YOU AND I -Oneshoot-


By : Dawai Hati

Kencan pertama.

First date.

Ada yang belum pernah mengalaminya? Sini ikut aku, akan aku ceritakan pengalaman kencan pertamaku. Oh iya, ini bukan cerpen lho, dan akan sangat tidak masuk akal kalo dibilang cerbung. Ini adalah sebuah kisah cinta sederhana yang mengikat hati kami, aku dan dia. Dawai dan Syaka.

Aku memenuhi janji untuk menjemput Syaka tepat jam 7 malam. Ini kencan pertama kami setelah dua hari yang lalu aku menyatakan perasaanku padanya. Cowok manis dengan bibir yang melengkung indah itu menerimaku menjadi kekasihnya. Bahagia? Sudah pasti. Dia meredakan sepiku, tawanya memenuhi setiap sudut ruangku yang hampa. Bersamanya hariku penuh indah. Hilang semua resah, hadirnya membuatku hangat. Dia Kapota Syaka. Mahasiswa semester dua yang aktif di kegiatan sosial. Dan aku, Dawai Hati, mahasiswa semester 4 yang kebetulan bertemu dengannya di acara amal untuk korban bencana alam di kota kami. Radarku mengatakan dia memiliki jiwa yang sama denganku. Benar saja, setelah kedekatan kami beberapa bulan belakangan ini, aku semakin menyadari kalau dia sama sepertiku. Tak menunggu waktu lama, aku menyatakan perasaanku, dan cintaku bersambut. Aku bahagia tak terkira.

Kini aku sampai di depan pagar rumahnya. Syaka sudah berdiri menungguku. Kaus putih dan celana selututnya membuatnya terlihat sangat manis. Dia tersenyum melihatku.

"Apa aku terlambat?" tanyaku tanpa berkedip melihatnya.

"Nggak sama sekali, ini bahkan belum tepat jam tujuh," Syaka melihat jam tangannya.

"Pergi sekarang?" aku mengulurkan tanganku.

"Yuk," disambutnya uluran tanganku.

"Kita jalan kaki aja ya, motorku lagi dipinjam teman,"

"Ya udah nggak apa-apa, kita mau ke mana sih?" tanya Syaka pelan, dia menyelipkan jemarinya ke genggaman tanganku. Aku tersenyum samar. Tangan Syaka halus. Aku menggenggamnya erat. Kuayunkan perlahan seiring langkah kami yang berjalan menjauhi rumahnya.

"Nanti juga kamu akan tau," kutatap langit malam di atasku. Cerah, meski belum terlihat banyak bintang, tapi bulan yang mengintip di balik awan mulai terlihat sabit.

Kami diam. Berjalan bersisian. Wangi Syaka memenuhi indera penciumanku. Wangi yang lembut. Aku memejamkan mataku tanpa melepaskan tangannya yang aku genggam.

"Kita mau ke campus?" suara Syaka mengejutkanku. Aku menoleh padanya dan tersenyum.

"Iya, kita akan ke sana,"

"Mau ngapain ke campus jam segini?"

"Ini kan malam Minggu, Sya, biasanya masih ada anak-anak latihan basket di sana,"

Syaka kulihat mengangguk senang.

"Uhmm, kamu tunggu sebentar ya di sini, sebentaaar aja," kusentuh bahunya pelan.

"Kamu mau ke mana?" keningnya mengernyit.

"Udah tunggu sebentar, nanti aku balik lagi,"

Aku bergegas pergi setelah melihatnya mengangguk. Setengah berlari aku menuju satu rumah yang tadi sempat kami lewati. Rumah dengan pagar halaman yang rendah. Ada yang menarik perhatianku di sana. Dan setelah mendapatkannya, aku langsung kembali ke tempat Syaka menungguku.

"Dari mana sih?" Syaka mengerucutkan bibirnya yang imut. Aku tersenyum. Kuserahkan setangkai bunga mawar padanya.

"Buat kamu,"

"Aaaah, Dawai, manis banget! Makasih ya?" mata Syaka berbinar indah. Aku mengangguk. Syaka masih tersenyum-senyum senang sambil mencium kelopak mawar merah itu.

"Lari Syaaaa!!" aku menarik tangan Syaka dan berlari dengan tangan Syaka dalam genggamanku. Syaka yang terkejut spontan mengikuti langkahku yang berlari cepat.

"Dawaaai, ada apa?" tanya Syaka di sela larinya, dia sempat menoleh ke belakang.

"Yang punya mawar ngejar kitaaa!" teriakku sambil terus berlari.

"Apaaa? Kamu dapat nyolong?" Syaka balas berteriak.

"Hahahaha! Iyaaaa!" setelah kurasa jarak kami tak lagi terlihat oleh pemilik bunga mawar itu, aku menghentikan lariku. Syaka juga.

"Nyebeliiin!!" Syaka memukul bahuku. Pelan saja tapi aku pura-pura kesakitan.

"Ampun Sya," aku masih tertawa. Syaka mengatur napasnya yang tadi sempat terengah-engah.

"Lain kali nggak usah kasih aku bunga!" Syaka mengerucutkan bibirnya.

"Lain kali aku kasih bunga yang dapat beli di florist deh," aku mengedipkan mataku. Syaka membulatkan matanya yang indah. Lalu kami berdua tertawa.

Tak lama, langkah kami tiba di gedung campus dengan bangunan modern itu. Masih banyak mahasiswa berseliweran di sekitar halaman depan campus. Mereka mahasiswa yang masuk kelas malam. Aku menggamit tangan Syaka menuju lapangan basket.

"Udah nggak ada anak-anak main Sya," kulihat lapangan yang senyap.

"Ya udah, trus kita mau ke mana?"

"Duduk-duduk aja, di sini bintangnya keliatan jelas Sya," aku duduk di lantai lapangan. Kutepuk lantai di sampingku, memberi isyarat pada Syaka untuk mendekat.

"Kamu sering ke sini?" Syaka duduk di sampingku.

"Iya, kalo lagi suntuk aku suka ke sini malam-malam, biasanya selalu ada yang main basket."

"Kok sekarang sepi ya?" Syaka menengadah menatap langit.

"Mungkin mereka tau kalo kita mau pacaran di sini," aku tertawa, ikutan Syaka menatap langit.

"Dawai, kakiku sakit nih gara-gara lari tadi," Syaka melepas sepatu converse-nya.

"Sini aku liat," kuangkat kaki kanan Syaka ke atas pangkuanku. Ada lecet kecil di atas tumitnya.

"Maaf ya Sya, gara-gara aku kamu jadi terluka," aku tiup-tiup pelan luka lecet di kaki Syaka.

"Udah, udah, hahaha, udah sembuh, udah nggak sakit," Syaka mengusap kepalaku yang sedang menunduk meniup kakinya.

"Nanti pulang kasih betadine ya?" aku mengangkat wajahku. Menyesal telah menyakitinya tanpa sengaja. Syaka mengangguk.

"Bintangnya banyak banget, Dawai!" Syaka berteriak sambil tangannya menunjuk langit.

"Iya, aku mau pilih satu bintang buat kamu," kalimatku sukses membuatnya menoleh padaku.

"Bintang buat aku?" mata indahnya mengerjap pelan lalu menatapku dengan lembut. Damn, aku terpaku. Sepertinya dia baru saja memindahkan dua bintang ke dalam matanya.

I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this
There's something in your eyes that is saying tonight

Lagu itu seperti mengantarkan debar yang mengalun indah saat aku melihat ke dalam bening matanya.

"Ya. Aku mau petik bintang yang paling bersinar di langit sana, buat kamu. Kunamakan Syaka. Bintang yang itu sekarang namanya Syaka," aku tersenyum melihat Syaka menatapku takjub.

"Terima kasih, Dawai. Aku juga mau pilih bintang buat kamu," matanya kembali mengangkasa. Tangannya menunjuk satu bintang yang sinarnya tak kalah cemerlang dengan bintang yang aku pilihkan buatnya tadi.

