Who Says? | 1


Author: Otsu Kanzasky
PS: penasaran aja gimana klo Kiel n Julian hidup di era modern dan karakter 180 derajat berbeda
Ini postingan pertama ku, jadi mohon berikan kesan yang baik dan Like yg banyak, dan Terima kasih juga untuk admin ‪#‎Mayo‬ yg kasih kepercayaan untuk melanjutkan cerbung ini. LIKE yg banyak yah  .
***
|Kiel`s pov|
Silaunya lampu studio pemotretan kali ini tidak bisa ku tolerir. Sinarnya seperti mata pisau yang menusuk-nusuk kedua mataku dengan kejamnya. Tapi tetap saja tidak ada yang keluar dari mulut ku, seperti terlem rekat meski aku ingin istirahat sejenak saat ini.
Sungguh, tubuhku seperti manekin, bergerak otomatis ketika berhadapan dengan kamera SLR para photographer. Di antara keheningan studio ini, dapat ku lihat ekspresi puas Lee yang berada di balik kamera.
Lalu Kelly? Pastinya dia sudah sibuk sendiri dengan ponselnya, yang sebagian besar dari klien.
"Yak! Ganti bajumu!" titah Lee, mata sipitnya menatapku penuh kepuasan, dan bibirnya tersenyum senang.
Aku menghela nafas kecil, setidaknya aku bisa minta duduk sebentar selagi para crew menyiapkan baju selanjutnya.
Pemotretan kali ini cukup berat, aku harus memerankan baju pria dan wanita bergantian, tapi sangat menarik karena jarang terjadi. Dan Lee, bagaimanapun caranya dapat mengmaksimalkan wujud Androgini ku yang kata orang menguntungkan.
Wajah dan tubuhku sangat feminin, tapi sedikitpun aku tidak terpikir untuk mengubah kelamin ku. Oh tidak, aku seperti ini bukan berarti aku dengan sukarela akan mengubah gender paten ku.
Dan sampai detik ini memang aku mendapat banyak keuntungan. Disaat model pria lainnya sepi job, aku justru dapat berperan ganda, atau mungkin hal kecil seperti belanja di supermarket. Sering kali para pria mengalah dan membiarkan ku mengambil duluan. Hal-hal seperti itu memang sangat amat menguntungkan.
"Sudah siap?" suara serak Lee menyambutku begitu aku berdiri di depan kamera.
"Ya" sahut ku pelan.
SPLASH SPLASH!
Begitulah suara kamera yang beradu dengan blitz super menyilaukan. Beberapa kali dia memerintahkan ku untuk berpose sepria mungkin, meski aku sendiri tidak tahu apa aku dapat bereskpresi seperti pria sungguhan.
Pemotretannya berlangsung selama 2 jam, bukan karena model bajunya yang rumit, tapi karena Lee yang kurang puas akan hasil jepretannya, atau mungkin aku yang kurang maksimal?
Sepertinya tidak karena dia tidak mengatakan apapun.
"Tadi aku melihat Andrej Pejic" kata Kelly menyodorkan pakaian ku yang dibawanya sejak awal pemotretan. Mataku melebar mendengarnya, dan bisa ku pastikan jika wajah lelah ku lenyap untuk saat ini.
"Kamu serius?" aku memastikan.
"Tentu saja, dia ada di studio sebelah"
"Aku mau lihat!" pekikku bersemangat.
Meninggalkan Kelly yang entah berkomentar apa, ku langkahkan kaki ku menuju studio sebelah dan belum sempat berganti baju. Ku buka pintu studio pelan dan meloloskan kepalaku di celah pintu, yang ku lihat adalah sosok keren Andrej yang tengah berpose bersama model wanita.
Dia sangat keren, dan dia lah panutan ku di Dunia model ini. Andrej salah satu model androgini yang telah mendunia, dan aku akan menjadi sepertinya. Itu tekadku.
"Hai Kiel" suara lembut yang khas itu membuat ku harus rela menengok ke sisi kiri ku.
