Who Says? | 11


‬ Author: Otsu Kanzasky

PS: bagi yang penasaran saat Julian and Kiel di Belanda, dan apa yang terjadi ^^
***
Ada yang salah dengan hari ini. Memasuki penghujung musim panas, udara terasa kering dan lembab, tak terkecuali udara di Belanda, tepatnya di kota Rotterdam. Kota terbesar kedua di Belanda setelah Amsterdam. Disebuah stasiun kereta api kota setempat, Rotterdam Central, tampak wajah lesu Kiel yang mengawali hari liburan singkatnya di kota kelahiran sang Ayah tiri.
Langit sangat cerah diatas sana, tapi tak dapat menenangkan hati dan pikiran si perak itu. Ia seperti itu sudah berlangsung cukup lama, sejak bangun tidur di apartment, ke airport, bahkan saat sampai pun tidak ada yang dapat di lakukan Julian untuk mencerahkan wajah cantik yang di sukainya itu.
Ya, mereka memang datang berdua, seperti yang telah di katakan Julian. Barang bawaan mereka pun tak banyak, Kiel yang memakai jeans dengan aksen robek di bagian paha, kaus panjang sepinggul, menyandang ransel berukuran sedang berwarna merah. Sementara Julian tak membawa apapun kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya saat ini. Celana dengan model army yang memiliki banyak saku berwarna cokelat, polo shirt hitam yang di tumpuk jacket cokelat muda.
Helaan nafas kecil meluncur keluar dari mulut Kiel, ia menggaruk rambutnya yang terkuncir, lalu menoleh pada Julian.
"Kita naik metro atau taxi?" tanyanya menawarkan, Julian yang tengah menatap kesekitar pun menoleh.
"Terserah, aku belum pernah kemari" jawabnya.
"Kalau begitu naik taxi saja, aku juga baru pertama kali datang kesini"
Julian menepuk kepala Kiel pelan, mengerti akan kecemasan di sorot mata indah itu. Dan tak perlu berjalan jauh, tampak beberapa taxi terparkir di lobi stasiun yang siap mengantar.
Kiel memberikan secarik kertas bertuliskan alamat pada sopir taxi saat mereka telah masuk ke dalam. Dan setidaknya masih ada waktu beberapa menit untuk menenangkan hati sebelum sampai, dengan pemandangan cantik kota Rotterdam yang baru untuknya.
Pemandangan di kota ini memang sayang jika di lewatkan, udaranya juga bersih, berbeda dengan kondisi di banyak kota besar di Dunia. Itu karena masyarakat di Belanda lebih suka bersepeda, jalan kaki, dan menggunakan transportasi umum. Tak heran jika Belanda memiliki populasi kendaraan pribadi yang sangat kecil.
"Apakah kalian sedang liburan?" tanya sang sopir, cukup jelas meski terdapat pembatas antara bagian depan mobil dan kursi penumpang di belakang. Kiel yang menopang dagu menatap keluar jendela pun mengalihkan perhatiannya.
"Tidak Pak, orangtuaku tinggal disini" jawabnya, bersandar nyaman.
"Untuk yang pertama kalinya datang?" sang sopir sepertinya orang yang ramah.
"Iya"
"Kalau begitu kalian harus menjelajahi kota ini, banyak tempat bagus disini"
"Ya, itu wajib"
Liburan? Masih bisakah mereka liburan setelah sampai di rumah Richard?
Kiel kembali melemparkan pandangannya keluar jendela, saat tangan kanannya di genggam oleh Julian. Si perak itu otomatis menoleh pada kekasihnya yang juga menatap keluar.
Ia tersenyum tipis, balas menggenggam tangan Julian dan memandang keluar. Setidaknya keramahan kota dan tata ruangnya yang segar, dapat membuat suasana hatinya agak lebih baik. Belum lagi ada Julian di sampingnya.