"Yang itu! Bintang yang itu sekarang namanya Dawai!" tangan Syaka masih menunjuk ke langit tapi matanya menatap ke arahku. Aku tersenyum.

"Bintang darimu akan aku letakkan di sini," ku taruh genggaman tanganku ke dadaku, tempat jantungku berdetak dan melagukan namanya.

"Kenapa di sana?" Syaka menatapku lembut.

"Biar ikut berdetak bersama dengan jantungku,"

"Kamu pernah bilang jantungmu selalu jumpalitan kalo lagi ada di dekat aku, kasian bintangnya nanti ikutan salto," Syaka tertawa kecil.

"Tenang aja nanti aku ikat kuat-kuat biar aman," kuusap dadaku pelan-pelan seakan ada sesuatu yang sangat berharga di situ yang harus kujaga.

"Dan bintang darimu akan aku letakkan di sini," Syaka mengulurkan genggaman tangan kanannya ke hadapanku.

"Kenapa di situ?" aku mengerutkan keningku. Aku pikir dia akan menempatkan bintang dariku di tempat yang sama denganku.

"Biar bisa aku doain setiap aku mau tidur," Syaka membuka genggaman tangannya lalu menciumnya. Ya Tuhan, dia menggemaskan sekali.

"Kalo jatuh gimana?" aku memberinya tatapan mata jail.

"Aku ikat nanti pake karet gelang biar nggak jatuh," Syaka meleletkan lidahnya padaku. Kami tertawa terbahak.

"Aku sayang kamu, Sya. Sangat sayang," kutatap kedua pijar bintang di matanya.

"Aku juga sayang Dawai, sayang banget," Syaka balas menatapku. Ada gemuruh di dadaku. Melebur perasaan ingin lebih dekat dan menyesap wanginya yang menguar lembut di hidungku.

Aku merunduk, merendahkan wajahku ke arah wajahnya. Syaka tau apa yang ingin aku lakukan, di genggamnya tanganku lembut sebagai pengganti kalimat mengijinkanku untuk menciumnya.

Hanya beberapa inch lagi jarak bibirku dengan bibirnya, tiba-tiba Syaka menjauhkan wajahnya. Menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Hatsssyy!" Syaka bersin berulang kali. Aku menepuk wajahku. Tertawa kecil melihat Syaka akhirnya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Maaf Dawai, sepertinya aku flu," Syaka menatapku dengan wajah memelas.

"Kalo gitu kita pulang aja, angin malam nggak baik buat penderita flu," aku berhasil menenangkan gemuruh di jantungku.

"Nggak mau, aku masih mau sama kamu, ini malam Minggu pertama kita Dawai," Syaka mengerucutkan bibirnya. Bibir yang batal kucium karena insiden Syaka bersin-bersin tadi.

"Kita masih punya banyak malam Minggu yang akan kita habiskan berdua, sekarang ayo kita pulang dulu," aku membujuknya untuk pulang.

"Nggak, aku mau ajak kamu ke atas atap gedung fakultas aku, di sana bintangnya seakan bisa kita sentuh," Syaka menunjuk ke atas bangunan yang terletak paling ujung di wilayah campus kami.

"Baiklah, tapi jangan terlalu lama," kataku mengalah setelah menghela napas panjang. Aku hanya ingin Syaka bisa menikmati kencan pertama kami dengan bahagia.

"Yeeay! Ayo kita ke sana!" Syaka bangun dari duduknya lalu meloncat riang. Aku tersenyum melihatnya.

"Kita naik lift aja, belum mati kalo jam segini," Syaka menatap jam tangannya. Lalu menekan tombol di samping lift. Lift terbuka, aku dan Syaka masuk.

"Campus kalo malam hari agak spooky ya?" Syaka bersandar di dinding lift.

"Aku phobia lift, bisakah kita berpegangan tangan?" tanyaku menoleh ke arahnya. Lift mulai bergerak naik.

"Ada aku tenang aja, ayo lawan phobianya!" Syaka menggenggam tanganku. Terasa hangat dan nyaman. Aku tersenyum sambil memejamkan mataku.

"Sepertinya memelukmu bisa lebih membuatku tenang dan lupa akan phobiaku, Sya," kulepaskan genggaman tangan kami, dan sebagai gantinya aku merangkul bahu Syaka. Syaka hanya mengangguk sambil merapatkan tubuhnya. Wanginya kembali merampas fokus di otakku.

Aku kembali memejamkan mataku. Seandainya boleh meminta, aku ingin bangunan paling atas di gedung ini terletak di lantai 1000, karena aku ingin menikmati wanginya lebih lama lagi.

Tring.

Suara tanda pintu lift terbuka merusak impianku. Aku membuka mataku.

"Udah sampai, ayo keluar! Kita lewat pintu itu!" Syaka menunjuk sebuah pintu yang terbuat dari kaca dan gagang pintu dari bahan stainless yang terlihat kokoh.

"Okey," aku mengikuti langkah Syaka.

"Kamu bisa melewati phobiamu!" Syaka tertawa.

"Uhmm, sebenarnya phobia lift itu bohong, aku hanya ingin kita berdekatan," aku tertawa saat Syaka menoleh dan membulatkan matanya.

"Lain kali kalau mau dekat-dekat bilang ajaa, nggak usah bohong lagi," Syaka menonjok bahuku pelan. Aku meringis mengusap bahuku. Syaka membuka pintu kaca yang menghubungkan sudut koridor menuju lantai paling atas dari gedung ini. Terlihat hamparan luas dengan lantai yang terbuat dari paving block.

"Dingiiin!" Syaka merentangkan kedua tangannya menantang angin yang hembusannya terasa sangat kencang.

"Kalo dingin jangan jauh-jauh dari aku Sya!" teriakku melihat Syaka melangkah menjauhiku. Syaka membalikkan badannya. Menatapku dengan matanya yang membulat indah.

"Memangnya kalo dekat-dekat kamu jadi hangat?" Syaka balas berteriak dan menjadikan kedua tangannya sebagai corong.

"Coba aja sini!" aku berteriak lagi. Tapi Syaka malah berjalan mundur. Tangannya melambai memintaku mendekat.

"Jangan terlalu ke pinggir Syaka! Nanti jatuh!" aku deg-degan melihat Syaka berdiri terlalu dekat dengan tepian yang tanpa pembatas itu.

"Dawai, siniii!" Syaka berdiri tepat di undakan paling pinggir. Aku bergegas mendekatinya.

"Jangan di situ Sya!" aku bergidik ngeri. Menatap ke bawah terlihat kendaraan bermotor lalu lalang memadati jalanan di depan campus.

"Sini!" teriak Syaka lagi tak menghiraukan kekhawatiranku, dia malah duduk di tepi dengan kaki uncang-uncang ke bawah. Ditepuknya lantai di sampingnya. Aku gamang. Aku belum pernah berada di ketinggian seperti ini sebelumnya, dan melihat ke bawah dari jarak seperti ini membuat kepalaku berdenyut tak menyenangkan.

"Aku phobia ketinggian," kataku pelan. Syaka menoleh padaku yang masih berdiri di belakangnya.

"Beneran? Kalo gitu sini berdiri di sini, aku pegangin," Syaka bangun dari duduknya dan berdiri.

"Menjauhlah dari sana Sya,"

"Udah sini, aku janji nggak akan jorokin kamu ke bawah!"

Aku mendekat. Berdiri berhadapan dengannya.

"Kalo jatuh gimana?" aku menatapnya lalu melirik ke bawah. Lampu-lampu berkerlip seperti bintang, tapi tentu saja tak ada yang bisa menandingi indah kerlip yang berasal dari kedua mata mahluk indah di depanku ini.

"Nggak akan jatuh, aku akan pegangin kamu," Syaka meraih tanganku, digenggamnya erat. Aku tersenyum, hilang segala ketakutanku akan apapun. Aku tidak sendirian.

