Who Says? | 9


Author: Otsu Kanzasky
ps: seperti biasa(males ngetik), kkk
***
Suasana di arena tembak siang ini terasa lenggang seperti biasa. Tampak beberapa orang bertubuh tegap berdiri di depan sasaran yang jaraknya 7 meter di depan, mengarahkan mulut revolver ke sasaran, lengkap dengan headset untuk melindungi telinga mereka dari suara desing peluru.
Tentu hanya orang-orang tertentu yang mengunjungi tempat sererti ini, orang-orang yang kehidupannya tak jauh dari kata bahaya dan pistol. Termasuk Julian Adrik yang kini menggunakan salah satu arena, membidik sasaran di balik revolvernya, dengan sekali tekan timah panas di tembakan dan tepat mengenai tengah sasaran.
Wajah tampannya yang dingin itu tetap tidak bereaksi, sorot matanya terasa sangat menusuk mengamati lubang kecil yang di hasilkan peluru revolvernya. Sungguh, diantara semua pria yang ada disana, sosoknya sangat keren menggenggam pistol dengan stelan serba hitam.
Tapi saat ia hendak mengisi ulang pistolnya, sebuah gerakan kecil di sisi kanannya membuatnya mengurungkan niat kembali menekan pelatuk dan menoleh pada Martin yang mendekat membawa ponsel.
Pria bermata abu-abu itupun menyerahkan pistolnya pada pengawalnya itu dan menerima telepon yang di tujukan padanya. Well, dirinya memang tak pernah mengenakkan headset selama ini.
"Sudah sampai? Tahan dia sampai aku datang" ujarnya tegas pada orang di sebrang line.
Tanpa mematikan panggilan tersebut ia menyerahkan ponsel tersebut pada Martin dan mengambil kembali revolvernya. Sang pengawal pun kembali ke tempatnya saat Julian kembali menembak pada sasaran yang telah di ganti.
Bunyi desing peluru itu tepat saat sosok Kiel yang masih bermake up muncul dengan wajah kesal dan seorang pengawal di belakangnya.
"Apa bodyguardmu tidak di ajarkan cara bersopan santun?" semprotnya garang meluncur dari bibir merahnya. Menatap sinis pada para pria berbaju hitam yang setia berdiri menunggu sang Tuan.
Pria cantik bermata biru itu tampak agak sedikit berantakan, jacket abu-abunya tampak sedikit miring. Dan make up yang membingkai wajah cantiknya menegaskan jika sebelum datang kemari ia sedang bekerja.
Julian menurunkan pistolnya dan menoleh pada kekasihnya yang saat ini membutuhkan alasan tepat darinya. Ia meletakkan pistol itu pada tangan Keith yang menengadah--siap membawa--dan menghampiri Kiel yang tetap dengan kerutan di keningnya.
"Apa maksudmu menyuruh mereka membawa ku kemari? Apa kamu tahu tadi aku akan ada pemotretan?" ia menyemprot lagi. Dan Julian menanggapi dengan tenangnya, menyentuh rambut perak Kiel, mengambil sebuah jepit kecil yang tersangkut disana.
"Demi Tuhan Julian, jangan selalu bertindak sesuka hatimu. Kalau sudah seperti ini apa yang harus ak--"
Julian membungkam bibir merah Kiel dengan bibirnya cepat. Membuat si perak itu membelalakan matanya kaget, lalu mendorong dada Julian cepat. Dengan pipi merona menutupi bibirnya, tatapan matanya menyiratkan protes.
"Pemotretan itu sudah ku bereskan, jangan pikirkan itu. Sekarang kita harus ke bandara" ujar Julian, lalu mengusap bibirnya yang terasa buah cherry karena lipbalm yang memoles bibir Kiel.
"Apa urusannya denganku sampai kamu menculikku kemari?" rupanya kekesalan si perak belum reda.
"Ayah ku datang siang ini dan ingin bertemu denganmu" jawab Julian. Kiel yang tetap kesal akan penjelasan Julian itu sedetik kemudian menatap kaget.
"Ayahmu datang?" ulangnya tak percaya.
"Ya"
"Dan ingin bertemu dengan ku?" Kiel menunjuk dadanya.
"Ya"
Kini wajah cantik itu berubah horror, apa Julian sedang mempermainkannya?