Sekitar 20 menit, taxi yang mereka naiki memasuki kawasan perumahan asri, dimana jarak antar rumah tak terlalu dekat, dan tiap rumah memiliki halaman yang cukup luas. Dan taxi mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah bernomor 35.
Julian segera membayar biaya taxi lalu turun bersama Kiel, si perak itu tak lupa mengucapkan `Dankje'--terimakasih. Mobil putih itupun kembali merayap, dan meninggalkan Julian dan Kiel yang berdiri di pinggir jalan tepat di hadapan pagar rumah.
"Kita tidak sedang mengantri wahana rumah hantu, jangan memasang wajah seperti itu" kata Julian, tak suka sekaligus tak tenang melihat wajah Kiel yang seperti tertekan.
"Aku gugup" ucapnya, balas menatap ke dalam mata tajam Julian.
"Bukankah seharusnya aku yang gugup?"
Kiel tak menanggapi, dan kembali menatap bangunan bertingkat 2 yang sederhana di depannya. Julian pun melangkah, menarik tangan Kiel yang di genggamnya. Mereka masuk dengan mudah ke halaman rumah karena pagar tersebut tidak terkunci. Ada berbagai jenis tanaman dan bunga di halaman itu, membuat suasana menjadi sejuk dan segar.
Kiel hendak membunyikan lonceng yang tergantung di dekat pintu, saat seorang wanita paruh baya keluar dari garasi membawa sebuah pot. Wanita berambut ikal, memiliki warna mata sama seperti si perak itu.
"Kiel!" panggilnya seperti memekik.
Si perak itu menengok cepat, begitu pula dengan Julian. Ia tak sempat menatap dengan puas sosok sang ibu karena Lily lebih dulu memeluknya erat.
Kebahagiaan yang amat sangat, kerinduan akan putra bungsunya itu kini telah robati. Kiel balas memeluk sang ibu, sementara Julian hanya diam memperhatikan adegan tersebut.
"Mama pikir akan butuh waktu lebih lama untuk melihatmu" ujar Lily.
"Aku juga Ma" Kiel menyembunyikan wajahnya di pundak sang Ibu.
Tak lama pelukan itupun usai, Lily tak hentinya tersenyum menatap rupa sang putra yang tak berubah di sepanjang ingatannya.
"Maaf aku belum sempat pulang" kata Kiel penuh penyesalan.
"Mama mengerti, kamu sibuk. Bukankah sekarang kita sudah bertemu?" Lily mengusap rambut Kiel pelan. "Tidakkah kamu agak kurus sejak terakhir kali kita bertemu?" tanyanya, dengan alis bertaut menyelidik figure sempampai putranya.
"Ma, Kelly menyuruhku diet. Kurus di bagian mana?" Kiel memelas, membuat sang Ibu tetawa kecil.
"Nanti Mama akan bicara dengannya, karena bagi Mama kamu agak kurus"
Kiel hanya mengangguk kecil, menggenggam tangan Lily, mengungkapkan rasa rindunya. Wanita berusia 48 tahun itu masih tampak cantik, dan membuat Julian mengerti akan rupa indah Kiel yang mirip dengan sang Ibu.
"Jadi...siapa ini?" tanya Lily, menoleh pada Julian. Untuk sejenak Kiel terdiam, menatap pada pria tampan itu. Ada kecemasan di sorot matanya.
"Ini--"
"Saya Julian, kekasih Kiel" kata Julian elegan, suaranya yang berat terdengar tajam. Dan sepertinya memberikan kesan yang bagus untuk pertemuan pertama.
Pria gentle mana yang berani memperkenalkan dirinya sebagai kekasih pada ibu dari pria yang di cintainya?
Tak adanya kata yang di lontarkan Lily,membuat kecemasan Kiel semakin menjadi. Baik Lily maupun Julian saling menatap,dan si perak itu tak dapan mengartikannya. Namun ketakutannya itu tersingkir ketika melihat lekukan di bibir tipis sang ibu, sorot matanya pun melunak.
"Selamat datang di rumah kami" ucap Lily ramah.
