By : Dawai Hati
Kencan pertama.
First date.
Ada yang belum pernah mengalaminya? Sini ikut aku, akan aku ceritakan pengalaman kencan pertamaku. Oh iya, ini bukan cerpen lho, dan akan sangat tidak masuk akal kalo dibilang cerbung. Ini adalah sebuah kisah cinta sederhana yang mengikat hati kami, aku dan dia. Dawai dan Syaka.
Aku memenuhi janji untuk menjemput Syaka tepat jam 7 malam. Ini kencan pertama kami setelah dua hari yang lalu aku menyatakan perasaanku padanya. Cowok manis dengan bibir yang melengkung indah itu menerimaku menjadi kekasihnya. Bahagia? Sudah pasti. Dia meredakan sepiku, tawanya memenuhi setiap sudut ruangku yang hampa. Bersamanya hariku penuh indah. Hilang semua resah, hadirnya membuatku hangat. Dia Kapota Syaka. Mahasiswa semester dua yang aktif di kegiatan sosial. Dan aku, Dawai Hati, mahasiswa semester 4 yang kebetulan bertemu dengannya di acara amal untuk korban bencana alam di kota kami. Radarku mengatakan dia memiliki jiwa yang sama denganku. Benar saja, setelah kedekatan kami beberapa bulan belakangan ini, aku semakin menyadari kalau dia sama sepertiku. Tak menunggu waktu lama, aku menyatakan perasaanku, dan cintaku bersambut. Aku bahagia tak terkira.
Kini aku sampai di depan pagar rumahnya. Syaka sudah berdiri menungguku. Kaus putih dan celana selututnya membuatnya terlihat sangat manis. Dia tersenyum melihatku.
"Apa aku terlambat?" tanyaku tanpa berkedip melihatnya.
"Nggak sama sekali, ini bahkan belum tepat jam tujuh," Syaka melihat jam tangannya.
"Pergi sekarang?" aku mengulurkan tanganku.
"Yuk," disambutnya uluran tanganku.
"Kita jalan kaki aja ya, motorku lagi dipinjam teman,"
"Ya udah nggak apa-apa, kita mau ke mana sih?" tanya Syaka pelan, dia menyelipkan jemarinya ke genggaman tanganku. Aku tersenyum samar. Tangan Syaka halus. Aku menggenggamnya erat. Kuayunkan perlahan seiring langkah kami yang berjalan menjauhi rumahnya.
"Nanti juga kamu akan tau," kutatap langit malam di atasku. Cerah, meski belum terlihat banyak bintang, tapi bulan yang mengintip di balik awan mulai terlihat sabit.
Kami diam. Berjalan bersisian. Wangi Syaka memenuhi indera penciumanku. Wangi yang lembut. Aku memejamkan mataku tanpa melepaskan tangannya yang aku genggam.
"Kita mau ke campus?" suara Syaka mengejutkanku. Aku menoleh padanya dan tersenyum.
"Iya, kita akan ke sana,"
"Mau ngapain ke campus jam segini?"
"Ini kan malam Minggu, Sya, biasanya masih ada anak-anak latihan basket di sana,"
Syaka kulihat mengangguk senang.
"Uhmm, kamu tunggu sebentar ya di sini, sebentaaar aja," kusentuh bahunya pelan.
"Kamu mau ke mana?" keningnya mengernyit.
"Udah tunggu sebentar, nanti aku balik lagi,"
Aku bergegas pergi setelah melihatnya mengangguk. Setengah berlari aku menuju satu rumah yang tadi sempat kami lewati. Rumah dengan pagar halaman yang rendah. Ada yang menarik perhatianku di sana. Dan setelah mendapatkannya, aku langsung kembali ke tempat Syaka menungguku.
"Dari mana sih?" Syaka mengerucutkan bibirnya yang imut. Aku tersenyum. Kuserahkan setangkai bunga mawar padanya.
"Buat kamu,"
"Aaaah, Dawai, manis banget! Makasih ya?" mata Syaka berbinar indah. Aku mengangguk. Syaka masih tersenyum-senyum senang sambil mencium kelopak mawar merah itu.
"Lari Syaaaa!!" aku menarik tangan Syaka dan berlari dengan tangan Syaka dalam genggamanku. Syaka yang terkejut spontan mengikuti langkahku yang berlari cepat.