"Bagaimana bisa?" tanyanya tak percaya, tepat ketika Julian menautkan tangan mereka. Menggandengnya keluar dari area tembak.
"Berterima kasihlah pada Vanessa yang terlalu banyak bicara" ujarnya memandang lurus ke depan.
Kiel terlalu kaget, rasanya mungkin seperti saat pertama kali memasuki ruang sidang untuk mempertanggung jawabkan skripsi. Apa yang harus di katakannya nanti? Kenapa Ayah Julian ingin bertemu dengannya?
Kiel merasa cupid bernyanyi ribut diatas kepalanya, membuatnya tak tahu harus berpikir apa. Bahkan saat dirinya dan Julian
telah berada di dalam mobil sedan hitam. Pria tampan itu pun mulai menyalakan mesin.
"T-tapi aku berantakan! Bagaimana kalau Ayahmu menganggap ku aneh?" Kiel kini tampak agak panik. Julian mengambil selembar tisu yang ada di bagian tengah kursi dan menyodorkannya pada Kiel.
"Bersihkan make up mu" ucapnya kalem. Kiel mengambil tisu itu dengan wajah pasrah.
"Tapi bagaimana kalau--"
"Simpan suaramu untuk nanti, tenang saja dia tidak akan melakukan apapun padamu" potong Julian, sejenak menoleh pada si perak yang tengah menghapus make up dengan gelisah.
Oh Tuhan, cerita apa lagi kali ini? Setelah menjalin cinta dengan si trouble maker, sekarang dirinya harus menemui raja trouble maker? Yang benar saja!
...
Suasana bandara memang tidak pernah sepi barang sedetik pun, setiap ada yang datang pasti ada yang pergi. Namun keramaian disana tak membuat Kiel merasa lebih baik.
Ia dan Julian baru saja sampai dan kini menuju tempat yang sudah di janjikan. Meski beberapa pasang mata sibuk mengawasi kedua orang itu
yang bergandengan tangan, tapi detik ini Kiel tak mempermasalahkan tatapan-tatapan yang terkadang membuatnya malu itu. Karena kini kepalanya di penuhi akan hal yang membuatnya takut dan gugup.
Pernah merasakan untuk pertama kalinya bertemu dengan calon mertua? Itu yang saat ini di rasakan Kiel, gugup, bingung, dan sedikit panik. Apa yang sekiranya nanti di katakan Ayah Julian tentangnya? Tentan hubungan `aneh' mereka? Dan tentang semuanya.
Kiel sadar betul jika hal ini sangat membingungkan, bukan hanya karena dirinya juga laki-laki. Dan meskipun Julian tahu jika kekasihnya kini sedikit tertekan, ia tetap saja tampak acuh.
Pria tampan itu mendadak menghentikan langkahnya dan nyaris membuat Kiel menabrak punggungnya. Julian menatap lurus ke depan, pada seorang pria tinggi bertubuh tegap yang memakai kemeja putih yang baru saja keluar dari ruang transit.
"Kenapa berhenti?" tanya Kiel bingung, dan ikut menatap kearah yang sama.
Pria paruh baya berumur sekitar 50 tahun, rambutnya ditata rapi, tubuhnya tegap, wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas, meski tampak kerutan yang menyatakan usianya kini. Dan sorot matanya yang seolah ingin membunuh itu menyadarkan Kiel jika sosok pria itu sama dengan Julian.
Detak jantungnya meningkat, Kiel merasa tubuhnya panas-dingin, terlebih saat pria itu telah berdiri berhadapan dengan Julian. Rasanya ia ingin menghilang saja dari tempat ini.
"Kakuyu tsel' vy syuda prishli?"(Apa tujuanmu datang kemari?) tanya Julian, tak sedikitpun mengurangi keangkuhan di suaranya. Dan Kiel merasa jika atmosfer yang tercipta tak baik untuk ketenangan batinnya.
"Zachem mne nuzhen povod, chtoby priyekhat' syuda?"(Kenapa aku harus butuh alasan untuk datang kemari?) balas pria itu tajam.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Julian, dan pria paruh baya itupun mengalihkan objek pandangannya pada Kiel yang membisu di samping kanan Julian.
