Who Says? Part 5



Author: Otsu Kanzasky

ps: meminjam tokoh Monster, Kiel dan Julian, cerita, alur dan karakter individu yang berbeda.

***

Tepat pukul 9 malam, Julian menutup buku bisnis yang sudah 3 hari ini di bacanya. Sebuah buku yang cukup tebal, agak meragukan memang jika melihat riwayatnya sebagai pemimpin kelompok mafia. Karena kebanyakan para pria seperti itu tidak suka bertele-tele, apalagi membaca buku tebal seperti itu.

Sosok elegannya tak luntur meski saat ini dirinya hanya mengenakkan celana training Puma abu-abu dan kaus lengan panjang putih yang membuatnya tampak sangat tampan.

Julian meletakkan bukunya kembali ke dalam rak lemari kaca, dan beranjak ke sudut kamar, pada coffee maker yang berada di dekat set sofa berwarna hitam mewah. Ia mengambil cangkir porselen yang tersedia di meja coffe maker dan membuat kopinya sendiri.

Kopi arabica kesukaannya. Asap tipis mengepul dari cairan hitam pekat itu, ia hendak menambahkan gula saat Blackberrynya berdering dengan nada khusus.

Julian meletakkan cangkir kopinya ke meja kaca sofa, diantara laptop dan beberapa benda. Sementara Blackberrynya masih berdering menunggu di terima oleh sang pemilik.

Vladimir Adrik.

Julian tak bereaksi akan nama sang Ayah yang tertera di layar gadgetnya.

"Allo?" suaranya yang serak terdengar seksi.

(".....")

"Papa spokoyno , aktsii almaznoy kompanii uzhe ya poluchayu"(Papa tenang saja, saham perusahaan berlian itu sudah ku dapatkan)

("......")

"Vse gladko , ya znayu , chto delat'. Prosto sidet' i naslazhdat'sya zhizn'yu"(Semuanya lancar, aku tahu apa yang harus ku lakukan. Duduk tenang saja dan nikmati hidupmu) ujarnya lalu mengakhiri pembicaraan.

Memang agak membuatnya tak nyaman karena Ayahnya masih saja mengaturnya, padahal dirinya tahu apa yang harus di lakukan.

Julian melemparkan gadgetnya ke tempat tidur dan menghampiri kopinya yang terbengkalai. Sambil menyesapnya perlahan, ia mulai mengecek e-mail yang sejak sore menyala.

Sebuah e-mail baru atas nama Ralph Brigss menyapa matanya. Segera ia membuka pesan dari pimpinan sebuah perusahaan properti besar di London. Tapi lagi-lagi bunyi Blackberrynya membuatnya urung membuka e-mail tersebut.

Pesan BBM dari Vanessa.

VanesAdrik::
-pesta akan dimulai! kamu mau tetap didalam gua atau menemui Kiel?

Julian sempat diam beberapa saat, sebelum jarinya mengetik balasan.

Julian Adrik::
- bersenang-senanglah

Tring!

VanesAdrik::
-you`re so bored! berhentilah bersikap sok serius, ku ajari bagaimana caranya bersenang-senang!

Julian Adrik::
-ajari saja orang lain

VanesAdrik::
-ok, jangan menyesal kalau Kiel dan Bobby akhirnya pacaran. go to hell!

Julian membaca balasan Vanessa cukup lama, seolah tak memahami isi pesan tersebut. Diantara sifat cuek dan dinginnya masih tersisa kesensitifan yang rumit baginya. Karena entah kenapa, ada perasaan tak rela dan marah saat membacanya.

Gadget itu di lemparkannya sembarangan, berjalan kearah pintu dan keluuar kamar. Langkah kakinya tegas menapaki lantai marmer mewah rumahnya, menuju ke bagian depan rumah.

Dan dirinya dapat mendengar suara Vanessa dan suara asing yang sedang mengobrol di Ruang Tamu yang berada disisi kanan dari arahnya.

Dan sepertinya hidung wanita cantik bermata cokelat itu peka akan bau sang adik yang kini berdiri di depan ruang tamu dengan ekspresi yang tak dapat di artikan.