"Aku deg-degan," kataku jujur.

"Ya udah, kita duduk aja, sini!" Syaka kembali duduk dengan kaki yang terayun ke bawah. Aku duduk di sampingnya. Tidak melihat ke bawah atau ke arah manapun, tapi menoleh ke sampingku, ada indah yang memukau mataku melebihi segala keindahan yang tampak di sekitarku. Syaka balas menatapku. Sihirnya mulai bekerja.

I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this

Jantungku berdegup kencang.

"Kamu nggak pengen kasih aku lagu atau nyanyikan sesuatu misalnya?" Syaka menatapku lembut. Aku menggelengkan kepalaku.

"Aku mau kasih kamu ini," aku meraih dagunya, lalu merunduk meniadakan jarak antara bibirku dengan bibirnya. Aku mengecupnya lembut. Singkat saja, lalu aku uraikan. Kulihat matanya membulat.

"Jangan tonjok aku," bisikku lirih. Syaka menggelengkan kepalanya lalu menatapku. Bulu matanya mengerjap perlahan bagai kepakan sayap kupu-kupu.

"Ini ciuman pertamaku," Syaka menggigit bibir bawahnya.

"Kalo gitu balas aku Sya," pintaku dengan jantung yang bergemuruh. Apalagi setelah itu Syaka memejamkan matanya dan merunduk mengecup bibirku. Sekejap saja tapi mampu menciptakan aliran listrik di tubuhku.

"Aku nggak pandai berciuman," dalam kerlip lampu yang menerangi sekitarku aku bisa melihat lukisan rona merah jambu di wajah Syaka.

"Nanti aku belikan buku pedoman cara berciuman yang terlihat keren," kataku tertawa kecil melihat polos wajah di depanku.

"Bukannya itu malah akan membuatku terlihat menyedihkan ya?" Syaka mencubit lenganku. Tawaku semakin terbahak. Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh akan membelikannya buku absurd itu, karena bukankah ciuman itu adalah soal hati?

"Aku deg-degan," Syaka menyentuh dadanya.

"Aku juga, dadaku terasa panas, dan perutku mencelos, seperti ada lima ekor kuda dan dua ekor gajah yang berlarian di perutku," ungkapku jujur.

"Sepertinya kita harus beli satu buku lagi Sayang, buku cara menenangkan jantung yang tawuran saat berciuman," Syaka tertawa puas telah membalasku. Aku mengacak rambutnya gemas.

"Dawai, aku masih deg-degan, sini deh dengerin!" Syaka menunjuk dadanya sebelah kiri. Aku menyurukkan wajahku ke sana. Meletakkan telingaku di dadanya. Dari jarak selekat ini wangi lembut milik Syaka membuat jantungku kembali sekarat. Kulingkarkan lenganku ke pinggang Syaka, aku kini berada dalam dekapannya.

"Apa yang kamu dengar? Suara gamelan?" Syaka mengusap rambutku, memberikan efek menenangkan luar biasa pada otakku.

"Uhm, kurasa ini bukan suara gamelan, Sya,"

"Lalu suara apa?"

"Marching band kalo upacara Agustusan," aku terbahak tanpa menguraikan pelukanku. Syaka tertawa lebih keras.

I lose control when I'm close to you Babe
I lose control don't look at me like this

"Udah nggak takut ketinggian kan?" Syaka menepuk pipiku pelan. Aku menggeleng. Kuuraikan dekapanku, dan kutatap matanya yang berpijar. Kurasa bukan hanya dua bintang yang ada di mata Syaka, tapi bintang di langit pindah semua ke matanya.

"Denganmu semua ketakutanku sirna, karena aku percaya, ada tanganmu yang selalu memegangi aku,"

"Kapanpun kamu merasa ingin aku pegangi, aku ada, nggak akan pernah pergi, nggak akan pernah tinggalin kamu sendiri," Syaka menatapku lagi. Aku terpesona untuk kesekian kalinya. Aku jatuh cinta tanpa bisa berhenti. Padanya, seorang Syaka yang kini menempati jantungku di semua sudutnya. Syaka tersenyum, bibirnya melengkung indah. Aku ingin sekali lagi mengecupnya malam ini, di bawah taburan bintang yang berkedip manja sebagai saksi kisah cintaku bersama Syaka. Dan radarku mengatakan Syaka juga menginginkannya

I lose control because of you Babe
I lose control when you look at me like this
There's something in your eyes that is saying tonight

Kuraih wajah di depanku, kukecup lembut bibirnya dan tanpa menunggu lama, Syaka membalas kecupanku dengan kelembutannya yang luar biasa. Kuabaikan detak jantungku yang menggila seiring tangan Syaka yang bergerak melingkari leherku. Sepertinya kami berdua tak akan pernah membutuhkan buku pedoman apapun, karena semua ini adalah tentang cinta.

"I love you Dawai," bisiknya di sela ciuman kami.

"I love you too Syaka,"

Ini kencan pertama kami, tak butuh tempat yang indah karena seluruh keindahan berada di hadapanku kini. Dan semua indah tentangnya akan kuletakkan di dalam hati. Bintang-bintang saksinya, bahwa cinta bisa menguatkan selama kita tidak saling melepaskan genggaman, hanya butuh rasa percaya karena cinta adalah tentang keajaiban.

You and I just have a dream
To find our love a place, where we can hide away
You and I were just made
To love each other now, forever and a day

