Who Says? | 8.2


Author: Otsu Kanzasky
Beberapa hari terlewat dengan hal-hal baru yang tak pernah terpikirkan oleh seorang Kiel jika hidupnya akan di warnai oleh kehadiran Julian yang mendadak muncul di dalamnya. Ia masih dapat mengingat hari pertama mereka bertemu dengan sangat baik, sebaik Julian yang dapat selalu membuanya kesal dan tak berkutik.
Pria itu adalah trouble maker untuknya. Ada atau tidak adanya dia di sekitarnya akan tetap membuatnya tak tenang, baik karena sifat pemaksa dan arogannya, maupun bayang-bayangnya yang selalu menghantui Kiel dimanapun dia berada.
Bahkan semakin hari perasaanya semakin tak menentu jika dirinya melihat Julian berdampingan dengan beberapa wanita disaat-saat tertentu. Pria itu dapat membuatnya melambung tinggi dan dalam sekejab dapat membuatnya marah-marah.
Julian seperti hantu, bisa berada dimanapun, bahkan secara tak terduga muncul di lokasi pemotretannya dan mengawasi semua gerak-geriknya. Dibalik sifat pemaksa dan keras kepalanya, Kiel menemukan kenyamanan disana. Terlepas bagaimana hubungan mereka, yang jelas si perak itu telah berada di dalam hidup Julian, dan seiring berjalannya waktu mengenal lebih tentang pria bermata abu-abu itu.
Mereka tak hanya satukali bercinta, karena pada akhirnya Julian dengan mudah mendapatkan apa yang di inginkannya. Membuat Kiel terikat pada pria itu, suka ataupun tak suka.
Dan satu yang kini di pahami Kiel; jangan pernah membuat Julian marah(dalam hal apapun), karena ia tahu dimana dirinya berakhir. Kalau tidak diatas tempat tidur, pasti di dalam mobil. Hal itulah yang membuat Kiel lebih tenang menghadapi Julian. Kedakatan Kiel dan Julian tentu saja sudah di ketahui banyak orang, apalagi sebelum semua ini mereka berdua pernah menjadi berita ketika kedapatan berduaan di Covent Garden. Dan tidak ada yang mempermasalahkannya, karena Inggris telah melegalkan hubungan sejenis.
Tapi hal itu tentu tidak menyenangkan bagi Bobby yang sudah lama menyukai Kiel, dan tentu saja si perak itu berusaha menjaga sikap dan kata-katanya ketika bertemu dengan Bobby. Selain tak ingin memberi harapan palsu, ia juga tidak mau sampai membangunkan singa tidur.
"Habiskan makan siangmu dengan cepat, sebentar lagi sesi pemotretan terakhir" ujar Kelly, di tenda khusus model.
Kiel yang sedang memakan bekal buatan sang manager pun hanya mengangguk. Dalam kondisi memakai make up lengkap dan gaun rumit yang cukup menyulitkannya, Kiel makan siang selagi menunggu gilirannya.
Siang ini dirinya berada di Istana Windsor untuk pemotretan profesional, membawakan pakaian kotemporer bertema Kerajaan. Ada 4 model yang terlibat, dan ia salah satunya.
Siang ini kesabarannya di uji habis-habisan, di bawah terik matahari, dan fotografer yang sangat idealis. Karena pemotretan ini akan menjadi bagian majalah fashion yang terkenal di Dunia.
Setidaknya Kiel harus bertahan selama 30 menit, membawakan 2 pakaian wanita. Dan entah sang make up artist yang jenius atau memang wajah Kiel yang memenuhi syarat, sesi pemotretannya berjalan lebih cepat beberapa menit daripada rekan-rekan modelnya yang lain.
Wajahnya yang seperti boneka klasik itu di anggap sempurna oleh Foster si fotografer dengan tema kali ini.
"Selesai! Kerja bagus, terima kasih!" ujar Foster, tersenyum puas pada Kiel.
"Terima kasih" balasnya sopan.
Kelly sudah siap menyambut dengan sebotol infuse water dingin saat Kiel berjalan menjauh dari fokus kamera Foster sambil mengangkat setengah gaunnya.
"Kegiatan setelah ini apa?" tanyanya, mengambil botol minumnya dan menegaknya.
"Tidak ada, waktumu sudah di booking oleh seseorang" jawab Kelly. Kiel mengernyit, dan menyudahi minumnya.
"Maksutmu?"
Belum sempat Kelly mengatakan sesuatu, 2 pria berpakaian serba hitam yang cukup familiar berjalan kearah mereka.