Aku langsung mencelos dalam hati
melihat Bobby yang tersenyum tipis padaku, memamerkan betapa menawannya senyumnya itu--seperti kata orang-orang, tapi tidak bagiku.
"Ya?" ku teliti sosoknya. Dia tampak sangat metroseksual memakai jacket kulit seperti ini.
Dan yah, meskipun Bobby tampan, dia adalah gay. Dan dia sudah mengakui hal itu pada khalayak, meski banyak wanita yang patah hati mengetahuinya.
"Aku baru akan mencarimu, ternyata kita bertemu disini" kata Bobby, sangat ramah. Hal itu yang membuatku sedikit respect, meskipun aku tahu dia suka padaku.
"Ada apa?" oh yeah, aku pura-pura peduli lagi. "Bukankah kamu ke Luar Negri?" tanyaku, agak penasaran akan acara amal agencynya.
Bobby tersenyum, wajahnya sangat cerah. Itu berarti acaranya berjalan lancar.
"Menyenangkan berada di Afrika Selatan, meski panas. Aku ada sesuatu untuk mu" Bobby merogoh saku blue jeansnya dan meletakkan sebuah gelang di tangang ku.
Gelang yang terbuat dari batu-batu unik, bergaya gypsy yang indah.
"Kurasa gelang itu cocok untuk mu" ujarnya, terdengar puas karena tak mendeteksi mimik keberatan atau tak suka di wajahku.
"Terima kasih Bob" ucap ku, berusaha tersenyum tipis.
"Kiel! Kita harus cepat!" suara Kelly agaknya menggema di lorong ini. Bobby meringis samar sambil menggaruk kecil tengkuknya.
"Maaf, aku harus pergi" kata ku lega.
"Apa kamu kosong malam ini?" tanyanya, sebelum aku membalikkan badan.
"Entahlah, kenapa?" satu alisku terangkat naik.
"Ehm, aku ingin mengajak mu dinner, tentu kalau kamu tidak sibuk"
"Aku tidak tahu, biar ku tanyakan Kelly dulu"
"Ok, tolong beritahu aku kalau kamu free"
Aku hanya tersenyum samar, dan meninggalkan Bobby yang masih menatap ku.
Kata siapa menjadi Androgini itu selalu menguntungkan? Buktinya Bobby, dia baru mengenal ku 2 minggu tapi langsung suka padaku. Memang menyenangkan di sukai orang, tapi kau akan berpikir lagi jika pria gay seperti Bobby menyukaimu.
Di Dunia modeling memang bukan sesuatu hal yang aneh, banyak model pria yang gay, dan aku tidak keberatan tentang itu tentunya. Sudah terlalu terbiasa
jika banyak model gay yang bersikap terang-terangan.
Seperti 2 sisi mata uang, tidak akan bisa di pisahkan.
Dan aku sendiri tidak tahu tentang orientasi seksual ku, mengingat aku terlalu terbiasa bersikap dan berpenampilan feminin. Aku juga belum pernah jatuh cinta, memang meski aku mengagumi beberapa model senior, seperti Andrej contohnya.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kelly menyelidik setelah aku selesai mengganti pakaian dan menghapus make up.
"Bobby mengajak ku dinner nanti malam" jawabku acuh.
"Lalu kamu jawab apa?"
"Aku tanyakan padamu dulu"
"Bagus, aku tidak suka kalau ada orang yang berusaha mendekatimu"
"Kel, kecemasanmu itu berlebihan. Aku tidak akan semudah yang kamu pikirkan"
"Oh omong kosong sayang, manager seperti ku harus bergerak cepat"
Aku hanya geleng-geleng kepala, pasrah saja. Sejauh ini Kelly memang over protektif padaku, dan aku tidak keberatan, toh tidak ada orang yang ku suka.
"Oh Kiel, kamu mau relaksasi?" tanya Kelly saat kami berjalan beriringan keluar tempat pemotretan.
"Yah, kalau kamu berbaik hati padaku" jawabku santai.
"Kamu bicara seperti aku ini ibu tirimu" Kelly menatapku sinis. Aku terkekeh kecil. "Jadwal mu kosong sampai nanti sore, lakukanlah sesuatu" katanya, kepalaku menoleh seperti anak kunci.