TAMAT

Tinggalkan jejak guys
Jangan jadi pembaca gelap ya
RCL RCL RCL

‪#‎Andara

Who Says? | END


‬ Author: Otsu Kanzasky

ps: sekilas cerita tentang Julian dan Kiel saat di Belanda.
***
Memasuki penghujung musim panas, detik-detik dimana daun akan menguning dan meninggalkan rantingnya. Suasana yang cukup hangat, sehangat kondisi di dalam rumah kediaman Wails.
Mereka baru saja melakukan sarapan bersama, dan sampai detik ini Richard tak lagi `menyerang' Julian maupun Kiel akan ketidak setujuannya pada hubungan mereka. Pria itu lebih banyak diam, sedikitpun tak melirik Julian seolah pria tampan itu tak terlihat. Atau mungkin ia memang tak ingin melihatnya?
Setidaknya hal itu tak di permasalahkan oleh Lily, dan malah wanita paruh baya itu cukup senang karena tidak ada tatapan sengit atau percakapan panas saat sarapan.
Apakah hal itu sebuah kemajuan?
Inilah yang di pikirkan Kiel. Memang meski Richard tak menyinggung tentang hal itu, sesekali ia diajak bicara tentang pekerjaannya, dan terdengar wajar-wajar saja.
Tapi tetap saja dirinya tidak tenang. Setidaknya Richard mengatakan sesuatu tentang keputusan yang diambilnya akan hubungan dirinya dengan Julian. Dan tentu ia mengharapkan mendengar sesuatu yang baik.
"Julie, Marie, bukankah kalian kemarin pagi berjanji akan membantu Papa untuk memindah beberapa tanaman ke pot?" ucap Lily, saat melintas di ruang santai, dan melihat kedua putrinya tengah bersantai menonton film. Marie menengok ke belakang sofa.
"Apa harus sekarang?" tanyanya dengan wajah memelas.
"Ya sekarang. Mama dan Papa akan menghadiri undangan pernikahan teman, ingat kalian berdua sudah berjanji"
"Akan kita kerjakan setelah menonton film" Julie menawar.
"Tidak, sekarang"
Julie melengos kesal, sementara Maria santai saja bangkit berdiri. Lily menggelengkan kepalanya kecil melihat putri keduanya yang mematikan tv dengan kasar. Tapi kemudian ia ingat, jika tidak melihat Kiel dan Julian disana.
"Mana Kiel?" tanyanya.
"Cuci piring" jawab Julie tak berminat. Lily menautkan alisnya.
"Kalian belum mencucinya?" ia memperhatikan kedua putrinya bergantian.
"Kemarin aku dan Julie, hari ini giliran Kiel" kata Maria.
"Kalau Julian?"
"Tadi dia meminjam laptopku, kurasa sekarang dia ada di kamar Kiel. Marie ayo!" ucap Julie yang berjalan meninggalkan ruang santai, agak keras memanggil sang kakak.
Sementara itu Kiel yang ada di dapur, tampaknya belum menyelesaikan tugasnya karena sesekali ia membalas pesan dari Kelly. Bahkan saat Julian masuk pun pria cantik itu tak menyadarinya.
Julian berdiri bersandar pada meja makan dan melipat kedua tangannya di dada, memperhatikan Kiel yang asyik mencuci piring. Pria tampan itu akan mengatakan sesuatu kalau saja Lily tidak muncul tiba-tiba. Telah rapih dengan dress hitam yang serasi di tubuhnya.
"Disini rupanya kalian" ucapnya, membuat Kiel dan Julian menoleh kompak.
"Mama mau kemana?" tanya Kiel, membalikkan badan. Memperhatikan sang Ibu yang tampil cantik.
"Mama dan Papa ada undangan pernikahan teman"
"Sekarang?"
"Tentu saja Kiel. Nanti setelah kegiatanmu selesai bantulah kedua kakakmu di rumah kaca"
Kiel mengangguk kecil. "Ok"
"Sudah siap?" tanya Richard yang tiba-tiba muncul. Tampak tampan dengan stelan jas berwarna abu-abu.
"Sudah, ayo berangkat" ajak Lily.
"Duluan ke mobil, ada yang mau ku bicarakan dengan mereka" ucapnya. Lily hanya mengangguk, sempat menoleh pada Kiel dan Julian saat melangkah pergi.
Kini hanya mereka bertiga. Kiel tampak agak gugup dengan keadaan ini, apalagi kini Richard menatap Julian dengan tatapan tajam.
"Aku diam bukan berarti aku akan berhenti menginterogasi kau" ujarnya, membelah suasana menegangkan di dapur. Julian tak bergeming.
"Kau boleh senang karena istri dan dua putriku setuju, tapi lihat saja. Aku tidak akan semudah itu melepaskan Kiel. Ingat itu" tegasnya, lalu menatap Kiel.
"Kalau begitu saya akan lebih keras mempertahankannya" kata Julian, cukup tenang.
Richard tak berkata apa-apa lagi. Tapi saat ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba ia menatap Julian kembali.
"Jangan melakukan apapun saat aku dan istriku tidak ada dirumah, Maria dan Julie akan mengawasimu" ancamnya.
Kiel menengok pada Julian yang berdiri di dekat meja makan, dan tanpa sengaja pria tampan itupun menoleh padanya.
"Hal ini tidak akan berjalan lancar" kata Kiel, menunduk lesu. Julian memasukkan kedua tangannya ke saku celana training seraya berjalan mendekat.
"Kenapa harus memikirkan hal itu? Yang terpenting keluargamu sudah tahu tentang kita" ujar Julian, memegang dagu Kiel. Membuat mata indah berwarna biru itu kembali menatap wajah tampan di hadapannya.
"Tetap saja, aku tidak bisa tenang kalau Richard terus memusuhimu" desahnya lelah. Memegangi tangan Julian yang kini berada di pipinya.
"Aku bisa saja menyembunyikanmu dari Richard" Julian mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kelopak mata kanan Kiel lembut.
"Kamu bisa melakukan banyak hal, tapi tidak dengan menjauhkanku dengan keluargaku" ujarnya, mendorong dada Julian agar sedikit menjauh dari tubuhnya.
"Lalu apa? Kamu akan menuruti Ayahmu?" Julian beralih berkutat di leher Kiel.
"Mana mungkin" si perak berusaha mendorong pundak kokoh Julian. "Aku akan berusaha meyakinkan Richard, bagaimanapun juga aku bahagia bersamamu" lanjutnya. Menatap kedalam mata abu-abu Julian yang tajam.
Ada sirat aneh di sorot mata elang itu. Hal yang tak dapat di hindari Kiel, seperti dapat menyedot siapapun yang melihatnya. Namun tentu saja tak membuat Kiel membenarkan apa saja yang di lakukan pria tampan itu, terlebih di dalam situasi seperti ini.
Karena pria berdarah Rusia itu kembali berusaha `menyerang'nya dengan ciuman-ciuman kecil di lehernya.
"Julian" protes Kiel, berusaha menarik kepala sang kekasih.
"Kita ada di dapur, bisa-bisanya kamu melakukan ini di saat seperti ini" ucapnya agak tak nyaman. Tetap saja usahanya tak mampu membuat pria tampan itu berhenti.
Julian memegangi tangan Kiel erat, menulikan telinganya akan protes si perak itu.
"Ingat sudah berapa lama kita tidak bertemu sebelum datang kemari?" tanyanya tiba-tiba, menjauhkan kepalanya dari leher Kiel. Menatap sepasang mata biru itu tajam.
Kiel tampak tengah mengingat. "Mm, tiga hari?" ia tampak tak yakin.
"Tiga hari kita tidak bertemu, setelah semalam aku menahan diri apa sekarang aku harus melakukannya lagi?" suara beratnya yang tajam serta tatapan mata yang seolah selalu dapat menembus ke dalam pikiran, membuat Kiel memerah.
"T-tapi tidak disini, kamu lupa dengan kata-kata Ric--uwaa!"
Kiel memekik kaget dan refleks melingkarkan tangannya di leher Julian, karena tiba-tiba pria itu mengangkat tubuhnya ala bridal style.
"Turunkan aku! Julian!" pinta Kiel agak kesal. Berusaha meronta tapi pria tampan itu tak bergeming.
"Bagaimana kalau Marie dan Julie tahu?!" ia tak berhenti berusaha mencegah langkah Julian yang menaiki tangga.
"Memang apa yang akan mereka katakan pada orangtuamu?" tanyanya, mengalihkan tatapannya pada Kiel.
Si perak itu berdecak kecil, kehabisan akal untuk mencegah niat Julian. Tak urung ia gemas dengan sikap seenaknya pria itu, dan membuatnya melampiaskan dengan mengeram atau menggigit keras leher sang kekasih. Bertujuan agar pria itu mengaduh kesakitan dan menurunkannya.
"Kamu semakin membuatku horny" kata Julian tenang. Tak sedikitpun terlihat kesakitan, dan hal itu membuat Kiel melepas gigitannya cepat.