"Selamat siang, anda sudah di tunggu oleh Bos" kata pria itu sopan, Kiel mengangkat satu alisnya.
"Bukankah kalian pengawal Julian?" tanyanya bingung. "Kenapa kalian ada disini?" lanjutnya.
"Kami di perintahkan untuk menjemput anda, Bos sudah menunggu di mobil" Keith menjelaskan. Kiel beralih menatap Kelly.
"Kamu tahu tentang hal ini?" tanyanya memicingkan mata, Kelly hanya mengangkat bahu kecil.
"Sebaiknya kita bergegas, Bos tidak akan suka menunggu lama" Martin menambahi.
"Katakan padanya, jangan datang seenaknya kalau tidak ingin menunggu lama. Aku mau ganti baju" kata Kiel tegas, lalu beranjak menuju tenda.
"Tidak ada waktu Tuan, kita harus cepat" kata Keith, menarik lengan Kiel. Dan seenak hati mengangkat si perak itu di pundaknya.
"Turunkan aku! Kau tidak sopan! Hei" teriak Kiel memukuli punggung Keith yang cuek berjalan menjauh dari lokasi pemotretan.
"Turunkan aku! Aku bisa melaporkanmu ke polisi atas tuduhan penculikan!" ancam Kiel, berusaha berontak.
Makian keluar dari mulutnya karena Keith dan Martin mengabaikan semua yang di katakannya. Untung saja suasana di sekitar Istana Windsor sepi karena tidak sembarang orang yang boleh menginjakkan kaki disana, kecuali telah mendapatkan izin.
Martin membukakan pintu belakang sedan hitam yang terparkir di pinggir jalan, dan Keith menurunkan Kiel di atas kursi. Si perak itu melotot kesal saat Keith menutup pintu mobil, lalu menengok ke sisi kanannya, pada Julian yang duduk santai.
"Apa kamu tidak mengajari mereka sopan santun?" tanyanya kesal, Julian pun menatapnya.
"Aku tidak suka menunggu lama, ganti bajumu" kata Julian sembari meletakkan sebuat paper bag hitam di atas paha Kiel.
"Kenapa kamu selalu memaksakan kehendakmu? Menyebalkan" ketusnya, dengan kasar membuka paper bag tersebut dan mengeluarkan isinya.
Sebuah dress merah darah minimalis, dibagian bahu dan lengan berbahan brokat yang cantik, panjang diatas lutut, terdapat aksen renda di bagian pinggiran roknya.
"Apa ini?" tanyanya menatap Julian bingung.
"Aku tidak tahu selera pakaianmu, kamu sering pakai gaun jadi pakai saja" ujarnya terkesan memerintah.
"Disini?" kerutan di dah Kiel semakin dalam. Julian tak menyahut dan itu artinya ya.
Kiel mendengus kecil, pada akhirnya menurut untuk mengganti baju, toh Keith dan Martin berada diluar. Cepat ia memakai dress merah itu, lalu kedua pengawal diluar pun masuk dan segera menjalankan mobil sedan tersebut.
"Kita mau kemana?" tanya Kiel, memangku gaun pemotretannya agar tak rusak karena harus di kembalikan.
"London Eye" jawab Julian singkat.
"Ada apa disana?"
"Kamu akan tahu nanti"
Kiel memutuskan diam, kalaupun di masih bertanya toh hanya akan membuatnya kesal, karena Julian hanya menyahut seadanya. Tapi saat mobil berhenti saat lampu lalu lintas berubah merah, Kiel memperhatikan ke sebrang jalan, pada pedestrian yang tak pernah sepi oleh pejalan kaki. Pada anak-anak yang berjalan bergandengan dengan orangtua mereka.
"Orangtuaku dulu sering mengajak kami jalan-jalan seperti itu" ujar Kiel, memaku tatapannya keluar jendela. Ada kerinduan di suara dan sorot matanya. Julian menoleh, memperhatikan si perak itu.
"Hanya jalan-jalan ke taman, tapi kami sangat senang bermain disana, rasanya sudah lama" kenangnya, tersenyum tipis ketika melihat seorang bocah perempuan yang menangis karena permennya jatuh.
Julian tak berkomentar, kembali menatap lurus ke depan. Suasana pun jadi hening, karena Kiel juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Tak lama, mobil yang mereka naiki berhenti tepat di depan taman dimana wahana London Eye yang terkenal berada.