"Serius?" aku memang tak percaya ini. Kelly mengangguk santai.
"Tentu saja, pergilah ke salon atau spa. Sihir mereka akan membuatmu segar kembali" ia tersenyum tulus. Dan aku yakin aku berteriak senang saat ini juga.
"Ku kira kamu tidak akan membiarkan jadwal ku kosong" celetuk ku sumringah.
"Aku tidak sekejam Hitler sayang, sana pergilah"
"Dengan senang hati~"
"Hanya sampai pukul 5!" Kelly berteriak karena aku sudah mengambil jurus seribu langkah.
"Yes Mam!" balas ku.
Entah mimpi apa Kelly semalam, dia berbaik hati padaku hari ini. Dan tentunya tidak akan ku sia-siakan!
Fan le haghaidh dom Spa comhlacht~!(Tunggu aku body spa)
***
Suasana didalam Restauran Chinese siang ini terasa agak menegangkan, terlebih sedang tidak ada pengunjung , namun justru hal itulah yang tak menguntungkan bagi seorang pria berdarah Spanyol yang diam membisu sejak pria beraksen Rusia datang dan sudah 10 menit bergabung dengannya.
Wajah tampan ala dataran Latin itu tampak gugup dan takut, sesekali matanya melirik pada pria tampan yang duduk berhadapan dengannya, sementara seorang pengawal bertubuh tegap berdiri di belakang kursinya.
"To, chto ya mgnovenno ubit lyubogo Bossa?"(apa langsung saya habisi saja Bos?) suara pengawal yang berdiri di belakang kursi memecah keheningan. Pria Spanyol disana kembali melirik cemas.
"Net, eto volnuyushchiy moment"(tidak, justru ini saat yang seru) jawab Dewa Yunani tenang, matanya yang tajam seperti tengah mengintimidasi pria Spanyol di depannya.
Seorang pelayan datang, berpakaian chiongsam warna putih, membawakan sepoci kecil arak Cina lalu menyingkir pergi.
"Restaurant mu sepi" ia buka suara, menegak habis arak di sebuah gelas marmer kecil.
"Kami belum buka" ucap Diego, pria Spanyol itu berkata kaku.
Julian--Dewa Yunani itu memandang sekeliling Restaurant yang memang tidak ada orang, seolah dirinya peduli.
"Kau menyimpan barang itu di tempat ini?" tanyanya menuduh. Diego menelan ludah, wajahnya berubah agak pucat.
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan" ucapnya pelan.
Julian menengadahkan tangannya ke belakang pada pengawal, dan pria serba hitam itu memberikan sebuah plastik klip kecil berisi bubuk putih. Cepat ia melemparkan plastik itu pada Diego dan tepat mengenai wajahnya.
"Katakan lagi kalau kau tidak tahu" ujarnya tajam.
"Tapi sungguh, bukan aku yang menjalankan bisnis itu!" Diego semakin tampak takut dan berdiri dari kursinya.
Brak!
Kaki panjang Julian menendang meja bundar di depannya hingga suasana semakin menegangkan dan Diego kembali duduk diam.
"Katakan padaku siapa yang menjalankan bisnis itu" titahnya tajam.
"......"
Julian bangkit berdiri hingga membuat kursi kayu yang di dudukinya berdecit pelan.
"Berdaganglah di tempat lain kalau kau ingin kepalamu tetap utuh. Dan tidak ada satu orang pun yang bisa selamat dengan bisnis narkoba di wilayah ku" tandasnya.
Tanpa menginginkan sahutan dari Diego, ia berjalan kearah pintu Restaurant diikuti pengawalnya. Sementara diluar Restaurant, pengawal yang telah berjaga di dekat mobil Sedan Mercedes-Benz hitam dan membukakan pintu belakang.
"Ke tempat pijat" perintahnya.