Dan kini si perak pasrah dibawa ke kamarnya, yang letaknya paling atas dan terpencil.
Julian dapat dengan mudah menaiki tangga ke kamar Kiel dengan membopong pria cantik itu, dan membuka pintu kayunya.
"Turunkan aku, aku tidak mau di lempar ke tempat tidur" pinta Kiel, setelah Julian menutup pintu kembali dengan mendorongnya dengan punggung.
Sejenak pria tampan itu hanya menatap Kiel, lalu akhirnya menurunkannya perlahan. Kiel membenahi kausnya yang agak miring karena perlakuan Julian tadi, dan diam-diam mencari celah di balik punggung pria itu.
"Jangan berpikir untuk lari" kata Julian, seperti dapat membaca isi kepala Kiel.
"Tidak, aku hanya baru ingat kalau ponselku tertinggal di dapur" ujarnya tepat. Karena dirinya memanga baru ingat jika benda itu berada di dapur.
Tapi gerakan tangan Kiel terhenti karena Julian dengan cepat mencegah tangan ramping itu dan menarik si empunya hingga menyandar di pintu kamar. Mempertipis jarak mereka, dan Julian segera menyumpal bibir merah Kiel dengan bibirnya agar tak ada protes yang keluar dari mulut mungil itu.
Si perak menutup matanya pasrah, toh tidak mungkin untuk menolak, selain itu dirinya memang tidak akan pernah menolak. Kiel membalas tiap pagutan di bibirnya, dan tak merasa jika tangannya tidak lagi di cengkram oleh Julian.
Kiel mengerang kecil saat lidah Julian menyusup masuk ke dalam mulutnya. Merasakan sapuan lidahnya yang menjelajahi setiap rongga mulutnya, lalu kembali menyesap bibirnya lembut.
Tubuhnya seketika tak bertenaga. Kiel nyaris merosot karena kakinya melemas, andai saja Julian tak sigap menahan tubuhnya sembari memperdalam ciuman mereka.
Puas bermain lidah di dalam mulut Kiel, Julian menyudahi ciuman panas itu. Menatap wajah memerah Kiel dengan bibir basah dan nafas yang tersendat. Sepasang mata biru itupun balas menatap, bergerak menelisik pada wajah tampan Julian lalu turun ke bahunya yang lebar.
Kiel suka ini. Melihat Julian yang memakai singlet hitam, memperlihatkan garis dada bidangnya dan otot bisep yang kokoh. Sangat sexy di matanya, ampuh membuat gairahnya naik.
"Shall we dance?" bisik Julian, merendahkan suaranya yang berat. Tanggannya bergerak nakal mengusap nipple Kiel yang masih tertutup kaus.
Si perak itu menggeliat kecil, menggigit bibir menahan desahan. Meski Julian tak sedang menatapnya, dirinya tetap mengangguk.
"Tutup dulu jendelanya" ucapnya, mendorong lemas pundak Julian. Pria tampan itu menaikkan satu alisnya, lalu menengok ke belakang punggungnya.
"Aku tidak mau Julie dan Maria mendengar" lanjut Kiel malu-malu.
Sementara itu di bawah. Maria dan Julie yang sedang berkutat di dalam rumah kaca dengan di kelilingi 2-4 pot dan tanaman yang siap di pindahkan tak sengaja melihat Julian yang tengah menutup jendela kayu kamar Kiel.
Julie menaikkan satu alisnya. "Apa yang sedang dia lakukan dikamar Kiel?" tanyanya heran. Lalu memutar kepalanya menatap Maria.
"Kenapa jendelanya di tutup?" tanya Maria balik, kini bertatapan dengan Julie. Dan mereka saling menatap bingung.
"Atau Kiel juga ada disana?" tanya mereka bersamaan. Dan kini alis Julie kembali naik sebelah, namun kini dengan ketertarikan.
"Menurutmu apa yang mereka lakukan disana?" tanya Julie dengan seringai aneh. Maria mengangkat bahu kecil.
"Yang jelas aku tidak tertarik" ucapnya cuek. Kembali berkuat pada pot dan mengisinya dengan tanah.
"Oh ayolah Marie, kau tahu apa yang ku pikirkan! Apa harus kita laporkan pada Mama dan Richard?" Julie ikut berjongkok. Ada kejahilan di mimik wajahnya.
"Memangnya kau tahu apa yang mereka lakukan? Sudahlah, biarkan saja. Pura-pura saja tidak tahu"
"Ah, kau memang tidak seru" sungut Julie. Kesal karena ide jahil yang ada di kepalanya terpaksa harus diredam.
"Memangnya kau mau membuat situasi semakin aneh? Kalau aku sudah cukup Richard dan Julian perang dingin saat ini" kata Maria, sekilas menoleh pada Julie selagi tangannya sibuk menyekop tanah.
"Iya-iya aku tahu"
Selagi kedua wanita itu sibuk dengan tugas mereka, maka di kamar, Julian dan Kiel juga sibuk dengan `kegiatan' mereka.
Kilau indah berwarna biru milik Kiel tampak sayu menatap pada sosok Julian yang menindih kakinya, tengah melepas singletnya dan memperjelas bentuk tubuh atasnya yang gagah. Si perak itu mengalihkan pandangannya, karena sedikit tak tenang melihat pemandangan itu.
Namun baru sedetik ia menatap kearah lain, dagunya ditarik lembut dan bibir Julian menyergap bibirnya. Kiel menutup matanya, balas menghisap bibir Julian serta melingkarkan tangannya di leher pria itu.
Ciuman lembut nan manis itu semakin lama semakin panas, Julian mulai mengambil alih permainan, mengintimidasi tiap jengkal yang dapat di capai lidahnya. Tangannya pun tak kalah aktif, mulai meraba ke dalam kaus Kiel dan memberikan sensasi lain pada sang empunya.
Kiel meremas rambut Julian gemas, meladeni permainan lidah di dalam mulutnya. Membuat tubuhnya terasa panas-dingin, belum lagi sensasi geli yang di ciptakan tangan Julian di kulitnya.
"Nnghh.." ia berusaha mendorong bahu kokoh itu, karena mulai kehabisan nafas. Dan hal itu tak sia-sia karena Julian segera menyudahi ciuman panas mereka, lalu mengecup pipi Kiel dan turun ke rahang.
Si perak itu memejamkan matanya, menikmati sentuhan sekecil apapun di tubuhnya, serta kecupan demi kecupan yang di lehernya. Sensasi yang aneh namun membuatnya ketagihan.
"Aah! Julian...geli~" Kiel menggeliat kecil, meremas rambut Julian, merasakan kedua nipplenya yang di mainkan.
Desahan lirih meluncur dari mulutnya, seiring dengan gerakan jari Julian. Semakin meningkatkan libidonya dengan membuat mark di sekitar dadanya.
Julian bergerak teratur, membuat si perak yang di tindihinya itu dibuat nyaman akan perlakuannya. Meski tak dapat di pungkiri jika dibawah sana, di balik celana, ada benda miliknya yang harus segera di keluarkan.
Dengan mudah dan tanpa di sadari Kiel, ia membuka kaus si perak itu tanpa mengurangi sentuhannya yang membuat kekasih cantiknya mendesah nikmat dan meminta lebih.
"Aah...jangan disana. Umh...aah.." Kiel refleks mengangkat tubuhnya, dengan lemas hendak mencegah tangan Julian yang menyelusup dibalik celana basketnya. Dimana di bagian tengahnya, tepat di area yang mengembang, telah sedikit basah.
Julian kembali mencium bibir Kiel, menghisap bibir kenyal itu selagi tangannya bergerilnya di area sensitif Kiel. Dan desahan tertahanpun terdengar, tangan Kiel yang mengalung di leher Julian mendorong kepala pria itu memperdalam ciuman mereka.
"Mmhh..ngghhh~" Kiel menggeliat, merasakan juniornya yang di pijat lembut. Seketika membuat tubuhnya bergetar.
Julian tak sedikitpun memberi kesempatan pada kekasihnya untuk membalas, seolah ingin melahap bibir itu, ia sampai membuat Kiel kembali berbaring. Tangannya terampil bermain di bawah sana, sedikit demi sedikit melorotkan celana basket merah Kiel.
"Kenapa kamu masih memakai nama Ayahmu yang sudah meninggal?" tanyanya setelah melepas bibirnya, lalu menjilat leher Kiel. Seperti seorang vampire yang kelaparan.
"Aah,aku...aku hanya--aah! Ooh..nggh~" tubuh Keil menghentak kecil ketika tangan Julian menggelitik ujung juniornya, tepat di bagian lubangnya.
"Hm?" pria tampan itu menunggu. Sibuk menyesap nipple pink Kiel yang melenting.