Kiel dibuat takjub oleh area di sekitar wahana yang di sulap menjadi tempat pernikahan bertema garden party. Meja, kursi dan altar, semuanya serba putih, sanpat sederhana jika melihat tamu-tamu yang datang, karena hampir semuanya mengendarai mobil-mobil mahal.
"Siapa yang menikah?" tanya Kiel ketika turun dari mobil, dan berjalan di samping Julian.
"Relasi bisnis" jawabnya singkat. Dan tanpa di sangka jika pria dingin itu menarik tangan Kiel, menggenggamnya.
Si perak terdiam, menatap tangan kanannya yang di genggam. Perlahan bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis, tapi kemudian ia sada dan berusaha untuk tidak tersenyum. Meski ada rasa senang merayapinya.
Ternyata banyak juga dari para tamu yang mengenalinya, ada yang sekedar menyapa bahkan sampai minta berfoto. Tapi Kiel tidak semudah itu meladeni mereka, karena Julian sudah menatapnya tajam.
Kiel dibuat tak mengerti oleh sikap Julian, pria itu sangat sulit di tebak. Dan dirinya dibuat terheran-heran saat mereka hanya datang untuk sekedar menampakkan diri pada pengantin, setelah itu Julian menariknya kembali.
"Hanya begini saja? Kita harus mencoba London Eye" ujar Kiel, agak kecewa. Dengan bibir merengut, mengikuti langkah Julian.
"Itu permainan anak-anak, jangan harap" ucapnya dingin.
"Setidaknya biarkan aku naik, sebentar saja aku ingin mengenang Ayahku" pinta Kiel.
Sepertinya hal itu berhasil karena Julian berhenti berjalan, dan kini menoleh padanya. Dan Kiel tidak dapat melihat persetujuan di tatapan matanya yang selalu tajam itu, tapi siapa yang menyangka jika pria tampan itu membelokkan langkah kakinya menggandeng Kiel kearah London Eye.
Kiel tampak senang, ia sudah tak sabar naik wahana terkenal itu. Sebuah kincir raksasa dan terbesar nomor 2 di Dunia, terlebih dirinya dapat naik secara cuma-cuma, tanpa harus antri panjang, seperti pemandangan setiap harinya.
Si perak itu sangat antusias, karena sudah lama ia ingin naik ke wahana itu sejak pertama kali menginjakkan kaki di London--1 tahun yang lalu, dan baru kali ini ada kesempatan. Kiel dan Julian naik di salah satu bilik bianglala yang dapat diisi 4 orang sekaligus, tapi kali ini hanya diisi oleh mereka berdua.
Kiel mengambil tempat duduk memojok ke jendela wahana, memperhatikan pemandangan diluar dengan wajah berseri, sementara Julian duduk di sisi yang lain agar bilik tersebut seimbang.
"Apa yang membuatmu mengenang Ayahmu?" tanya Julian tiba-tiba, membuat Kiel harus mengalihkan pandangannya. Beruntung wahana itu berputar cukup lama mengingat ukurannya yang amat sangat besar, jadi ia tidak akan melewatkan pemandangan cantik di puncak wahana nanti.
"Dia sering mengajak ku dan kakak perempuan ku naik bianglala, ada taman bermain di dekat rumah kami. Bianglalanya sangat kecil, tapi kami menyukainya" Kiel tersenyum samar, mengenang masa kecilnya.
"Kami tinggal di kota kecil di Irlandia, dan tidak banyak hiburan disana. Setiap akhir pekan orangtua ku akan mengajak kami jalan-jalan" Kiel melanjutkan ceritanya, dan Julian diam menyimak. Tak lepas menatap si perak yang duduk berhadapan dengannya.
"Hanya sampai aku berusia 7 tahun, karena dua kakak ku sudah besar dan dia sibuk bekerja..." Kiel diam sejenak. "Hubungan kami tetap harmonis, Ayah ku bekerja sebagai kepala polisi di kota kami..."
"Lalu apa yang terjadi?" Julian menunggu, suaranya terdengar peduli. Sepasang mata biru itu berubah sendu.
"Dia tertembak saat terjadi perampokan di sebuah rumah dan tewas seketika dengan 2 luka tembak" jawab Kiel tenang. Sebagai pelaku entertaint, ia sangat pintar mengendalikan mimik wajahnya.
Sejenak hening menyeruak di antara mereka, Kiel berusaha mencairkan suasana dengan tersenyum tipis, dan beralih menatap keluar jendela. Menikmati pemandangan dari ketinggian, sementara Julian masih memaku tatapannya pada sosok berambut perak itu.