"Ah, itu adikku Julian" ucap Vanessa pada kedua teman wanitanya. Yang tampak seperti ibu-ibu sosialita.

Dengan pakaian yang cukup terbuka dan justru terlihat bitch dimata Julian. Kedua wanita itu langsung merapikan rambut mereka dan berusaha menarik perhatian Julian, yang tentu saja masuk dalam kriteria mereka.

"Ju--hei kembali!" Vanessa refleks bangkit berdiri saat Julian membalikkan badan beranjak dari tempatnya berdiri.

Namun baru beberapa langkah, Julian mendengar seorang pengawal yang berkata jika Kiel dan teman-temannya telah datang pada Vanessa.

"Selamat malam!" suara ringan itu membuat Julian menoleh ke belakang punggungnya.

Mata abu-abunya menangkap sosok cantik Kiel yang tetap dapat menyihir siapapun termasuk dirinya. Pria berusia 25 tahun itu tampak segar dengan celana pendek selutut berwarna cokelat muda, lalau sweater rajut bercorak bintang yang mempertontonkan leher indahnya, sementara rambut peraknya tergerai indah bergelombang.

Diantara beberapa orang yang datang, hanya sosok Kiel yang tampak dimatanya. Hingga sepasang mata biru jernih itu menatapnya dan tersenyum ramah.

"Selamat malam" sapanya mendekat. Julian memalingkan wajahnya.

"Ah iya, Nes aku bawa cake" kata Kiel, berbalik pada Vanessa sembari menyodorkan kotak cake putih pada wanita itu.

"Kamu tidak perlu repot-repot sayang, tapi terima kasih ya" Vanessa menerima kotak cake itu dengan tersenyum.

"Aku membuatnya sendiri"

"Oya? Lalu pekerjaanmu?"

"Ada beberapa jadwal yang batal tadi, jadi aku mencoba membuat cake dengan bantuan buku resep Kelly" Kiel menyeringai kecil sambil menggaruk tengkuk lehernya.

"Wah, aku beruntung sekali" kata Vanessa melirik jahil pada Julian di belakang. Tapi George yang berdiri di belakang Kiel tampak menahan senyum dengan berpura-pura berdehem sambil menutup mulut.

"Ya sudah ayo kita naik" ajak Vanessa bersemangat. "Pedro, bawakan cake ku ke kamar" titahnya pada pengawal yang berdiri di depan ruang tamu.

Pedro mengambil kotak cake itu, dan Vanessa memboyong ketujuh tamunya termasuk Kiel ke lantai atas dimana private partynya di adakan.

Julian tampaknya tak tertarik mengikuti gerombolan itu, dan dari tempatnya berdiri dirinya dapat mendengar celetukan tentang betapa megahnya kediamannya ini.

"Berikan kotak cake itu padaku" pintanya tiba-tiba pada Pedro yang akan beranjak melaksanakan perintah Vanessa.

Seperti anjing yang di cucuk hidungnya, Pedro memberikan kotak putih tersebut. Tak berani berkomentar saat majikannya membuka kotak tersebut dan mencuilnya sedikit lalu melahapnya.

Ada yang aneh dengan ekspresi wajahnya, dan kunyahannya berangsur pelan. Kemudian memperhatikan tiramisu yang ada didalam kotak.

Well, rasanya memang tak seperti dugaannya.

Dan keputusan yang diambil Julian adalah; Seseorang yang feminin belum tentu bisa memasak. Harap di catat.

"Kuenya Bos?" pinta Pedro sopan.

"Katakan pada Vanessa kalau kuenya akan ku ganti" kata Julian setelah menutup kotak cake kembali.

Tak memperdulikan Pedro yang kebingungan setengah mati dan beranjak darisana kembali ke kamarnya.

Entah apa yang membuat pria dingin itu membawa cake Vanessa ke kamarnya, meletakkannya di dekat laptop dan duduk diatas alas bantal, kembali menghadap layar laptopnya.