"Uuhh...sshh...aku suka...lagipula mereka--aanhh~... mereka tidak keberatan.." Kiel tak kuasa menahan desahannya. Karena Julian tak berhenti memberi kenikmatan di tubuhnya.
Puas bermain dengan nipple Kiel, kini lidahnya menyapu permukaan kulit halus Kiel. Perlahan, memberi sensasi hangat di tiap jengkalnya, dan membuat si empunya mendesah hebat ketika daging merah muda yang basah itu menjelajahi area selangkangannya.
Tubuh Kiel menggeliat kenikmatan, tangannya tak berhenti meremas-remas rambut Julian. Pria tampan itu sendiri seolah tengah menyantap hidangan lezat yang tak ingin ia sisakan secuilpun, kedua tangannya membuka lebar kaki Kiel, meletakkannya diatas pundaknya sambil meremas-remasnya.
Racauan dan desahan si perak itu semakin membangkitkan batang Julian yang masih terkurung. Dan Kiel tak lagi dapat mengontrol mulutnya ketika rasa hangat dan lembab menyergap kemaluannya. Benda miliknya itu serasa di pijat lembut oleh lidah Julian, hingga precumnya mulai keluar lebih banyak.
Mata tajam berwarna abu-abu itu tajam memperhatikan Kiel yang menggeliat `berperang' dengan kenikmatan yang menimpanya. Dan hal itu tak disia-siakan oleh Julian, semakin dalam menghisap benda di dalam mulutnya hingga membuatnya berkedut.
Ia pun mengeluarkannya, tak lupa memijatnya dan tak membuat Kiel berhenti mendesah. Tangannya yang lain bergerak ke lubang surag milik Kiel yang terkatup rapat, membasahi area tersebut dengan precumnya.
"Aaah...Julian, berhenti bermain-main. Aku sudah tidak tahan mau keluar~" rengek Kiel tak sabar.
"Tidak sekarang" kata Julian, membenahi letak kaki Kiel di pundaknya. Kini pria cantik itu berbaring dengan sebagian tubuh terangkat, dan Julian dapat melihat lubang incarannya dengan posisi yang tepat.
Tak sabar ia menurunkan training hitamnya dan batang kejantanannya pun mencuat keluar, berdiri menantang dengan gagah.
"Tunggu, Julian. Ak--AAHH!" Kiel menghentakkan kepalanya keras. Matanya membulat sempurna, menggigit bibir kuat-kuat menahan rasa ngilu di lubangnya yang kecil yang kini di paksa untuk terbuka lebar.
Ia mencengkram erat seprai tempat tidur, matanya kini terpejam erat dan tampak setitik kristal bening di sudutnya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya, dan setidaknya ciuman itu dapat mengalihkan sedikit perhatiannya.
Julian bergerak aktif, selagi bibirnya sibuk dengan bibir Kiel, ia dapat dengan mudah mengangkat bokong padat si perak itu dan dengan sekali hentakan memasukkan batangnya ke dalam lubang.
Kiel menjerit tertahan, tanpa sadar mencakar punggung Julian. Ciuman itu berlangsung cukup lama, lagi-lagi Julian dapat membuat suasana panas dan Kiel tak lagi memermasalahkan rasa sakit di lubangnya.
Pria itu mulai bergerak perlahan, memegangi pinggul Kiel dan menambah tempo gerakannya. Kiel mengerang di sela-sela bibir mereka, merasakan tiap gerakan Julian.
Lubang Kiel yang sempit meremas-remas batangnya dengan sempurna, kenikmatan yang luar biasa baginya. Julian semakin cepat memompa batangnya, selagi satu tangannya menahan pinggang Kiel karena si perak itu memeluk lehernya erat dan membuatnya seperti koala yang memeluk batang pohon.
Selalu. Rasa sakit yang menyiksa di awal, akan berubah nikmat di akhir. Kiel tak berhenti mendesah seiring dengan gerakan Julian yang menusuk titik nikmatnya di dalam sana, belum lagi juniornya yang terjepit diantara tubuh mereka, menggeseknya dan memberi kenikmatan yang sama.
"Aku keluar" desisnya, semakin erat memeluk leher Julian.
Pria tampan itu semakin mempercepat gerakannya, membuat Kiel melenguh tertahan saat juniornya memuntahkan laharnya.
Tubuh Kiel lemas, ia meletakkan kepalanya di pundak Julian, membiarkan tubuh berkeringatnya menempel pada Julian yang kini menyangga tubuhnya.
"Giliranku" ucap Kiel seraya mengangkat kepalanya, menatap Julian.
Pria tampan itu tak menyahut, membiarkan Kiel bangkit dan otomatis mencabut batangnya yang masih tegak berdiri. Ia memperhatikan tiap gerak-gerik si perak itu, kini bersimpuh di antara kakinya dan dengan lembut membelai batangnya.
"Kenapa belum keluar?" tanya Kiel seraya menggenggam batang Julian dan menatap pria itu.
"Aku mau kamu yang melakukannya" jawab Julian, lalu mengusap bibir merah Kiel.
Pria cantik itu pun mengecup ujungnya, lalu mulai menjilatinya tak lupa memainkan tangannya. Julian menutup matanya, mengusap rambut perak Kiel, dan ia ingin lebih.
Kiel tampak seperti seseorang yang kelaparan. Tanpa ragu ia memasukkan kepala batangnya, namun tak dapat menampung benda panjang itu seluruhnya. Dengan gerakan tertatur ia menyesapnya seperti menikmati lollipop, tak lupa mengisap ujungnya dan membuat Julian mendesis lirih, tak terdengar.
"Aku tidak mau keluar disana Kiel" ujarnya, menarik dagu si perak itu hingga mengeluarkan batangnya dari mulutnya.
Julian menarik tangan Kiel agar bangkit, dan menuntunnya untuk duduk di pangkuannya. Kembali berciuman, saling melumat dan menghisap.
Liar. Kiel sadar jika dirinya tidak pernah berciuman seperti ini sebelumnya, dengan Julian. Entah apa yang merasukinya, ia hanya melakukan apa yang ia kehendaki. Dan ciuman panas itu membuat juniornya yang telah tertidur kembali bangun, kini mengembang diantara himpitan tubuh mereka.
"Masukkan" kata Julian setelah bibirnya menjauh. Kiel mengangguk kecil, lalu mengangkat tubuhnya. Sembari berpegangan pada pundak Julian, tangannya yang lain menggenggam batangnya dan mengarahkannya pada lubangnya. Setelah merasa pas ia mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan tatapan ragu, dan mengerti akan kecemasannya pria tampan itu mengecup bibirnya singkat seraya memegangi pinggulnya.
Kiel menggigit bibir bawahnya kecil, berpegangan pada pundak Julian dan mulai mendorong tubuhnya ke bawah. Menahan rasa perih yang kembali menyerang lubangnya ketika kepala penis Julian mulai masuk.
"Aakh..." ia menggigit bibirnya kembali. Terus menggerakkan pinggulnya, meski sakit berusaha memasukkan penis besar itu ke dalam tubuhnya.
Julian mendaratkan kecupan-kecupan di leher Kiel, meremas bokongnya dan membantu kekasihnya itu untuk memasukkan seluruh penisnya. Perlahan tapi pasti, gerakan pinggul Kiel meningkat, mengabaikan rasa sakit yang ada.
"Aaahh!!" rintihnya keras, lega karena penis Julian telah sepenuhnya masuk ke tubuhnya.
Lubang pantatnya berkontraksi, seperti meremas-remas pada benda asing yang memasukinya. Memberikan kenikmatan yang luar biasa, untuk yang kesekian kalinya dan lubang itu tetap sempit dan memuaskan.
"Aahh...oh..uuhh" Kiel mulai bergerak perlahan, dengan kepala tertunduk dan mencengkram pundak Julian.
Semakin lama gerakannya bertambah, desahan yang keluar dari mulutnya pun semakin basah. Hingga tubuh ramping itu bergerak naik-turun dengan cepat, mengeluar-masukan penis Julian yang basah karena precum.
"Akh...nnhhh...oh" ia terus meracau. Merasakan sensasi luar biasa di lubang dan juniornya yang bergesekkan dengan perut Julian.
Ranjang kayu yang mereka tempati tampaknya cukup kokoh di banding penampilannya, dan secepat apapun Kiel menggerakkan tubuhnya, tidak akan membuat tempat tidur yang mereka gunakan berdecit layaknya ranjang tua.
Hentakan tubuh Kiel yang berirama naik-turun menghantarkan Julian pada detik-detik puncak kenikmatannya. Ia mendorong kepala Kiel dan mencium bibirnya kembali, semakin memanaskan suasan, dan Kiel mampu menjaga ritme gerakannya.
