Who Says? | 2



Author: Otsu Kanzasky
PS: cerita ini mengambil tokoh utama Monster, Kiel dan Julian, cerita yang berbeda, karakter berbeda.
***
"Ah~ enaknya~ akhirnya kasur ku tercinta~" Kiel berguling-guling di atas tempat tidur king sizenya, hingga terbungkus selimut abu-abu seperti kepompong.
Wajah cantiknya memang terlihat lelah, tapi ada raut bahagia disana ketika tubuhnya direbahkan di singgasana `mulia'nya. Dengan mata terpejam menikmati suasana nyaman dan hening kamarnya yang cukup luas.
Mungkin Kiel dapat langsung terbang ke alam mimpi andai saja iPhonenya tidak berdering nyaring. Eluhan kecil meluncur dari mulutnya, jelas jika ia terganggu.
Padahal sudah pukul 01.05, siapa yang berani-beraninya mengganggu waktu istirahatnya yang amat berharga?
"Hallo?" sapanya, duduk di bibir ranjang. Kaki jenjangnya yang terekspos menjuntai kebawa.
Bahkan bokser minion kuningnya pun tak dapat mengalahkan kilau kulit mulusnya.
"Tá brón orm Ma, aku sangat sibuk sebulan ini. Maaf aku jarang menelpon Mama" ujarnya menyesal, rasa rindu pada keluarga kecilnya yang berada di Belanda pun muncul, mengingat sudah hampir 2 bulan dirinya tak berkunjung, sejak Ibunya menikah kedua kalinya dengan pria berkebangsaan Negri kincir angin itu.
"Bagaimana kabar Richard? Dia masih suka berkebun?"
(".....")
"Uhm, baguslah. Sampaikan salam ku padanya, dan juga kakak"
(".....")
"Akan ku usahakan pulang minggu depan. Iya aku tahu, aku bisa jaga diri disini. Iya, aku tidak akan memotong rambut"
(".....")
"Ya, aku juga mau tidur, aku baru saja pulang. Oíche godd Mam"
Kiel sempat menatap wallpaper iPhonenya setelah telepon itu usai, lalu meletakkannya di atas nakas. Tapi saat ia akan merebahkan tubuhnya, perutnya tiba-tiba berkontraksi sampai-sampai ia melompat dari tempat tidur dan buru-buru melesat ke kamar mandi.
"Ray sialan, apa yang di masukannya di dalam kopi ku tadi" desisnya menahan sakit di perut.
Tepat saat sosok cantik itu menghilang di dalam kamar mandi, iPhone hitamnya bergetar singkat menandakan adanya pesan masuk. Dan tak sampai 5 menit sosok Kiel keluar dari kamar mandi, sambil mengusap-ngusap perut flatnya.
Dengan wajah di tekuk-tekuk, ia meraih iPhonenya dan membuka pesan baru itu.
Sender: Bobby `Emerald Agency'
Maaf mengganggu waktu istirahat mu, karena kamu sama sekali tak menghubungi ku jadi bagaimana kalau besok kita launch di Restaurant India? Disana makanannya enak, ku harap kamu bisa. Night.
Kiel menghela nafas samar, memutuskan tak membalas pesan dari Bobby dan merebahkan tubuhnya. Bergelut nyaman dengan bantal, guling dan selimut lembutnya.
Tapi mata indah itu tak kunjung menutup. Pikirannya melayang pada beberapa jam yang lalu, saat dirinya dan seorang pria Rusia bernama Julian makan siang di sebuah Restaurant India.
Pria itu sepertinya baik, tapi sangat dingin, kata-katanya juga sangat tajam, agak setype dengannya yang blak-blakan.
Dari caranya bersikap sepertinya pria yang tak sengaja di kenalnya itu adalah orang yang penting. Dirinya yakin, karena tidak mungkin kalaupun dia bukan siapa-siapa, ada seorang pengawal yang selalu berdiri tegap di belakangnya.
"Ya Tuhan, aku lupa belum mengatakan terima kasih tadi sore" Kiel memegangi keningnya, teringat hal yang seharusnya sudah ia lakukan di dalam Restaurant pukul 3 sore tadi.
"Semoga saja dalam waktu dekat aku bertemu dengannya lagi" gumamnya, dan mengambil posisi senyaman mungkin sambil memeluk guling.
***
Suasana hening yang tenang menyelimuti sebuah rumah berlantai 2 di kawasan paling elit di London. Tampak penjagaan ketat di depan gerbang pagar yang menjulang tinggi berwarna keemasan.
Rumah yang sebagian besar berselimutkan marmer mahal itu berbeda dengan rumah yang lain. Arsitekturnya unik, dengan adanya sebuah menara kecil bercat biru muda gelap dengan atap kubah berwarna merah yang indah dengan aksen emas di pinggirannya.
Siapapun yang melihat pastilah tahu jika penghuni rumah mewah itu adalah orang Rusia.