"Dawaaai, ada apa?" tanya Syaka di sela larinya, dia sempat menoleh ke belakang.
"Yang punya mawar ngejar kitaaa!" teriakku sambil terus berlari.
"Apaaa? Kamu dapat nyolong?" Syaka balas berteriak.
"Hahahaha! Iyaaaa!" setelah kurasa jarak kami tak lagi terlihat oleh pemilik bunga mawar itu, aku menghentikan lariku. Syaka juga.
"Nyebeliiin!!" Syaka memukul bahuku. Pelan saja tapi aku pura-pura kesakitan.
"Ampun Sya," aku masih tertawa. Syaka mengatur napasnya yang tadi sempat terengah-engah.
"Lain kali nggak usah kasih aku bunga!" Syaka mengerucutkan bibirnya.
"Lain kali aku kasih bunga yang dapat beli di florist deh," aku mengedipkan mataku. Syaka membulatkan matanya yang indah. Lalu kami berdua tertawa.
Tak lama, langkah kami tiba di gedung campus dengan bangunan modern itu. Masih banyak mahasiswa berseliweran di sekitar halaman depan campus. Mereka mahasiswa yang masuk kelas malam. Aku menggamit tangan Syaka menuju lapangan basket.
"Udah nggak ada anak-anak main Sya," kulihat lapangan yang senyap.
"Ya udah, trus kita mau ke mana?"
"Duduk-duduk aja, di sini bintangnya keliatan jelas Sya," aku duduk di lantai lapangan. Kutepuk lantai di sampingku, memberi isyarat pada Syaka untuk mendekat.
"Kamu sering ke sini?" Syaka duduk di sampingku.
"Iya, kalo lagi suntuk aku suka ke sini malam-malam, biasanya selalu ada yang main basket."
"Kok sekarang sepi ya?" Syaka menengadah menatap langit.
"Mungkin mereka tau kalo kita mau pacaran di sini," aku tertawa, ikutan Syaka menatap langit.
"Dawai, kakiku sakit nih gara-gara lari tadi," Syaka melepas sepatu converse-nya.
"Sini aku liat," kuangkat kaki kanan Syaka ke atas pangkuanku. Ada lecet kecil di atas tumitnya.
"Maaf ya Sya, gara-gara aku kamu jadi terluka," aku tiup-tiup pelan luka lecet di kaki Syaka.
"Udah, udah, hahaha, udah sembuh, udah nggak sakit," Syaka mengusap kepalaku yang sedang menunduk meniup kakinya.
"Nanti pulang kasih betadine ya?" aku mengangkat wajahku. Menyesal telah menyakitinya tanpa sengaja. Syaka mengangguk.
"Bintangnya banyak banget, Dawai!" Syaka berteriak sambil tangannya menunjuk langit.
"Iya, aku mau pilih satu bintang buat kamu," kalimatku sukses membuatnya menoleh padaku.
"Bintang buat aku?" mata indahnya mengerjap pelan lalu menatapku dengan lembut. Damn, aku terpaku. Sepertinya dia baru saja memindahkan dua bintang ke dalam matanya.
I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this
There's something in your eyes that is saying tonight
Lagu itu seperti mengantarkan debar yang mengalun indah saat aku melihat ke dalam bening matanya.
"Ya. Aku mau petik bintang yang paling bersinar di langit sana, buat kamu. Kunamakan Syaka. Bintang yang itu sekarang namanya Syaka," aku tersenyum melihat Syaka menatapku takjub.
"Terima kasih, Dawai. Aku juga mau pilih bintang buat kamu," matanya kembali mengangkasa. Tangannya menunjuk satu bintang yang sinarnya tak kalah cemerlang dengan bintang yang aku pilihkan buatnya tadi.
"Yang itu! Bintang yang itu sekarang namanya Dawai!" tangan Syaka masih menunjuk ke langit tapi matanya menatap ke arahku. Aku tersenyum.
"Bintang darimu akan aku letakkan di sini," ku taruh genggaman tanganku ke dadaku, tempat jantungku berdetak dan melagukan namanya.
"Kenapa di sana?" Syaka menatapku lembut.
"Biar ikut berdetak bersama dengan jantungku,"
"Kamu pernah bilang jantungmu selalu jumpalitan kalo lagi ada di dekat aku, kasian bintangnya nanti ikutan salto," Syaka tertawa kecil.