Pria tampan itu memijat lembut junior si perak, merangsangnya agar cepat berorgasme. Lenguhan basah meluncur begitu saja tanpa di cegah, dan lagi-lagi tubuh Kiel mengejang kecil ketika dirinya tak sanggup menahan semburan hangatnya. Bersamaan dengan Julian yang memuntahkan cairan hangat di dalam lubangnya.
Kiel memeluk leher Julian erat, saat pria itu menyudahi ciuman mereka, lalu mengecup pundaknya seraya meremas bokongnya. Dan cairan lengket itupun berhenti menyembur, mengalir keluar ketika ia mengangkat tubuh ramping itu dan membuat penisnya tercabut.
Hangat, ia mendekap punggung Kiel seraya mengusap pelan rambutnya, cukup memberi kenyamanan bagi si perak yang bersandar penuh dan meletakkan kepalanya di bahu. Nafasnya terdengar teratur, tampak sangat lelah.
"Ayahmu tidak akan mengganggu kita kalau hubungan ini di resmikan" ujar Julian lembut. Kiel yang tengah memejamkan mata pun kembali membuka matanya dan menatap Julian.
"Maksutmu?" tampak sorot bingung di matanya.
"Pilihlah dari sebelas Negara, kita resmikan hubungan kita di Negara yang kamu inginkan" ucapnya, semakin membuat Kiel bingung.
Meresmikan hubungan? Itu artinya...menikah?
Kiel menatap kaget. Benarkah itu yang di maksut?. Meski cukup terkejut tampak rona senang di wajah kagetnya.
"Kita baru menjalin hubungan selama satu bulan" ujarnya, masih belum mempercayai apa yang di katakan Julian.
"Lalu?" pria tampan itu menatap tajam. Kiel menggeleng kecil, lalu kembali memeluk Julian dan menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu.
"Aku senang mendengarnya" ucapnya agak berbisik. Tak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
"Sebelum itu kamu harus ikut denganku ke Rusia"
"Kapan?" Kiel kembali menatap Julian.
"Secepatnya"
"Kamu tahu apa yang sedang ku pikirkan?" tanya Kiel, menelisik menatap wajah tampan kekasihnya. Julian tak menyahut.
"Kita harus berbenah sebelum Mama dan Richard pulang" ucapnya kemudian, membuat Julian berdecak kecil.
Yah, mereka memang harus segera membersihkan diri dan tempat tidur.
***
Malam datang menjelang, menghembuskan angin terakhir di musim panas. Cerahnya langit diatas membuat siapa saja melihatnya akan merasa senang, karena jarang sekali hamparan berwarna hitam pekat itu dihiasi taburan bintang.
Cuaca dan suasana yang sangat pas untuk mengadakan pesta Barbeque sederhana di halaman belakang rumah keluarga Wails.
Yah memang, Lily sudah merencanakan hal ini saat menyuruh Kiel untuk pulang. Lagipula pesta barbeque selalu menyenangkan, apalagi jika di adakan dengan keluarga.
Kepulan asap beraroma mulai menguar di sekitar halaman, Maria bertugas memanggang dagin, Julie menyiapkan piring di meja taman bersama Lily, sementara Julian hanya duduk sambil menikmati kopinya di bangku yang terhubung dengan meja. Sementara Kiel yang selesai menerima telepon pun bergabung dan duduk di samping Julian.
"Sana kamu bantu Maria" suruh Lily pada Julie yang membantunya melengkapi hidangan pendukung di piring. Wanita berambut cokelat itu hanya mengangguk dan beranjak ke tempat Maria memanggang daging.
"Telepon dari siapa?" tanyanya, sambil menata kentang goreng sekilas mengalihkan pandangannya pada Kiel yang duduk tepat di sebrang meja, di depannya.
"Kelly, dia akan menikah beberapa bulan lagi" jawab si perak, lalu mencomot sebuah kentang goreng dan langsung di lahapnya.
"Oya? Kapan?"
"Entah, dia hanya memberitahuku sebatas itu"
Selagi Ibu dan anak itu mengobrol ringan, Richard baru saja keluar dari rumah membawa sebuah botol wine. Pria paruh baya itu mengernyit tak suka melihat putranya dan Julian duduk berdekatan.
Dengan sengaja ia mengambil tempat duduk di tengah-tengah kedua pasangan itu dan membuat Julian harus menggeser pantatnya. Bagaimanapun juga dirinya harus mengalah.
"Sayang, masih banyak tempat kosong. Berhentilah mengganggu mereka, kamu lupa apa yang sudah kamu katakan semalam padaku?" tegur Lily, Richard mendesah kecil.
"Aku tidak lupa" ucapnya setengah hati. "Aku hanya tidak ingin melihat mereka berdekatan di depan mataku" imbuhnya.
"Relakan saja Pa, cepat atau lambat mereka akan menikah!" kata Julie nimbrung, lalu tekekeh geli. Maria hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Kiel tampak kaget, menoleh pada Julian yang tetap tenang. Apakah Julie tahu tentang hal yang mereka lakukan di kamar pagi tadi?
"Oh sayang, berhentilah menggoda Papamu" hardik Lily lembut. Tapi Richard sudah terlanjur menatap garang pada Julian.
"Benar kau akan menikahi Kiel?" tanyanya tajam.
"Itu rencananya" jawab Julian santai.
"Apa? Kalian baru berhubungan dan--kau serius dengan putraku?" tampaknya Richard sudah kehabisan kata akan jawaban mengejutkan Julian.
"Saya selalu serius mengatakan sesuatu"
Richard beralih menengok pada Kiel yang duduk diam di samping kirinya.
"Apa itu benar?" tanyanya shock. Kiel mengangguk kecil.
"Kamu lihat ini? Mereka sudah--"
"Aku tidak mau ada perdebatan lagi" potong Lily cepat. Membuat Richard terpaksa menutup mulut dengan rasa tidak terima yang meluap.
"Semalam kamu bilang akan pura-pura tidak tahu dan membiarkannya asal Kiel bahagia, bukankah hal itu bagus mereka akan menikah? Setidaknya Julian akan bertanggung jawab penuh akan Kiel" ujar Lily menjaga intonasinya tetap lembut.
"Ya benar, tapi ini menikah!"
"Aku yakin Julian tidak main-main Pa" kata Maria, yang berdiri menghadap alat pemanggang. "Biarkan mereka bertanggung jawab akan keputusan mereka" lanjutnya, mengalihkan tatapan matanya pada Kiel.
Richard memutuskan untuk diam, dan mendinginkan kepala. Memang semalam dirinya telah memutuskan untuk diam, dalam arti membiarkan hubungan putranya dan Julian, tapi mendengar kata menikah pikirannya kembali kacau.
Menikah tak semudah pengucapannya. Banyak pasangan normal diluar sana kesulitan mempertahankan rumah tangga mereka, lalu bagaimana pernikahan sejenis? Dirinya hanya tidak sanggup memikirkan hal tak menyenangkan yang nanti bisa saja menimpa putranya.
"Kalaupun Julian melakukan sesuatu yang menyakiti putraku, aku tidak akan tinggal diam" ujar Lily, menatap tegas pada Julian. Sekaligus memperingati pria bermata abu-abu itu.
"Saya tidak akan mengecewakan keluarga ini" kata Julian gentle. Lily tersenyum tipis.
"Kau ingin menikahi anakku, memang apa pekerjaanmu?" tanya Richard, dengan alis tertekuk menatap pria yang duduk di sisi kanannya.
"Julian pebisnis!" sahut Kiel cepat, sebelum pria tampan itu membuka mulut.
Bisa gawat jika Julian menjawab dirinya adalah pimpinan kelompok mafia `kan?
"Oya? Bisnis apa?" tanya Lily tertarik.
"Dia pebisnis di Rusia, dan ada beberapa di Inggris" jawab Kiel, lalu melirik pada Julian yang juga menatapnya tanpa protes.
"Orang Rusia rata-rata komunis. Bagaimana kau bisa membuatku yakin kalau Kiel bisa hidup tenang denganmu?" tanya Richard sinis.
"Kalaupun ada penjahat yang mengganggu putra anda itu berarti orang yang anda cari tepat di sebelah kanan anda Tuan" Julian terlalu tenang menanggapinya. Membuat Kiel berpikir jika kekasihnya itu tak sedikitpun memiliki rasa takut.
"Kamu dengar sayang? Julian pria yang sangat bertanggung jawab" Lily bersuara, menatap suaminya yang masih tampak gelisah. Dan tatapan lembutnya membuat Richard menghela nafas samar.
"Aku tidak peduli denganmu, yang ku tahu jika kau menyakiti Kiel, kau akan berurusan dengan ku" kata Richard memperingatkan. Lily tersenyum