5-7 pengawal berbaju hitam tampak berkeliaran di sekitar rumah, menjaga hunian tersebut tetap kondusif bagi pemiliknya.
Sementara itu di lantai 2, terdengar alunan lembut musik Perancis yang mendayu di telinga. Musik itu berasal dari dalam sebuah ruangan yang cukup luas, dimana hanya orang tertentu saja yang dapat masuk.
Perabotan berkelas tertata apik di ruang kerja tersebut. Mulai dari meja berbahan kayu Oak, guci-guci antik, set sofa berbahan nomor 1, karpet kulit harimau, dan segala sesuatunya yang tak kalah menyilaukan mata.
Pria tampan berwajah angkuh tampak berdiri di depan lemari kaca berkas, membaca sebuah berkas yang diambilnya dari lemari kaca itu.
Julian berpakaian cukup santai saat ini. Hanya blue jeans, kemeja lengan pendek non formal berwana biru tua, dan rambutnya tertata rapi kebelakang.
Ia hendak beranjak ke meja kerjanya saat mendengar suara deru knalpot mobil yang nyaris tanpa suara.
Dengan mimik dingin yang khas, ia melihat keluar jendela tepat dibelakang meja kerjanya. Pada halaman depan rumah, terlihat sebuah mobil Ferrari kuning terparkir di lobi rumah.
Acuh ia kembali membaca berkas di tangannya, dan seolah tak mengizinkan siapapun dapat merusak ketenangannya.
Tapi suara pintu ruangan yang dibuka, mematahkan zona nyamannya itu.
"Dlyubimaya sestra , ne po mne?"(adikku tercinta, tidakkah kamu merindukan ku?) suara riang wanita yang baru masuk itu membuat sang empunya menghela nafas.
Wanita berusia 36 tahunan, rambutnya dicat pirang, tinggi, berbalut pakaian bermerk, dan tak lupa tas Prada merahnya yang mentereng.
"Net, ne suyetit'sya v moyem dome"(tidak, jangan buat keributan di rumah ku) kata Julian dingin, seperti biasa. Bahkan hanya melirik kakak perempuannya saja, lalu duduk meletakkan berkas dimeja.
Vanessa mencibir, berjalan mendekat dengan anggun.
"Kejam. Kamu dan Papa terlalu serius, bersantailah sebentar" ujarnya, menghempaskan pantatnya ke kursi ergonomic didepan meja kerja sang adik.
Usia mereka hanya terpaut 3 tahun, namun Julian terlihat lebih dewasa. Terlebih ia kini meneruskan kelompok mafia milik Ayah mereka.
"Pergilah kalau kamu datang hanya untuk mengganggu ku" ujarnya sibuk mengecek berkas lainnya.
"Kamu tidak berubah. Menjadi bos mafia tidak selalu harus serius `kan? Sekalipun kamu tampan, pasti wanita-wanita diluar sana takut padamu" Vanessa mengeluarkan sekotak rokok dan pematik dari tas brandednya.
"Mana Adrien?" tanya Julian, tak menanggapi kata-kata kakaknya yang mungkin ada benarnya.
Vanessa menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam. "Dia ada di Australia mengurusi bisnis Resortnya"
"Dia tahu kamu ada disini?"
Wanita bermata indah itu menggoyangkan tangannya santai, dan meniupkan asap bulat ke udara.
"Adrien tahu, dia suami yang sangat pengertian `kan?" ia tersenyum penuh arti.
"Dia bodoh" tukas Julian tak berperasaan.
"Hey ayolah, bagaimanapun juga dia itu suami ku. Mana rasa hormat mu pada kakak iparmu huh?"
"Aku akan hormat padanya kalau dia bisa mengubahmu sedikit lebih anggun"
Vanessa terkekeh, semakin menggoda Julian dengan sengaja meniupkan asap rokok berbentuk bulat kewajahnya. Pria tampan itu menatap sinis, dan mengibaskan tangannya diudara dengan elegan.
"Apa tujuanmu datang ke London?" tanyanya, meraih berkas bermap biru ditumpukan yang ada dimejanya.
"Ada London Fashion Week tiga hari lagi, jadi sampai hari itu aku tinggal disini"
"Jangan buat keributan kalau begitu"
Vanessa mematikan rokok mentholnya di asbak kaca mewah dimeja Julian, lalu mengambil sebuah majalah dari dalam tasnya.
"Chanel akan launching produk baru yang diproduksi terbatas, jadi aku harus mendapatkannya" kata Vanessa sambil membuka-buka majalah, mencari artikel yang dimaksud.
Julian urung membalikkan berkas yang dibacanya dan melirik sang kakak. Hingga majalah fashion itu ditunjukkan padanya, tepat dihalaman yang memuat wajah boneka yang terpoles make up.
Persis seperti yang ada diposter-poster. Wajah yang sama, orang yang kemarin ditemuinya di tempat spa yang berakhir di depan apartment Kiel.