"Tenang aja nanti aku ikat kuat-kuat biar aman," kuusap dadaku pelan-pelan seakan ada sesuatu yang sangat berharga di situ yang harus kujaga.
"Dan bintang darimu akan aku letakkan di sini," Syaka mengulurkan genggaman tangan kanannya ke hadapanku.
"Kenapa di situ?" aku mengerutkan keningku. Aku pikir dia akan menempatkan bintang dariku di tempat yang sama denganku.
"Biar bisa aku doain setiap aku mau tidur," Syaka membuka genggaman tangannya lalu menciumnya. Ya Tuhan, dia menggemaskan sekali.
"Kalo jatuh gimana?" aku memberinya tatapan mata jail.
"Aku ikat nanti pake karet gelang biar nggak jatuh," Syaka meleletkan lidahnya padaku. Kami tertawa terbahak.
"Aku sayang kamu, Sya. Sangat sayang," kutatap kedua pijar bintang di matanya.
"Aku juga sayang Dawai, sayang banget," Syaka balas menatapku. Ada gemuruh di dadaku. Melebur perasaan ingin lebih dekat dan menyesap wanginya yang menguar lembut di hidungku.
Aku merunduk, merendahkan wajahku ke arah wajahnya. Syaka tau apa yang ingin aku lakukan, di genggamnya tanganku lembut sebagai pengganti kalimat mengijinkanku untuk menciumnya.
Hanya beberapa inch lagi jarak bibirku dengan bibirnya, tiba-tiba Syaka menjauhkan wajahnya. Menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Hatsssyy!" Syaka bersin berulang kali. Aku menepuk wajahku. Tertawa kecil melihat Syaka akhirnya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Maaf Dawai, sepertinya aku flu," Syaka menatapku dengan wajah memelas.
"Kalo gitu kita pulang aja, angin malam nggak baik buat penderita flu," aku berhasil menenangkan gemuruh di jantungku.
"Nggak mau, aku masih mau sama kamu, ini malam Minggu pertama kita Dawai," Syaka mengerucutkan bibirnya. Bibir yang batal kucium karena insiden Syaka bersin-bersin tadi.
"Kita masih punya banyak malam Minggu yang akan kita habiskan berdua, sekarang ayo kita pulang dulu," aku membujuknya untuk pulang.
"Nggak, aku mau ajak kamu ke atas atap gedung fakultas aku, di sana bintangnya seakan bisa kita sentuh," Syaka menunjuk ke atas bangunan yang terletak paling ujung di wilayah campus kami.
"Baiklah, tapi jangan terlalu lama," kataku mengalah setelah menghela napas panjang. Aku hanya ingin Syaka bisa menikmati kencan pertama kami dengan bahagia.
"Yeeay! Ayo kita ke sana!" Syaka bangun dari duduknya lalu meloncat riang. Aku tersenyum melihatnya.
"Kita naik lift aja, belum mati kalo jam segini," Syaka menatap jam tangannya. Lalu menekan tombol di samping lift. Lift terbuka, aku dan Syaka masuk.
"Campus kalo malam hari agak spooky ya?" Syaka bersandar di dinding lift.
"Aku phobia lift, bisakah kita berpegangan tangan?" tanyaku menoleh ke arahnya. Lift mulai bergerak naik.
"Ada aku tenang aja, ayo lawan phobianya!" Syaka menggenggam tanganku. Terasa hangat dan nyaman. Aku tersenyum sambil memejamkan mataku.
"Sepertinya memelukmu bisa lebih membuatku tenang dan lupa akan phobiaku, Sya," kulepaskan genggaman tangan kami, dan sebagai gantinya aku merangkul bahu Syaka. Syaka hanya mengangguk sambil merapatkan tubuhnya. Wanginya kembali merampas fokus di otakku.
Aku kembali memejamkan mataku. Seandainya boleh meminta, aku ingin bangunan paling atas di gedung ini terletak di lantai 1000, karena aku ingin menikmati wanginya lebih lama lagi.
Tring.
Suara tanda pintu lift terbuka merusak impianku. Aku membuka mataku.
"Udah sampai, ayo keluar! Kita lewat pintu itu!" Syaka menunjuk sebuah pintu yang terbuat dari kaca dan gagang pintu dari bahan stainless yang terlihat kokoh.