"Terima kasih" balas Julian kaku.
"Aku terkesan dengan keberanianmu mengaku di depanku, dan itu awal yang bagus" ujarnya, sekilas menoleh pada Kiel yang terdiam dengan harap-harap cemas.
"Baiklah, ayo masuk. Kita bicara nanti, kalian harus istirahat dulu" Lily menarik tangan Kiel.
Julian mengikut di belakang,masuk ke dalam rumah. Semua yang ada di dalam rumah itu tergolong sederhana, ia tak henti memperhatikan ke seisi rumah, bahkan pada beberapa lukisan abstrak yang di gantung di dinding lorong kecil penghubung antara rumah bagian depan dan bagian dalam.
"Julie dan Maria ada di dapur menyiapkan makan siang kalau Richard ada di rumah kaca--ah, itu dia" Lily tersenyum melihat suami keduanya setelah William itu baru masuk melewati pintu belakang.
Seorang pria berusia 50 tahunan, masih tampan dengan jenggot tipis berusia 3 hari. Memakai baju berkebun, lengkap dengan topi, matanya yang tajam tepat menatap pada Kiel yang mendadak kaku berhadapan dengan sang Ayah.
"Baru sampai?" tanyanya, sambil melepas sarung tangan berkebunnya. Suaranya yang dalam sangat berwibawa. Cocok dengan sosoknya yang tinggi tegap.
"Iya, aku baru sampai" jawab Kiel gugup. Tatapan tajam Richard pun beralih pada Julian yang berdiri di samping Kiel.
Ada keheningan yang aneh disana. Richard tak kunjung mengatakan sesuatu, dan tatapannya terasa menusuk. Kiel cemas, meski begitu ia menyadari kemunculan kedua kakak perempuannya yang kini menatapnya dengan penuh tanda tanya, akan suasana aneh tersebut.
"Kau pria yang gagah, bagaimana bisa kau berhubungan dengan putraku?" tanya Richard, tanpa berbasa-basi menanyakan nama pria bermata abu-abu itu.
Hening. Kiel merasa udara di ruangan tersebut menipis,sementara Julian masih tetap tenang dengan wajah dinginnya yang tak bisa dirubah.
"Bukan masalah anda pria atau wanita, tapi pada apa yang anda rasakan" kata Julian tenang. Mungkin siapa saja dapat salah paham akam tatapan matanya yang tajam.
"Cukup, biarkan mereka istirahat, nanti kita baru bicara setelah makan siang" ucap Lily, tanggap akan situasi tak mengenakan itu. Terlebih dirinya mengerti kegelisahan Kiel.
"Hal seperti ini harus segera di selesaikan" Richard tampaknya tak bisa tenang akan hubungan putra bungsu tirinya.
"Sayang, mereka datang jauh-jauh dari London. Biarkan mereka istirahat dulu, nanti kita bicarakan ini" Lily berkata bijak, tegas menatap sang suami.
"Maria antar Kiel dan Julian ke kamar, dan Julie lanjutkan memasak" komandonya, mendorong pelan lengan Kiel kearah putri pertamanya itu.
Maria--wanita cantik berambut hitam ikal--mengangguk. Memandu Kiel dan Julian menaiki tangga,sementara Julie kembali ke dapur.
"Aku ingin bicara berdua" ucap Lily, setelah keadaan benar-benar sepi. Richard menarik nafas pelan, lalu mengangguk.
Istirahat yang di katakan Lily nyatanya hanya di gunakan Kiel dan Julian untuk menyimpan tas di kamar, dan duduk-duduk sejenak sebelum Julie muncul dan mengatakan sudah waktunya jam makan siang.
Alhasil semua penghuni rumah kini berkumpul di meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Meski Kiel merasa ada ketegangan antara Richard dan Julian, toh kedua kakak perempuan dan juga Ibunya mengabaikan hal itu.
