiti Kiel, kau akan berurusan dengan ku" kata Richard memperingatkan. Lily tersenyum

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Lanjutin donk cerita mengenai Julian sama kiel yg ini, please. Ini pavourite ku banget,, 4x udah aku baca yg judul nya who says ini., part nya banyak . Tapi aku belain baca nya ulang2

Unknown mengatakan...

Atau bikin cerita yang lain tapi pakai tokoh Julian sama kiel. Aku juga udah baca yg MONSTER sumpah kece badai cerita nya

Unknown mengatakan...

Suka bangettttt... Demi apapun bbmnya... Pleaseee lanjuttttt

Unknown mengatakan...

Please bikin cerita lain tapi tokohnya nya Julian sama Kiehl lg,yg monster bagus juga 😊 suka pokoknya

Posting Komentar