"Lihat lihat! Itu Istana Buckingham!" seru Kiel antusias, matanya berbinar indah memandang jauh keluar, padahal biliknya baru setengah perjalanan.
Julian memutar kepalanya, menatap keluar jendela. Wajahnya tetap saja dingin, karena memang seperti itu wajahnya sejak lahir.
"Bagaimana denganmu? Kenangan apa yang berharga?" tanya Kiel, kembali menatap Julian. Pria itu meliriknya.
"Ayahku sering mengajak ku ke casino, club malam, dan tempat-tempat yang tidak seharusnya di datangi anak berusia 5 tahun" Julian mulai bercerita, Kiel melongo mendengarnya.
"Sungguh?" tampaknya ia tak percaya.
"Saat usiaku 10 tahun, dia sudah menyuruhku bertaruh dengan teman-temannya. Bermain kartu dengan taruhan segelas bir, tahun berikutnya aku memenangkan poker dengan jumlah taruhan 10.000 dollar"
"Itu gila" celetuk Kiel heran. "Kamu benar-benar melakukan semua yang di lakukan Ayahmu?" tanyanya tak percaya.
"Di usiaku ke 17 dia sudah menyerahkan bisnis senjatanya padaku"
Kiel spechless, ia sampai tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sungguh jalan hidup yang tak di mengertinya.
"Lalu bagaimana Vanessa?" tanyanya penasaran.
"Dia sama sepertiku, tapi bagaimanapun dia perempuan. Vanessa memegang bisnis properti, meskipun begitu dia kuat"
"Sekuat apa?"
"Dia pernah menghajar perampok dijalan karena melukai seorang nenek tua, pernah membuat pesta pernikahan kerabat kacau karena menghajar pria hidung belang yang melecehkannya"
"Apa yang terjadi pada pria itu?"
"Tangannya patah, hidungnya bengkok, siapa yang peduli"
"Benarkah?" Kiel tergelak.
"Dia tak berhenti mengamuk sampai Ayah menyuruh pengawalnya untuk menyeret Vanessa keluar ruangan"
Kiel tertawa, membayangkan jika Vanessa yang cantik itu dapat menghajar pria yang tenaganya lebih besar. Dan Julian menikmati pemandangan itu, ada kelegaan di sorot matanya memperhatikan Kiel yang masih tertawa.
"Lalu apa lagi?" tanya Kiel, berusaha menyudahi tawanya.
"...dia pernah membuatku kalah di kasino karena terlalu berisik, sejak saat itu aku tidak pernah mengijinkannya ikut"
Kiel tertawa kecil, sambil menggeleng-nggelengkan kepalanya pelan, dan tawanya pun berhenti ketika ekor matanya menangkap pemandangan indah diluar kincir. Otomatis perhatiannya pun beralih pada pemandangan diluar.
Kiel nyaris menempelkan wajahnya pada kaca kincir, menyaksikan pemandangan indah sungai Thames yang tersuguh sempurna dibawah sana. Tampaknya mereka sudah berada di puncak wahana, si perak itu jelas sekali terpesona oleh pemandangan yang tersuguh di depan matanya.
Tidak hanya sungai Thames, dari puncak London Eye ia dapat melihat hampir sebagian wilayah London. Sangat indah, tapi tidak sedikitpun menarik perhatian Julian untuk menikmati pemandangan yang ada. Pria berahang tegas itu lebih tertarik memperhatikan Kiel yang antusias memandang keluar, ia memutuskan untuk pindah tempat duduk di samping pria cantik itu dan membuat bilik mereka bergoyang kecil dan agak miring karena tidak seimbang.
Kiel otomatis menengok ke belakang saat Julian mengulurkan tangannya dan menempatkannya tepat di dekat kepala Kiel, dan saat si perak itu menatap Julian, bibir merahnya segera disambut oleh bibir pria itu.
Kiel terkejut, tak menduga akan hal ini. Tapi dirinya tak menolak, dan membalas ciuman Julian. Hanya sejenak, karena ia melepas bibirnya.
"Kamu membuatku melewati menikmati pemandangan dari atas sini" ujarnya tak benar-benar kesal, dan kembali memandang keluar.
"Aku tidak suka di acuhkan" kata Julian. Tangannya yang lain memegang pipi Kiel dan membuat si perak itu menoleh padanya.
Julian kembali melahap bibir Kiel dan mendorong bagian belakang kepalanya, memperdalam ciuman mereka. Kiel terhanyut, keinginannya untuk menikmati pemandangan dari ketinggian pun terlupakan karena lumatan lembut di bibirnya membuatnya meleleh.