"Okey," aku mengikuti langkah Syaka.
"Kamu bisa melewati phobiamu!" Syaka tertawa.
"Uhmm, sebenarnya phobia lift itu bohong, aku hanya ingin kita berdekatan," aku tertawa saat Syaka menoleh dan membulatkan matanya.
"Lain kali kalau mau dekat-dekat bilang ajaa, nggak usah bohong lagi," Syaka menonjok bahuku pelan. Aku meringis mengusap bahuku. Syaka membuka pintu kaca yang menghubungkan sudut koridor menuju lantai paling atas dari gedung ini. Terlihat hamparan luas dengan lantai yang terbuat dari paving block.
"Dingiiin!" Syaka merentangkan kedua tangannya menantang angin yang hembusannya terasa sangat kencang.
"Kalo dingin jangan jauh-jauh dari aku Sya!" teriakku melihat Syaka melangkah menjauhiku. Syaka membalikkan badannya. Menatapku dengan matanya yang membulat indah.
"Memangnya kalo dekat-dekat kamu jadi hangat?" Syaka balas berteriak dan menjadikan kedua tangannya sebagai corong.
"Coba aja sini!" aku berteriak lagi. Tapi Syaka malah berjalan mundur. Tangannya melambai memintaku mendekat.
"Jangan terlalu ke pinggir Syaka! Nanti jatuh!" aku deg-degan melihat Syaka berdiri terlalu dekat dengan tepian yang tanpa pembatas itu.
"Dawai, siniii!" Syaka berdiri tepat di undakan paling pinggir. Aku bergegas mendekatinya.
"Jangan di situ Sya!" aku bergidik ngeri. Menatap ke bawah terlihat kendaraan bermotor lalu lalang memadati jalanan di depan campus.
"Sini!" teriak Syaka lagi tak menghiraukan kekhawatiranku, dia malah duduk di tepi dengan kaki uncang-uncang ke bawah. Ditepuknya lantai di sampingnya. Aku gamang. Aku belum pernah berada di ketinggian seperti ini sebelumnya, dan melihat ke bawah dari jarak seperti ini membuat kepalaku berdenyut tak menyenangkan.
"Aku phobia ketinggian," kataku pelan. Syaka menoleh padaku yang masih berdiri di belakangnya.
"Beneran? Kalo gitu sini berdiri di sini, aku pegangin," Syaka bangun dari duduknya dan berdiri.
"Menjauhlah dari sana Sya,"
"Udah sini, aku janji nggak akan jorokin kamu ke bawah!"
Aku mendekat. Berdiri berhadapan dengannya.
"Kalo jatuh gimana?" aku menatapnya lalu melirik ke bawah. Lampu-lampu berkerlip seperti bintang, tapi tentu saja tak ada yang bisa menandingi indah kerlip yang berasal dari kedua mata mahluk indah di depanku ini.
"Nggak akan jatuh, aku akan pegangin kamu," Syaka meraih tanganku, digenggamnya erat. Aku tersenyum, hilang segala ketakutanku akan apapun. Aku tidak sendirian.
"Aku deg-degan," kataku jujur.
"Ya udah, kita duduk aja, sini!" Syaka kembali duduk dengan kaki yang terayun ke bawah. Aku duduk di sampingnya. Tidak melihat ke bawah atau ke arah manapun, tapi menoleh ke sampingku, ada indah yang memukau mataku melebihi segala keindahan yang tampak di sekitarku. Syaka balas menatapku. Sihirnya mulai bekerja.
I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this
Jantungku berdegup kencang.
"Kamu nggak pengen kasih aku lagu atau nyanyikan sesuatu misalnya?" Syaka menatapku lembut. Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku mau kasih kamu ini," aku meraih dagunya, lalu merunduk meniadakan jarak antara bibirku dengan bibirnya. Aku mengecupnya lembut. Singkat saja, lalu aku uraikan. Kulihat matanya membulat.
"Jangan tonjok aku," bisikku lirih. Syaka menggelengkan kepalanya lalu menatapku. Bulu matanya mengerjap perlahan bagai kepakan sayap kupu-kupu.
"Ini ciuman pertamaku," Syaka menggigit bibir bawahnya.