Tapi sungguh, Julian tak sedikit pun tegang ataupun gugup akan tatapan tajam Richard. Pria tampan itu bersikap diam-cuek seperti biasa, tak banyak bicara saat menyantap Hutspot. Sementara Lily dan Julie berusaha membuat suasana senyaman mungkin dengan bercerita tentang lingkungan mereka.
Julie yang terpaut 1 tahun dari Maria memang di kenal sebagai pribadi yang aktif, di usianya yang ke 27 tahun, ia sudah berhasil mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang iklan. Sementara Maria di kenal sebagai pebisnis properti handal, dan karakternya berbeda terbalik dengan Julie.
Maria hanya meyahut sesekali saat Julie meminta tanggapannya, sementara Lily mulai bercerita tentang Belanda pada Julian. Bercerita seolah dirinya telah lama tinggal di Negri kincir angin ini.
Betapa rendahnya Belanda dari permukaan laut, dimana kota Rotterdam adalah titik yang paling rendah di Negara ini. Dan semegah apa Maeslantkering yang disebut-sebut sebagai bangunan bergerak terbesar di Dunia sebagai gerbang untuk melindungi kota dari air laut.
Tetap saja usaha mereka tak berhasil mengurai sedikit suasana aneh di meja makan. Bahkan sampai makan siang selesai, Kiel hanya menjawab jika kedua kakak atau Ibunya menanyakan kehidupannya di London.
"Terima kasih atas makan siangnya" kata Julian, Lily tersenyum tipis.
"Semoga cocok dengan seleramu" ucapnya.
Richard berdehem kecil, membuat Kiel menghela nafas pelan, sesekali melirik pada Julian yang tetap cuek akan keadaan tersebut.
"Sekarang berikan alasan yang tepat padaku akan hubunganmu dan putra ku" kata Richard menatap tenang namun tajam pada Julian yang duduk disisi kiri meja makan.
Kiel terdiam, tak berani menatap Richard. Sementara Lily dan kedua putrinya mulai membereskan meja makan, serta memasang teling baik-baik akan percakapan menegangkan yang akan berlangsung.
"Apa yang anda ingin dengar? Bukankah sudah cukup jelas?" Julian menyahut.
"Kalian berdua pria, apa yang kau pikirkan mencintai putraku?" tanya pria itu tak habis pikir. Julian menoleh pada Kiel yang duduk tepat di samping kirinya, memahami ketakutan yang terpancar di wajahnya.
"Sebaiknya anda juga menanyakan hal yang sama pada putra anda" ia kembali beradu tatap dengan Richard.
"Julie, Marie, singkirkan piring-piring kotornya" perintah Lily, kedua putrinya beranjak patuh.
"Sebesar apapun rasa cinta kalian, hal ini tidak di benarkan" Richard menekankan suaranya.
"Cinta tidak pernah salah Tuan, yang salah hanya pilihan apa yang seharusnya di lakukan"
"Kau tahu kalau pilihanmu salah"
"Pilihan saya tidak pernah salah Tuan, mungkin putra anda salah memilih saya"
Kiel spontan mengangkat wajahnya, menatap kaget pda Julian yang memandang lurus ke depan. Dadanya terasa agak nyeri mendengar kata-kata pria tampan itu.
"Apa maksutmu bicara seperti itu? Aku tidak pernah salah memilih, apalagi menyangkut perasaanku" tegasnya, agak kesal. Julian kembali menatap Richard.
"Anda sudah dengar. Sama sepertinya, saya tidak salah memilih" imbuhnya tenang.
"Apapun alasannya hal ini tetap salah, hubungan kalian hanya akan membawa kesengsaraan"
"Saya akan sengsara jika tidak memilihnya" sahut Julian cepat.
"Aku bahagia dengan pilihanku Dad" Kiel angkat bicara, akhirnya. Memberanikan diri menatap sang Ayah, membuat perhatian seisi ruangan kini tertuju padanya.
"Apa maksutmu dengan bahagia?" tanya Richard.