Kiel berusaha tersenyum meski kenyataannya senyumnya itu terlihat sangat kaku, rasanya sangat gugup di pandang setajam itu oleh Ayah kekasihnya. Dan tatapan itu seolah mengintimidasi kehadirannya.
"Selamat datang di London, saya Kiel" ucapnya gugup, kembali tersenyum kering. Tapi pria itu tetap tak bergeming.
Beliau mengatakan sesuatu pada pria muda yang berdiri di belakangnya, lalu berjalan melewati Julian. Sukses membuat Kiel menghela nafas lesu, saat Julian menarik tangannya kembali berjalan.
"Sepertinya Ayahmu tidak suka padaku" ucapnya lesu, mengimbangi langkah Julian. Pria tampan itu menoleh.
"Siapa yang peduli? Kamu sudah menjadi milik ku" ujarnya. Sedikitnya mampu membuat wajah Kiel memerah.
Si perak itu tak lagi banyak bertanya saat mereka telah berada di dalam mobil, dan Julian mengemudikan mobil tepat di belakang mobil dimana sang Ayah naik. Rupanya pria paruh baya itu hanya ingin mengisi perutnya yang kosong, karena mobil tersebut berhenti tepat disebuah restoran yang tak jauh dari bandara.
Lagipula sudah memasuki jam makan siang, pantaslah jika beliau singgah sejenak. Vladimir--Ayah Julian, memilih meja dengan 4 kursi, tanpa berbasa-basi memanggil pelayan saat putranya dan Kiel baru saja duduk.
Tampak sekali jika si perak itu tak nyaman dengan suasana yang ada, terlebih dinginnya tatapan Vladimir yang terasa menusuk sampai ke jantungnya. Sepertinya pria itu benar-benar tak menyukainya.
2 orang pelayan datang membawa pesanan, masakan Italia yang cukup menggugah selera. Namun tetap saja Kiel tak terlalu berminat menyantap makanannya karena keheningan yang kaku di meja tersebut. Dan dirinya terlalu takut untuk memulai percakapan.
"Dia yang di katakan Vanessa?" suara berat Vladimir memecah kekakuan di meja tersebut. Matanya yang tajam menatap lekat pada Kiel yang mendadak tercekat.
Julian mengunyah makanannya santai. "Dia sudah terlalu banyak bicara" ucapnya, dan kembali melahap makanannya.
"Aku tidak akan tahu tentang hal ini kalau Vanessa tidak bercerita"
"Lalu apa? Apa berpengaruh padamu?"
Ayah dan anak itu saling menatap tajam, membuat Kiel semakin tak berminat dengan makan siangnya. Ada rasa tak enak hati melihat kedua pria beda
generasi itu.
"Ah, aku ke toilet sebentar. Permisi" ucapnya sopan, agak takut-takut melirik Vladimir dan Julian.
Karena keduanya tak menyahut, ia pun bangkit berdiri dan beranjak menjauh dari meja. Dengan langkah lebar menuju toilet restoran. Setelah sosok Kiel tak lagi terlihat, Vladimir menghela nafas kecil lalu menegak minumnya.
"Kau disini, aku juga mau ke toilet" ujarnya elegan, berdiri dari kursinya.
"Berhentilah bersikap konyol" cemooh Julian. Tapi sepertinya tidak di `dengar' oleh sang Ayah.
Pria paruh baya itu berjalan mantap diarah yang tadi di lewati Kiel, menuju toilet khusus pria yang bersebelahan dengan toilet wanita. Ia baru saja menutup pintu toilet dan berbalik hendak menuju urinoir, namun terhenti ketika melihat Kiel yang berdiri di depan wastafel. Seketika kerutan dalam menghiasi keningnya.
"Sedang apa kau disini?" tanyanya curiga. Kiel menoleh cepat--kaget, dan buru-buru mengeringkan tangannya.
"Ini toilet pria, apa kau tidak lihat?" Vladimir berjalan mendekat.
"Saya tahu, karena itu saya masuk" jawab Kiel gugup.
Vladimir menyipitkan mata, menatap si perak itu dari atas ke bawah. Apa dirinya tidak salah dengar? Kenapa kekasih putranya itu malah masuk ke toilet pria?
"Apa maksutmu?" tanyanya bingung. Kiel meremas-remas tangannya, tak tahu harus menjawab apa.