Tanpa banyak bicara, pengawal yang mengemudi segera melarikan mobil ke tempat yang diminta sang Bos.
|Julian`s pov|
London memang tidak sekejam Rusia untuk urusan bisnis hitam, dan cukup menguntungkan untuk ku. Aku tidak perlu seharian dijalan untuk mendatangi orang-orang pengecut itu.
Aku betah disini, tapi tetap saja aku tidak bisa berlama-lama. Sampai dapat ku kendalikan semuanya dengan baik, akan ku tambah kekuasan nama Keeve di tempat ini. Keluarga mafia ku, dan aku bangga.
Aku adalah generasi keempat di keluarga Adrik. Dan sejauh ini aku dapat memperluas jaringan dan relasi. Aku memang bukan murni berdarah Rusia karena ibu ku berasal dari kota ini.
Wajah boneka itu lagi. Aku melihat beberapa posternya dijalan, wajah itu agak mengusik ku. Aku terganggu dengan tatapan mata biru jernihnya, karena aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Belum lagi aku harus mengembalikan kartu akses apartment yang di jatuhkannya pagi tadi, itu artinya aku harus menemukannya dan mengembalikan kartu itu.
Aku bukan orang yang suka repot, tapi untuk kali ini aku ingin mengembalikannya langsung. Dan ku dengar dari saudara ibu ku yang ada disini, wajah diposter yang ku lihat dimana-mana itu adalah seorang model yang sedang naik daun.
Kau dapat menemukan semua majalah ataupun iklannya dimanapun.
Mobil berhenti tepat di sebuah tempat spa langganan ku sejak datang di kota ini. Untuk sekedar pijat, bagaimanapun juga aku butuh relaksasi.
"Mari saya antar" seorang pegawai wanita membawa ku menuju ruang relaksasi VIP yang dirancang hanya dihuni 2 ranjang pijat. Dan salah satu ranjangnya telah dihuni seseorang berambut perak tergerai, dengan posisi tengkurap menikmati pijatan dari tukang pijat spa.
"Silahkan anda mengganti baju" wanita itu menyodorkan handuk putih tebal yang besar padaku.
Segera ku lepas pakaian ku di ruang ganti dan melilitkan handuk di pinggang, lalu berbaring tengkurap di ranjang yang masih kosong.
Pijatan lembut bersarang di kaki ku, rasanya nyaman dan membuat ku cukup rileks. Aroma wangi lavender menguar di ruangan ini, di dukung dengan suasana tenang yang membuat ku agak mengantuk.
Tapi suara ringan yang telah terekam di kepala ku membuat ku membuka mata kembali dan menengok ke samping kanan, pada orang berambut perak yang kini mengubah posisi jadi terlentang.
Kulitnya putih mulus seperti porselen, wajahnya tampak apik dari tempat ku berada. Dan saat dia menoleh kearah ku tiba-tiba, aku yakin jika wajah itu adalah boneka hidup yang posternya berada dimana-mana saat ini.
Dia mengobrol kecil dengan tukang pijat, suaranya terdengar merdu di telinga ku. Apapun yang terlontar dari mulutnya seolah menarik, dari caranya bicara.
Entah kenapa ada rasa lega ketika sesi pijat kami selesai bersamaan. Aku sempat merasakan tatapannya ketika turun dari ranjang pijat dan menuju ruang bilas.
Selama membilas tubuh, aku berpikir bagaimana harus mengembalikan kartu akses apartmentnya. Tidak mungkin jika tiba-tiba aku bicara padanya, dia bisa menganggap ku orang aneh.
Tunggu. Bukankah aku tidak pernah peduli apa kata orang?
Aku bingung dengan diri ku sendiri. Apa yang sebenarnya ku lakukan? Kenapa aku jadi rumit begini?
"Sudah lama sekali kamu tidak datang kemari Kiel" suara wanita diarah depan, membuat ku melangkahkan kaki cepat.
Ku lihat si boneka berambut perak itu bicara dengan wanita berambut cokelat manager tempat ini.
"Tidak usah bayar"
"Eh? Tapi..."
"Kami ingin di endorse oleh mu, kamu mau `kan?"
"Oh, tapi apa tidak apa aku tidak membayar?"