Mungkin memang tidak ada hal yang dapat membuat Julian `keluar dari kotak&' sekalipun sedang ada pesta kecil di lantai dua rumahnya. Meski dengan adanya Kiel?

Julian berdiam beberapa detik setelah membalas e-mail Ralph Brigss, dan mengalihkan tatapannya pada kotak cake.

"Kenapa aku tidak mau cake tidak enak ini ada di tangan Vanessa?" tanyanya menguap. Seperti bisikan.

Tok, tok, tok, suara ketukan pada pintu kamarnya, membuat perhatiannya teralihkan.

"Siapa?" serunya.

"Maaf, aku mencari toilet tapi tidak menemukannya" ujar orang diluar.

Satu alis Julian terangkat mendengar suara yang telah terekam di dalam kepalanya. Ia segera bangkit dan membuka pintu kamar.

Ekspresi terkejut lah yang di lihatnya ketika melihat Kiel berdiri di depannya. Dan dirinya sendiri cukup bingung kenapa si perak itu bisa berada di depan kamarnya.

"Maaf mengganggu mu, aku mencari toilet tapi aku tidak menemukan siapapun disini" kata Kiel, menjawab pertanyaan di kepala Julian.

"Ada kamar mandi di dalam, masuk" ujarnya seraya membuka pintu kamarnya lebih lebar.

"Terima kasih" desis Kiel.

Si perak itu buru-buru masuk ke dalam kamar dan menyerbu kearah kamar mandi, sementara Julian masih berdiri di dekat pintu memperhatikan Kiel.

Tak lama si cantik bermata biru jernih itu keluar dari kamar mandi dengan wajah lega.

"Terima kasih kamar mandinya" ucapnya. Julian hanya mengangguk singkat. Tepat setelah itu tak sengaja Kiel melihat kotak cake yang ada di meja kaca tak jauh darinya.

"Maaf kalau cakenya tidak enak, Kelly bilang aku payah di dapur" ujarnya tiba-tiba.

"Tidak juga" sahut Julian singkat.

"Sebaiknya kamu ikut denganku keatas"

Julian hanya diam. Sejujurnya dirinya sama sekali tidak berminat dengan usulan Kiel, tapi...

"Vanessa dan teman-temanku sudah mulai menggila" kata Kiel.

"Maksutmu?" Julian bereaksi.

"Yah, you know, beer or something like that" Kiel mengedikkan pundaknya kecil.

"Aku ikut" sahut Julian cepat.

Pria itu menutup pintu kamarnya lebih dulu dan mengikuti Kiel ke lantai atas. Suara musik dengan beat yang atraktif menyapa gendang telinganya, dan keningnya berkerut sempurna saat melihat jika ruang santai rumahnya disulap menjadi ruangan remang-remang lengkap dengan lampu kerlap-kerlip.

"Ayo" ajak Kiel menarik tangan Julian masuk.

Vanessa yang melihat sang adik datang pun tampak senang dan menarik pria itu duduk di sebelahnya.

"Akhirnya kamu datang, sudah bosan didalam gua?" sindirnya, tak peduli akan mimik wajah Julian yang tak bersahabat.

"Seharusnya kau datang daritadi, aku dan Bobby tidak berkutik disini" kata George nimbrung, tepat duduk berhadapan dengan Vanessa di set sofa berwarna merah maroon. Dan Julian tetap tak bereaksi.

Masih dengan wajah dingin ia menatap ke seluruh ruangan, dan melihat kedua teman Vanessa dan teman-teman wanita Kiel sedang menari gila-gila'an. Sepertinya mereka berada dibawah pengaruh alkohol.

"Ini gelasmu dan ini untuk Kiel" Vanessa memberikan 2 sloky pada Julian yang duduk di sebelahnya dan Kiel yang duduk di samping George.

Julian mengernyit mencium bau alkohol yang lumayan keras. Dan perhatiannya teralihkan saat tiba-tiba Vanessa dan George bersorak.

"Rasanya aneh" kata Kiel mencebik. Vanessa tertawa geli, dan malah mengisi sloky Kiel yang kosong.