"Saya...saya laki-laki Pak" ujarnya akhirnya. Vladimir menaikkan satu alisnya.
"Kau sedang bercanda denganku?"
"Tidak, tentu saja tidak. Saya memang laki-laki" kata Kiel cepat. Vladimir semakin menyipitkan matanya.
Ia berangsur mendekat dan memegang dada Kiel. Matanya seketika melebar merasakan dadanya yang datar, kini ia bingung. Dan tiba-tiba tangan besar itu mendarat di bokong Kiel, membuat si perak itu berjingkat kecil.
"Kau benar-benar pria?" tanya Vladimir kaget, tatapan matanya agak mengerikan. Kiel hanya mengangguk pelan.
Habislah sudah dirinya, pikir si perak pasrah.
Sementara Julian yang menunggu di meja, mulai bosan karena baik Kiel dan Ayahnya tak juga muncul. Wajah tampannya mulai tertekuk tak suka, dan
memutuskan untuk ke toilet menyusul kedua orang itu. Tepat saat ia membuka pintu toilet pria, suara tawa khas menyambutnya.
"Vanessa benar ternyata, ku pikir anak itu sedang melucu di depanku" kata Vladimir, tertawa kecil.
Julian pun masuk tak lupa menutup pintu, menatap Kiel yang kini tersenyum padanya dengan wajah memerah. Well, memang ada yang aneh. Apa yang membuat Ayahnya tertawa?
"Maaf sudah membuat anda salah paham" ucap Kiel, Vladimir hanya menepuk pundaknya pelan.
"Siapapun yang melihatmu pasti salah paham, apa kau operasi?" pria itu kembali mengamati Kiel. Namun yang terpenting cara bicara dan ekspresi wajahnya kini lebih bersahabat, tidak seperti beberapa menit yang lalu.
"Tidak, sejak kecil saya sudah seperti ini" jawab Kiel.
"Apa ada lagi yang sepertimu?"
"Tentu, tapi hanya segelintir"
Vladimir mengusap dagunya dan mengangguk-angguk kecil, lalu melemparkan pandangannya pada Julian yang memperhatikan mereka.
"Aku tidak tahu kalau kau suka yang seperti ini" ujarnya serius. Kiel ikut menatap Julian.
"Dia cantik walaupun laki-laki, sesuatu yang baru bukan?"
"......" Julian tak bergeming.
"Yang terpenting dia tidak bisa hamil walau kau menusuknya berkali-kali" celetuk Vladimir yang sukses membuat wajah Kiel menjadi merah padam.
"Sudah, ayo kita kembali" ajaknya, melangkahkan kaki kearah pintu.
Kiel menghela nafas panjang, menatap lega pada Julian yang berdiri di dekat pintu toilet. Ia menghampiri pria tampan itu dan memeluk pinggangnya.
"Ku pikir Ayahmu akan marah besar saat tahu aku ini laki-laki" ujarnya, suaranya agak teredam oleh bahu Julian.
"Apapun yang di katakannya jangan di pikirkan, orang itu dan Vanessa sama-sama tidak beres" kata Julian, balas memeluk Kiel. Si perak pun mengangkat wajahnya.
"Tapi kenapa Ayahmu terlihat tidak masalah dengan hal ini?" tanyanya, sorot matanya menunjukan kebingungan.
"Bukankah pria wanita sama saja? Kenapa harus di permasalahkan kalau semua itu di dasari oleh perasaan khusus?" Julian menundukkan kepalanya, mengecup bibir merah Kiel.
Hanya ciuman singkat, namun terasa spesial bagi Kiel. Mereka segera kembali ke meja tempat makan siang mereka, sambil bergandengan tangan.
"Apapun nanti yang dia katakan atau tanyakan, jangan terlalu di pikirkan" kata Julian, Kiel mengangguk kecil.
"Aku akan belajar cepat tentang sikap cool kalian" ujarnya bersemangat.
Julian kadang tak mengerti apa yang ada di dalam kepala si perak tercintanya itu. Cool? Padahal sampai detik ini dirinya tak terhitung sudah membuat marah atau kesal orang lain karena sifatnya. Dan si perak itu malah menganggapnya cool, entahlah.
............... To be continued...........

0 komentar:

Posting Komentar