"Selama ini aku menjalani hidup yang membuatku bahagia, meski semua itu melelahkan tapi aku menikmatinya" jawab Kiel mantap.
"Omong kosong, bahagia yang kamu katakan pada akhirnya tetap berujung pada kesengsaraan"
"Aku hanya melakukan apa yang baik untukku, dan pilihanku adalah Julian. Aku bahagia dengannya" tutur Kiel lembut, namun tegas.
"Bahagia hanya diawal nak" Richard menegaskan.
"Setidaknya kami melaluinya bersama, ini hidup kami" sahut Julian.
"Aku hanya tidak ingin putraku terluka, apapun pilihan kalian"
"Kalaupun aku terluka, aku tidak akan menyesali pilihanku" Kiel tampaknya berusaha meyakinkan Ayah tirinya itu.
Richard terdiam, menatap dalam pada putranya yang menatapnya penuh keyakinan. Wajahnya yang cantik, sangat mirip dengan Lily, membuat pikirannya kacau.
Di satu sisi dirinya ingin melindungi putranya, tapi disisi lain ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang dinamakan cinta antara putranya dan pria bernama Julian.
"Kau suka padanya karena wajahnya?" tanyanya kembali. Kiel pun beralih menatap Julian.
"Salah satunya, dan banyak faktor lain yang membuat saya yakin kenapa saya memilih putra anda" jawabnya. Dan Kiel lega mendengar itu.
"Kau suka padanya karena Kiel seperti wanita"
"Kalau memang begitu saya tidak akan datang kemari bertemu anda dan melakukan percakapan ini"
"Siapa yang tahu apa yang kau pikirkan, bisa saja kau hanya memanfaatkan penampilan Kiel untuk--"
"Tunggu sebentar" potong Lily, yang sejak tadi duduk diam mendengarkan. Kiel dan Richard spontan menatap pada wanita cantik bermata biru itu.
"Kalau kamu mempermasalahkan penampilan Kiel, salahkan aku. Aku yang membesarkannya" ucapnya, membuat Maria dan Julie saling menatap. Kedua wanita muda itu masih berdiri di dekat tempat cuci piring.
"Aku tidak mempermasalahkan penampilan Kiel, hanya saja..."
"Apa yang kamu katakan, sedikit banyaknya mengarah pada penampilannya sayang"
"...baiklah ok, penampilan Kiel pasti mengubah pandangan orang padanya"
"Dia masih laki-laki" kata Lily menekankan.
"Aku tidak meragukan itu, hanya saja..."
"Dia sudah seperti ini sejak lahir"
"Aku sangat tahu, dan aku tidak menyalahkan siapapun. Setidaknya penampilannya dapat sedikit laki-laki, dan tidak membuat hal ini terjadi"
"Tidak, tidak ada yang harus di ubah, apapun itu. Tidak ada yang bisa mengubahnya, sekalipun memotong sedikit rambutnya"
"Aku mengerti. Kita tinggalkan masalah rambut dan penampilannya. Yang lebih penting kamu merestui hubungan mereka?"
Lily tak langsung menjawab, mengalihkan tatapannya pada Kiel lalu pada Julian. Memahami sorot mata mereka yang seolah mengatakan sesuatu.
"Aku menyayangi putraku, aku bahagia jika dirinya bahagia" ucapnya lembut. Menatap penuh kasih sayang pada Kiel.
Si perak terhenyak. Ada rasa lega yang timbul, setidaknya meskipun Richard menentang, Ibunya telah membuat semua ini lebih muda.
"Aku dan Julie juga" kata Maria, setelah hanya diam. Richard, Lily, dan Kiel pun menoleh, kedua wanita itu beranjak mendekat ke meja makan.
"Apa maksut kalian?" tanya Richard bingung.
"Kami berdua tidak pernah menginginkan hal ini terjadi, tapi sejak dulu kami sudah membayangkan jika hal seperti ini terjadi" Maria berdiri tepat di samping sang adik duduk, dan memegangi pundaknya.