"Tambah lagi, ayo minum sepuasnya!" seru Vanessa mengangkat botol Johnny Walker tinggi-tinggi.

"Ingat kamu mudah mabuk Kiel" kata Bobby memperingatkan.

"Santailah sedikit Bob, ini waktunya bersenang-senang ya `kan?" George buka suara, menengok pada Kiel yang ada di samping kanannya.

"Benar, apa salahnya minum?" Kiel menyodorkan slokynya pada Vanessa.

"Cukup Kiel" tepis Bobby tak nyaman. Tapi si perak itu kekeuh agar slokynya diisi kembali.

"Ada baiknya mendengarkan temanmu" kata Julian.

"Ayolah, aku jarang minum jadi biarkan aku minum beberapa gelas" Kiel bersikeras.

"Kita hormati keinginannya, ok?" Vanessa dengan senang hati kembali mengisi gelas Kiel.

Si perak itu menegak minumannya dengan menutup mata rapat, lalu mendesis keras setelahnya. Tanpa bisa di kendalikan, Kiel meminta lagi dan membuat Bobby khawatir akan hal itu.

Padahal baru gelas ketiga dan Kiel sudah menunjukkan tanda-tanda mabuk. Si cantik itu mulai menggoyangkan kepalanya mengikuti musik, dengan gelas yang terisi sedikit ia hendak bangkit berdiri tapi tubuhnya limbung. Refleks Julian menangkap tubuh semampai itu dan Kiel masih saja bergoyang-goyang meski kepalanya terkulai di dada bidang pria tampan itu.

"Biar dia ku antar pulang" ucap Bobby, meletakkan gelasnya di meja serta bangkit berdiri.

"Calm down Bob~ Kiel jarang bersenang-senang, biarkan saja dulu" tahan George, mencegah Bobby menghampiri Kiel yang kini bersandar penuh pada Julian.

Kiel mulai meracau tak jelas dan menjauhkan tubuhnya dengan slow motion. Aneh melihatnya diluar kendali sepeti ini, mengoceh tidak jelas tentang Kelly, Emily, bahkan tetangga di apartmennya yang berisik.

"Hihihi, kamu tidak menumbuhkan bulu Julian?" racaunya aneh ketika menatap wajah tampan itu.

Tapi seringaian di bibir merah itu berangsur lenyap ketika mata birunya menelisik tiap jengkal wajah Julian yang tanpa cela. Dan mungkin karena pengaruh alkohol, tiba-tiba ia berjinjit mengalungkan tangannya di leher pria itu dan menempelkan bibirnya ke bibir seksi Julian.

Pria tampan itu terkejut, sementara Vanessa dan George berseru melihat hal itu. Berbeda dengan Bobby yang mengepalkan tangan melihatnya.

Bau alkohol menguar di mulut Julian karena Kiel semakin dalam mencium pria itu. French kiss yang tak bisa di tolak oleh Julian, hingga ciuman itu terasa makin panas ketika erangan kecil meluncur keluar dari sela bibir Kiel.

Seperti menjadi alarm bagi Julian untuk mengakhiri ciuman itu. Dengan bibir basah berusaha menahan tubuh Kiel yang tak bisa berdiri tegak.

"Dia benar-benar mabuk, sebaiknya kamu bawa Kiel istirahat di kamar tamu" kata Vanessa, ada rona bahagia di wajah cantiknya.

"Tidak, biar ku antar pulang saja" Bobby menyahut.

"Tidak tidak, biar Kiel bermalam disini. Tenang saja Julian bukan pria yang mudah gelap mata" Vanessa berkata anggun.

Julian tak ambil pusing dengan kegigihan Bobby untuk membawa Kiel pulang. Dengan mudah ia menggendong tubuh semampai itu meski mendapat penolakan oleh racauannya dan membawanya pergi dari ruangan remang-remang itu.

"Siapkan kamar tamu" perintahnya pada seorang pelayan yang kebetulan melintas.

"Maaf Tuan, tapi kamar tamu sangat berantakan dan berdebu, butuh waktu agak lama membersihkannya" kata pelayan muda itu harap-harap cemas.