"Jangan khawatir, akan terbayar jika orang-orang tahu kalau kamu sering datang kemari"
Segera ku bayar bill ku, melirik pada si perak yang tengah di foto oleh kamera ponsel manager spa.
Aku memang tidak mengetahui Dunianya, dan di mataku hal ini cukup aneh.
"Dimana kunci ku?" desisnya terdengar panik.
Tidak, ini bukan saat yang tepat untuk bicara. Dan si perak itu semakin panik mengubek tas pundaknya sambil berjalan keluar tempat spa.
Dia terus meracau dan tampak putus asa menatap kedalam tasnya. Tepat di luar bangunan spa, dia mengutak-atik ponselnya dengan wajah hampir menangis.
"Kau bisa mencarinya dulu" kata ku meluncur cepat. Dia menoleh padaku dengan mata berkaca-kaca.
"Kau bisa lapor pada petugas apartment, mereka bisa membantu mu" kini ia tampak bingung menatap ku.
"Darimana kau tahu aku kehilangan kunci apartment?" ada kecurigaan di tatapan mata biru indahnya.
Ku rogoh saku dalam jas ku dan menyodorkan kartu akses apartmentnya, detik ini juga mimik wajahnya berubah kaget sekaligus bingung.
"Pagi tadi kau menabrak ku dilantai bawah apartment mu" kata ku sebelum dia bertanya.
"Ah!" dia memekik kecil, mimik bingungnya lenyap. "Pantas tadi saat didalam aku merasa pernah melihat mu" ucapnya senang.
"Terima kasih" senyumnya mengembang, mengamati kartu akses apartmentnya seperti mendapat cek jutaan Dollar.
Rambut panjangnya terlihat lembut saat tertiup angin, warna peraknya serasi dengan wujudnya yang indah.
"Ada wartawan, gawat" ucapnya menatap ke sebrang jalan. Memang ada beberapa wartawan dan gadis remaja yang berusaha menyebrang jalan.
Tangan ku bergerak refleks menariknya kearah mobil ku di parkir. Keith membukakan pintu belakang mobil dan si perak ini tak menolak saat ku suruh dia masuk.
"Jalan" perintah ku.
Ia tampak was-was menatap ke belakang kaca mobil mengawasi kumpulan wartawan dan gadis remaja yang telah menyebrang jalan saat mobil ku berjalan mulus.
"Kira-kira mereka sempat melihat kita?" tanyanya, menatap ku cemas.
"Apa semenakutkan itu?" cara bicara ku ini sepertinya tidak bisa dirubah. Seperti tak peduli.
"Selama ini aku tidak pernah terlibat gossip apapun, jadi aku tidak mau di gossipkan"
Yang bisa ku lakukan hanya menatapnya, memperhatikan tiap inchi wajahnya. Lebih indah menatapnya secara langsung. Dan rasanya seperti duduk bersama sebuah patung hidup.
"Ah iya, aku Kiel, kau?" ia menyodorkan tangan kanannya padaku.
"Julian" ku jabat tangannya. Lembut dan terasa mungil di tangan ku.
Sesaat kami bertatapan, dan tangannya tak kunjung ku lepaskan. Tapi suara misterius yang berasal dari dalam perutnya, membuatnya menarik tangan cepat dan menunduk. Ku dengar dia merutuk.
"Chtoby normal'no pitat'sya"(Ke restoran biasanya) perintah ku pada pengawal yang mengemudi.
"Khorosho Boss"(Baik Bos)
"Kau orang Rusia?" Kiel menatapku takjub.
"Ya"
"Tinggal di London?"
"Tidak, cuma sementara"
"Oh, jadi kau blasteran?" aku hanya mengangguk singkat.
"Aku juga, ibu ku dari Rumania dan ayah ku dari Irlandia, tapi sekarang aku warga Negara Belanda" ia terlihat bangga mengatakannya.
Jadi seperti inikah hasil perpaduan 2 Negara itu?
Sungguh diluar nalar.
...to be continue...

0 komentar:

Posting Komentar