"Aku dan Maria sadar, dan sudah bersiap jika hal ini terjadi. Kami bertemu banyak pasangan dengan orientasi seksual yang berbeda dan mereka bahagia dengan pilihan mereka" sambung Julie, lalu menoleh pada Kiel dan tersenyum tipis.
"Sayang" Lily meraih tangan Richard yang berada diatas meja, menggenggamnya. Kini pria itu menatap sang istri.
"Ini jalan yang mereka pilih, takdir mereka. Kamu tahu ada takdir yang dapat diubah, dan mereka tidak mau mengubah takdir itu karena cinta yang mereka miliki. Bukankah perasaan seperti itu suci? Apakah kita harus memaksa dan menodai perasaan tulus itu?" Lily melembutkan suaranya, menatap ke dalam mata Richard. Dan pria itu terdiam.
"Aku, Julie dan Mama memang tidak mengenal Julian. Tapi aku pribadi yakin jika dia tidak mempermainkan Kiel, bukankah begitu?" Maria menengok pada Julian yang diam.
Pria tampan itu mengangguk tanpa ragu. Dan Maria cukup puas dengan jawaban tanpa suara itu, karena diawal ia melihat Julian, dirinya tahu karakter cuek pria itu.
Richard menyandarkan punggungnya, sibuk berpikir yang membuat kepalanya terasa penuh. Tidakkah berharga jika melihat orang yang penting bagi kita bahagia?
"Aku menyayanginya, karena itu aku seperti ini. Dan aku butuh waktu untuk semua ini" ujar Richard, Lily tersenyum tipis.
Pria itupun bangkit berdiri, melangkahkan kaki beranjak dari sana, tapi tiba-tiba ia berhenti di ambang pintu dan berbalik.
"Bukan berarti aku berhenti menginterogasi kau" ucapnya tajam, pada Julian yang hanya melirik. "Malam ini Kiel tidur di kamar Julie, dan Maria harus membagi kamarnya dengan Julie. Aku tidak mau terjadi sesuatu" lanjutnya, lalu beranjak.
Atmosfer di ruang makan tersebut seketika berubah seiring menghilangnya Richard, dan untuk saat ini Kiel dapat bernafas lega. Berkat sang Ibu dan kedua kakaknya yang membuat perasaanya jadi lebih baik. Belum lagi senyuman yang kini muncul di bibir mereka, membuatnya ikut tersenyum meski singkat.
"Tidak masalah `kan kau tidur di kamar Kiel?" tanya Lily.
"Tidak" jawab Julian singkat.
Dan siang ini berlalu cukup menegangkan bagi mereka. Atau mungkin ketegangan ini akan berlanjut?
***
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Julian selesai menerima telepon dari rekan bisnisnya. Pria tampan itu terlihat agak santai dengan celana traing hitam dan kaus polos berwarna abu-abu, yang kini duduk di bibir ranjang.
Matanya kembali menatap ke seluruh kamar, seperti tak ada hal lain lagi yang dapat di lakukannya.
Kamar Kiel ini memang spesial, karena letaknya tepat di bagian atas rumah, tepat di bawah atap, yang itu berarti langit-langit kamar tersebut agak rendah. Terdapat hiasan bintang di langit-langitnya, dan hiasan itu dapat berpendar jika lampu kamar di matikan.
Tak banyak perabot istimewa disana, dan satu-satunya hal yang menarik perhatian Julian adalah sederet foto berpigura yang tertata rapi di atas meja laci kecil di samping meja komputer.
Foto keluarga dimana seorang pria tampan bersanding dengan Lily. Julian yakin jika pria di dalam foto itu adalah Ayah biologis Kiel, karena masuk akal jika Lily bersanding dengan pria itu dan menghasilkan anak-anak yang istimewa.