Tak banyak bicara, Julian memanuver langkahnya menuju kamar Vanessa yang ada di lantai yang sama, tapi sayangnya pintu kamar itu terkunci. Dan terpaksa dirinya harus membawa Kiel ke kamarnya yang ada di lantai bawah. Tak perlu bersusah payah membuka pintunya, setelah menutupnya kembali dengan menendang pelan, ia merebahkan Kiel di atas tempat tidur queen sizenya yang bahkan mampu menampung 10 orang sekaligus.

Si perak itu tampak lebih tenang, dengan wajah yang agak memerah dan mata terpejam berbaring nyaman. Julian memperhatikan sosok Kiel itu tanpa dapat mengalihkan pandangannya dari wajah boneka klasik tersebut.

Namun entah apa yang membuat seorang Julian mau melepaskan sneakers yang di pakai Kiel, tapi tiba-tiba kedua kaki itu bergoyang pelan dan membuat Julian yang berdiri di antara sela kaki terantuk dan nyaris menindih tubuh Kiel jika dirinya tak sigap menahan tubuhnya.

Dari jarak sedekat ini dirinya dapat dengan leluasa menikmati pahatan sempurna Tuhan yang menarik hatinya. Dari bulu matanya yang panjang, pipi halus padat, hidung lancip dan bibir merah menggoda. Andai saja sosok itu tak membuka mata saat ini, dirinya akan meyakini jika sosok sempurna itu adalah patung bernilai sangat tinggi.

"Julian..." bibir merah alami itu bergerak sensual. Seolah mendesak sang pemilik nama agar menikmatinya.

Lagi-lagi Kiel mengalungkan tangannya dan menyihir Julian yang kini telah menautkan bibir mereka kembali.

Pria Rusia itu sangat ahli dalam bersilat lidah, dan jangan di ragukan jika dia dapat membuat Kiel makin melayang di kondisinya yang mabuk.

Keinginan untuk memiliki itu timbul sangat kuat, membuat Julian tak ingin melepasnya begitu saja. Dan bukan salahnya jika dirinya terpikat oleh sosok indah itu, bahkan mungkin Zeus akan turun ke Bumi dan mendahuluinya jika dia bisa.

Cukup brengsek memang mencium seseorang yang sedang dalam kondisi tak sadarkan diri, tapi Julian orang normal yang tak mampu menolak. Ciuman itu semakin panas, dan membuat detak jantungnya meningkat.

Apa itu cinta? Julian tak tahu, dan mungkin sejak awal rasa ketertarikannya telah muncul dan tak juga di sadari olehnya.

Setelah Kiel tak membalas ciumannya, Julian melepaskan bibirnya dengan saliva yang menghubungkan bibir mereka. Mengusap lembut bibir ranum itu, lalu membelai pipinya.

"Apa yang sedang kamu lakukan padaku?" desisnya menatap sayu.

Kini Kiel telah terbang ke alam mimpi, berkat mabuk yang melandanya. Dan Julian tak kunjung mengangkat tubuhnya dari atas Kiel.

Mungkinkah yang di katakan Vanessa benar adanya? Apakah dirinya tengah jatuh cinta?

Julian segera bangkit, dan memantabkan hatinya akan satu hal. Memandang Kiel yang terlelap, sementara pikirannya kacau.

Ia pun menyelimuti tubuh itu lalu melepas kaus lengan panjangnya seraya berjalan kearah kamar mandi. Ia memutuskan menyegarkan pikiran dengan mandi.

Baginya detik ini adalah hal yang paling rumit dalam hidupnya. Dan siapa bilang jika menyenangkan berada di ruangan yang sama dengan orang yang telah memenuhi pikiranmu terlebih orang itu sedang mabuk?

Percayalah, sulit baginya menjadi Julian yang dingin. Meski sikap dinginnya itu meleleh oleh seorang Kiel.

Siapa bilang hal seperti ini mudah bagi pria idaman wanita sepertinya?

...to be continue...

0 komentar:

Posting Komentar