Bilik itu bergoyang kecil ketika Julian menyandarkan Kiel ke bilik, dan memperdalam ciumannya. Kini lidah mereka saling bergulat, membuat suasana memanas, dan untung saja wahana itu sangat besar dan membutuhkan waktu cukup lama untuk bilik mereka berada di bawah.
Julian menyesap bibir kenyal Kiel lembut lalu melepasnya, dan mendaratkan ciuman singkat di leher halusnya. Kiel memejamkan mata, pipinya merona, bibirnya masih terbuka untuk menghirup oksigen, dan menikmati debaran dadanya. Ia merasa ada sekelompok kupu-kupu yang belajar terbang di perutnya hingga naik ke dada, membuat perasaannya meluap.
"Kamu pernah melakukan hal ini sebelumnya? Dengan pria?" tanya Kiel, menjauhkan kepala Julian dari lehernya. Mata abu-abu itu seolah dapat menembus jiwanya.
"Tidak, aku sering lupa kalau kamu laki-laki" jawabnya tak berdosa.
"Lalu kenapa sekarang kamu melakukannya?"
"Apa harus ada alasan untuk menganggap seseorang penting bagiku? Kenapa harus berpikir kalau menyukai seseorang?"
Kiel terdiam, pernyataan Julian menyadarkannya akan suatu hal yang tak di sadarinya. Sorot mata tajam itu tak pernah berbohong, ketegasan, arogansinya, sifat pemaksanya bentuk dari apa yang di yakininya.
Julian membuatnya mengerti, jika menyukai ataupun mencintai seseorang tak harus mengenali orang itu luar dan dalam. Cinta bisa saja muncul dimana saja, dan kenapa selama ini dirinya dibuat gelisah karena hal ini?
Dirinya sadar jika tertarik pada Julian, perasaan suka itu ada, tapi karena dirinya terlalu memikirkan `tidak mengenalnya secara utuh', maka hal itu membelenggu perasaannya. Karena pada dasarnya tidak perlu ada alasan apapun untuk menyukai seseorang.
"Aku hanya ingin dengar kamu menginginkan ku" ucap Julian, merendahkan suaranya. Kiel mengangguk samar.
"Aku menginginkan mu Julian" ujarnya lugas. Menahan rasa panas di wajahnya dan jantungnya yang berdetak lebih cepat.
Cinta itu aneh bukan?
"Kenapa kamu menginginkan ku?"
"Aku tidak tahu. Aku senang kamu selalu muncul disaat yang tepat, kamu memperhatikan ku dengan caramu, meski aku kesal dengan sikap pemaksamu, tapi aku menikmatinya. Intinya kamu membuat perasaan ku kacau"
"Sudah jelas kamu terlalu banyak berpikir"
"Aku tahu"
"Bertindaklah dengan tubuhmu, rasakanlah dengan hatimu, dan katakan dengan mulutmu"
"Aku mengerti"
"Even if the world turns their back on me, i wouldn't give up for you" ujar Julian. Tanpa sadar Kiel menahan nafas.
Si perak itu menutup matanya ketika Julian kembali mendekatkan wajahnya, dan sentuhan lembut mendarat di bibirnya. Ciuman hangat yang kali ini dapat melegakan perasaannya.
Benar kata Julian jika dirinya terlalu banyak berpikir, yang membuat semuanya jadi membingungkan.
"Tunggu dulu" Kiel melepaskan bibirnya tiba-tiba. "Saat peristiwa di Hyde Park waktu itu ada dua pria yang mencoba menolong ku, siapa mereka?" tanyanya, membuat mood Julian berubah.
"Mereka bawahanku"
"Jadi mereka mengikutiku selama ini?"
"Sejak peristiwa di John Lewis"
Kiel terdiam, menatap Julian tak percaya. Tak percaya jika pria itu sudah melindunginya sejak awal. Dan dirinyaa tak mengetahu itu. Sepenting itukah dirinya bagi seorang Julian?
Hal itu membuatnya merasa sangat di inginkan.
Siapa bilang cinta itu rumit? Cinta hanya perlu di rasakan, bukan untuk di pikirkan. Karena saat kita menyukai seseorang, maka itu artinya kita elah mengenal siapa dia yang telah membuat kita menyukainya.
Karena cukup satu dari seribu alasan dapat membuat kita menyukai seseorang yang bahkan tak pernah terpikirkan sedikitpun. Mencintai seseorang tanpa syarat, itulah true love.
~Continued.......

0 komentar:

Posting Komentar