Dan baginya terlalu cepat untuk tidur. Ia pun meletakkan Blackberrynya ke tempat tidur dan bangkit, keluar dari kamar. Saat menutup pintu ia mendengar suara Julie dan Maria di bawah yang kemudian berlalu, dengan tanpa suara ia pun menuruni tangga kayu yang menjadi penghubung dan dapat melihat pintu kamar Julie yang hanya berjarak beberapa langkah.
Julian membuka pintu tersebut tanpa mengetuk pintu lebih dulu karena tahu siapa yang berada di dalamnya.
"Kiel?" panggilnya, melihat diantara keremangan kamar karena si perak itu telah mematikan lampu.
Kiel yang hendak naik ke tempat tidur pun urung melakukannya, dan menunggu Julian yang kini menutup pintu kembali.
"Kamarku tidak nyaman ya?" tanyanya, seraya duduk di bibir ranjang, dan Julian duduk di sampingnya.
"Atapnya terlalu rendah, seperti rumah kurcaci saja" kata pria tampan itu. Membuat Kiel tertawa pelan, akhirnya.
"Kamarku di Irland persis seperti itu, aku tidak menyangka kalau Mama khusus mendekorasi kamar untukku di rumah ini. Dan bintang di langit-langitnya itu karena cita-citaku saat kecil adalah menjadi astronot" ia terkikik kemudian.
Julian hanya diam mendengarkan. Sepertinya ia lega melihat Kiel tak lagi tertekan seperti saat pertama mereka sampai.
Berkat keremangan kamar, ia dapat melihat cukup jelas ekspresi wajah Kiel dan sinar di mata indahnya. Dan tak bisa di cegah ketika wajahnya semakin dekat dan akhirnya menempel pada bibir merah itu.
Kiel menutup matanya,hendak membalas ciuman Julian ketika pintu kamar di ketuk.
"Ini Papa, kamu sudah tidur?" suara Richard diluar membuat Kiel menjauhkan bibirnya cepat.
"Kamu harus sembunyi!" ucapnya berbisik, agak panik.
"Papa yakin kamu masih terjaga, jadi dengarkan saja" lanjut Richard. Kiel yang panik mencari tempat persembunyian untuk Julian pun seketika berhenti di tempat.
"Papa tidak bermaksut menyalahkan keadaanmu atau siapapun. Papa hanya sedikit tidak rela, daripada kedua kakakmu, Papa jarang bertemu denganmu..."
Kiel menunggu.
"Papa menyayangimu, karena itu Papa seperti ini. Papa merasa kamu sudah dicuri oleh pria itu..."
Kiel menoleh kesisi kirinya, merasakan jemarinya yang di genggam. Menatap Julian yang tengah menatapnya.
"Good night" ucap Richard. Dan terdengar suara langkah yang menjauh kemudian.
Kiel terdiam, dan tubuh itu di tarik ke dalam pelukan hangat Julian. Diantara keheningan kamar, mereka dapat mendengar suara detak jantung masing-masing.
"Sudah waktunya untuk tidur" ucap Julian, lalu melepas pelukannya.
Kiel bergerak patuh, ketika tangannya di tarik ke tempat tidur. Mereka berbaring bersama, di bawah selimut yang sama, saling menatap.
"Berjanjilah padaku kalau apapun yang terjadi kamu tidak akan meninggalkan aku" pinta Kiel, suaranya terdengar pelan.
"Apa harus aku membuat tanda di tubuhku untuk membuktikannya?" Julian menatap tajam.
"Jawab saja"
"Tidak akan, aku berjanji"
Kiel tersenyum, lalu merubah posisi tubuhnya, tidur membelakangi Julian. Pria tampan itu melingkarkan tangannya di pinggang Kiel dan menariknya mendekat, lalu mendaratkan kecupan di tengkuk lehernya.
"Good night" ucap Kiel, seraya memegangi tangan Julian yang berada di atas perutnya.
Pria tampan itupun mendaratkan kepalanya di bantal, dan berusaha untuk tidur lebih awal karena Kiel berada di pelukannya.
[to be continue]

0 komentar:

Posting Komentar