"Kalo gitu balas aku Sya," pintaku dengan jantung yang bergemuruh. Apalagi setelah itu Syaka memejamkan matanya dan merunduk mengecup bibirku. Sekejap saja tapi mampu menciptakan aliran listrik di tubuhku.
"Aku nggak pandai berciuman," dalam kerlip lampu yang menerangi sekitarku aku bisa melihat lukisan rona merah jambu di wajah Syaka.
"Nanti aku belikan buku pedoman cara berciuman yang terlihat keren," kataku tertawa kecil melihat polos wajah di depanku.
"Bukannya itu malah akan membuatku terlihat menyedihkan ya?" Syaka mencubit lenganku. Tawaku semakin terbahak. Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh akan membelikannya buku absurd itu, karena bukankah ciuman itu adalah soal hati?
"Aku deg-degan," Syaka menyentuh dadanya.
"Aku juga, dadaku terasa panas, dan perutku mencelos, seperti ada lima ekor kuda dan dua ekor gajah yang berlarian di perutku," ungkapku jujur.
"Sepertinya kita harus beli satu buku lagi Sayang, buku cara menenangkan jantung yang tawuran saat berciuman," Syaka tertawa puas telah membalasku. Aku mengacak rambutnya gemas.
"Dawai, aku masih deg-degan, sini deh dengerin!" Syaka menunjuk dadanya sebelah kiri. Aku menyurukkan wajahku ke sana. Meletakkan telingaku di dadanya. Dari jarak selekat ini wangi lembut milik Syaka membuat jantungku kembali sekarat. Kulingkarkan lenganku ke pinggang Syaka, aku kini berada dalam dekapannya.
"Apa yang kamu dengar? Suara gamelan?" Syaka mengusap rambutku, memberikan efek menenangkan luar biasa pada otakku.
"Uhm, kurasa ini bukan suara gamelan, Sya,"
"Lalu suara apa?"
"Marching band kalo upacara Agustusan," aku terbahak tanpa menguraikan pelukanku. Syaka tertawa lebih keras.
I lose control when I'm close to you Babe
I lose control don't look at me like this
"Udah nggak takut ketinggian kan?" Syaka menepuk pipiku pelan. Aku menggeleng. Kuuraikan dekapanku, dan kutatap matanya yang berpijar. Kurasa bukan hanya dua bintang yang ada di mata Syaka, tapi bintang di langit pindah semua ke matanya.
"Denganmu semua ketakutanku sirna, karena aku percaya, ada tanganmu yang selalu memegangi aku,"
"Kapanpun kamu merasa ingin aku pegangi, aku ada, nggak akan pernah pergi, nggak akan pernah tinggalin kamu sendiri," Syaka menatapku lagi. Aku terpesona untuk kesekian kalinya. Aku jatuh cinta tanpa bisa berhenti. Padanya, seorang Syaka yang kini menempati jantungku di semua sudutnya. Syaka tersenyum, bibirnya melengkung indah. Aku ingin sekali lagi mengecupnya malam ini, di bawah taburan bintang yang berkedip manja sebagai saksi kisah cintaku bersama Syaka. Dan radarku mengatakan Syaka juga menginginkannya
I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this
There's something in your eyes that is saying tonight
Kuraih wajah di depanku, kukecup lembut bibirnya dan tanpa menunggu lama, Syaka membalas kecupanku dengan kelembutannya yang luar biasa. Kuabaikan detak jantungku yang menggila seiring tangan Syaka yang bergerak melingkari leherku. Sepertinya kami berdua tak akan pernah membutuhkan buku pedoman apapun, karena semua ini adalah tentang cinta.
"I love you Dawai," bisiknya di sela ciuman kami.
"I love you too Syaka,"
Ini kencan pertama kami, tak butuh tempat yang indah karena seluruh keindahan berada di hadapanku kini. Dan semua indah tentangnya akan kuletakkan di dalam hati. Bintang-bintang saksinya, bahwa cinta bisa menguatkan selama kita tidak saling melepaskan genggaman, hanya butuh rasa percaya karena cinta adalah tentang keajaiban.
You and I just have a dream
To find our love a place, where we can hide away
You and I were just made
To love each other now, forever and a day
TAMAT
Tinggalkan jejak guys
Jangan jadi pembaca gelap ya
RCL RCL RCL
#Andara