"Dia model baru, ku pikir tadinya dia manusia Barbie itu. Tapi yang ini lebih cantik, tanpa operasi lagi" celoteh Vanessa.
"Dia laki-laki" Julian agak menggumam.
"Ya aku tahu. Pria androgini itu menarik"
"Namanya Kiel"
Vanessa mengangguk-angguk kecil, tapi sedetik kemudian menatap Julian dengan tatapan curiga.
"Kamu kenal dia?" tanyanya seduktif.
"Tidak, aku hanya pernah bertemu dengannya di tempat pijat"
"Oya? Apa dia lebih cantik dari yang ada di majalah?" Vanessa tampak bersemangat.
"Ya, seperti boneka. Wanita tulen sepertimu akan kalah telak"
"Damn! Jangan mengatakan itu! Kamu tahu rasanya dikalahkan oleh pria berwajah cantik?" sembur Vanessa kesal. Langsung mematut wajahnya di cermin kecil Channel yang selalu ada didalam tasnya.
Julian berusaha untuk tidak melirik halaman majalah yang memuat produk kosmetik Chanel yang memampangkan wajah cantik bagai boneka milik Kiel.
Sepasang mata biru jernih itu seperti sebuah sihir yang dapat membuat pria sedingin Julian pun tak mampu mengalihkan tatapannya dari wajah cantik itu.
"Tatapan mu itu..." Vanessa menggantung kalimatnya. Julian kembali membaca berkas yang terpampang dimeja.
"Kamu suka pada si cantik ini ya?" godanya, menyeringai seperti sedang menjahili bocah laki-laki.
"Glupyy"(bodoh) sahut Julian tak bereaksi atas tuduhan Vanessa.
"Mengaku saja! Aku tidak pernah melihat mu menatap tertarik seperti tadi saat melihat model dimajalah" wanita cantik itu mendesak Julian.
"Meskipun cantik dia laki-laki" tegasnya, menatap tajam sang kakak.
"Sejak kapan kamu peduli? Bukankah dia cantik? Oh, aku akan senang punya adik ipar sepertinya" Vanessa mulai berkata asal. Tampak meyakinkan jika dirinya benar-benar menginginkan Kiel sebagai adik iparnya.
"Sumasshedshiy"(gila) olok Julian. Mulai tak nyaman dengan tuduhan Vanessa yang membuatnya tidak bisa fokus membaca laporan.
"Sungguh Julian, akan ku bantu meyakinkan Papa. Aku mau shoping bersamanya, pasti menyenangkan!" kini mata cokelat Vanessa berbinar-binar. "Apa kamu sudah mulai gila?" Julian tampak tak nyaman. Meski tak tergambar jelas di mimik wajahnya.
Vanessa malah tersenyum. "Bersikap lah lebih jujur kalau kamu tidak mau Kiel direbut orang" ujarnya, memasukkan majalahnya kedalam tas.
"Aku hanya bertemu sekali dengannya" tegas Julian.
"Oya? Nanti aku akan bertanya pada Martin" Vanessa bangkit berdiri membawa tas Pradanya. "Aku istirahat dulu" imbuhnya seraya melenggang pergi.
Julian menutup berkas laporan tanpa minat, konsentrasinya buyar sudah. Berkat Vanessa yang bicara tidak perlu, dan entah kenapa hal itu membuatnya sedikit gusar.
Sebenarnya sudah 2 kali dirinya bertemu Kiel. Saat di apartment, lalu ditempat spa.
Suara ketukan dipintu ruangan, membuat Julian melirik daun pintu bercat putih itu.
"Masuk" suruhnya.
Keith masuk membawa amplop cokelat berukuran sedang, dan meletakkan benda itu keatas meja.
"Ini laporan yang baru masuk Bos" kata Keith lugas. Julian membuka amplop itu dan menarik keluar sebagian isinya.
Lembar kertas print out yang menjabarkan audit keuangan di wilayah lain.
"Suruh Jack dan Pedro mengawal Vanessa kalau dia keluar nanti" perintahnya, meletakkan amplop tersebut dimeja.
"Baik Bos"
"Pergi lah"
Keith beranjak dari tempatnya, keluar dari ruang kerja Julian. Mengembalikan suasana hening yang sempat dirusak Vanessa.
Julian menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, dan tak tertebak apa yang kini ada di kepalanya.
Menjadi Mafia tak semudah saat dihadapkan oleh hal rumit bernama cinta. Percayalah.
Sudah hampir 5 tahun ia mengambil alih penuh kekuasaan Ayahnya dan tak pernah sekalipun bimbang ataupun bingung ketika menjalaninya.
Kata siapa menjadi pria tampan yang keren dan dingin akan mudah menghadapi hal bernama cinta? Jangankan mengerti, alih-alih dia semakin tak mengerti.
Cinta itu tak tertebak. Dan pria dingin sepertinya bahkan tak bisa bersikap tepat, meski banyak hati yang telah terpikat olehnya.
...to be continue...

0 komentar:

Posting Komentar