Who Says? | 11


‬ Author: Otsu Kanzasky

PS: bagi yang penasaran saat Julian and Kiel di Belanda, dan apa yang terjadi ^^
***
Ada yang salah dengan hari ini. Memasuki penghujung musim panas, udara terasa kering dan lembab, tak terkecuali udara di Belanda, tepatnya di kota Rotterdam. Kota terbesar kedua di Belanda setelah Amsterdam. Disebuah stasiun kereta api kota setempat, Rotterdam Central, tampak wajah lesu Kiel yang mengawali hari liburan singkatnya di kota kelahiran sang Ayah tiri.
Langit sangat cerah diatas sana, tapi tak dapat menenangkan hati dan pikiran si perak itu. Ia seperti itu sudah berlangsung cukup lama, sejak bangun tidur di apartment, ke airport, bahkan saat sampai pun tidak ada yang dapat di lakukan Julian untuk mencerahkan wajah cantik yang di sukainya itu.
Ya, mereka memang datang berdua, seperti yang telah di katakan Julian. Barang bawaan mereka pun tak banyak, Kiel yang memakai jeans dengan aksen robek di bagian paha, kaus panjang sepinggul, menyandang ransel berukuran sedang berwarna merah. Sementara Julian tak membawa apapun kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya saat ini. Celana dengan model army yang memiliki banyak saku berwarna cokelat, polo shirt hitam yang di tumpuk jacket cokelat muda.
Helaan nafas kecil meluncur keluar dari mulut Kiel, ia menggaruk rambutnya yang terkuncir, lalu menoleh pada Julian.
"Kita naik metro atau taxi?" tanyanya menawarkan, Julian yang tengah menatap kesekitar pun menoleh.
"Terserah, aku belum pernah kemari" jawabnya.
"Kalau begitu naik taxi saja, aku juga baru pertama kali datang kesini"
Julian menepuk kepala Kiel pelan, mengerti akan kecemasan di sorot mata indah itu. Dan tak perlu berjalan jauh, tampak beberapa taxi terparkir di lobi stasiun yang siap mengantar.
Kiel memberikan secarik kertas bertuliskan alamat pada sopir taxi saat mereka telah masuk ke dalam. Dan setidaknya masih ada waktu beberapa menit untuk menenangkan hati sebelum sampai, dengan pemandangan cantik kota Rotterdam yang baru untuknya.
Pemandangan di kota ini memang sayang jika di lewatkan, udaranya juga bersih, berbeda dengan kondisi di banyak kota besar di Dunia. Itu karena masyarakat di Belanda lebih suka bersepeda, jalan kaki, dan menggunakan transportasi umum. Tak heran jika Belanda memiliki populasi kendaraan pribadi yang sangat kecil.
"Apakah kalian sedang liburan?" tanya sang sopir, cukup jelas meski terdapat pembatas antara bagian depan mobil dan kursi penumpang di belakang. Kiel yang menopang dagu menatap keluar jendela pun mengalihkan perhatiannya.
"Tidak Pak, orangtuaku tinggal disini" jawabnya, bersandar nyaman.
"Untuk yang pertama kalinya datang?" sang sopir sepertinya orang yang ramah.
"Iya"
"Kalau begitu kalian harus menjelajahi kota ini, banyak tempat bagus disini"
"Ya, itu wajib"
Liburan? Masih bisakah mereka liburan setelah sampai di rumah Richard?
Kiel kembali melemparkan pandangannya keluar jendela, saat tangan kanannya di genggam oleh Julian. Si perak itu otomatis menoleh pada kekasihnya yang juga menatap keluar.
Ia tersenyum tipis, balas menggenggam tangan Julian dan memandang keluar. Setidaknya keramahan kota dan tata ruangnya yang segar, dapat membuat suasana hatinya agak lebih baik. Belum lagi ada Julian di sampingnya.
Sekitar 20 menit, taxi yang mereka naiki memasuki kawasan perumahan asri, dimana jarak antar rumah tak terlalu dekat, dan tiap rumah memiliki halaman yang cukup luas. Dan taxi mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah bernomor 35.
Julian segera membayar biaya taxi lalu turun bersama Kiel, si perak itu tak lupa mengucapkan `Dankje'--terimakasih. Mobil putih itupun kembali merayap, dan meninggalkan Julian dan Kiel yang berdiri di pinggir jalan tepat di hadapan pagar rumah.
"Kita tidak sedang mengantri wahana rumah hantu, jangan memasang wajah seperti itu" kata Julian, tak suka sekaligus tak tenang melihat wajah Kiel yang seperti tertekan.
"Aku gugup" ucapnya, balas menatap ke dalam mata tajam Julian.
"Bukankah seharusnya aku yang gugup?"
Kiel tak menanggapi, dan kembali menatap bangunan bertingkat 2 yang sederhana di depannya. Julian pun melangkah, menarik tangan Kiel yang di genggamnya. Mereka masuk dengan mudah ke halaman rumah karena pagar tersebut tidak terkunci. Ada berbagai jenis tanaman dan bunga di halaman itu, membuat suasana menjadi sejuk dan segar.
Kiel hendak membunyikan lonceng yang tergantung di dekat pintu, saat seorang wanita paruh baya keluar dari garasi membawa sebuah pot. Wanita berambut ikal, memiliki warna mata sama seperti si perak itu.
"Kiel!" panggilnya seperti memekik.
Si perak itu menengok cepat, begitu pula dengan Julian. Ia tak sempat menatap dengan puas sosok sang ibu karena Lily lebih dulu memeluknya erat.
Kebahagiaan yang amat sangat, kerinduan akan putra bungsunya itu kini telah robati. Kiel balas memeluk sang ibu, sementara Julian hanya diam memperhatikan adegan tersebut.
"Mama pikir akan butuh waktu lebih lama untuk melihatmu" ujar Lily.
"Aku juga Ma" Kiel menyembunyikan wajahnya di pundak sang Ibu.
Tak lama pelukan itupun usai, Lily tak hentinya tersenyum menatap rupa sang putra yang tak berubah di sepanjang ingatannya.
"Maaf aku belum sempat pulang" kata Kiel penuh penyesalan.
"Mama mengerti, kamu sibuk. Bukankah sekarang kita sudah bertemu?" Lily mengusap rambut Kiel pelan. "Tidakkah kamu agak kurus sejak terakhir kali kita bertemu?" tanyanya, dengan alis bertaut menyelidik figure sempampai putranya.
"Ma, Kelly menyuruhku diet. Kurus di bagian mana?" Kiel memelas, membuat sang Ibu tetawa kecil.
"Nanti Mama akan bicara dengannya, karena bagi Mama kamu agak kurus"
Kiel hanya mengangguk kecil, menggenggam tangan Lily, mengungkapkan rasa rindunya. Wanita berusia 48 tahun itu masih tampak cantik, dan membuat Julian mengerti akan rupa indah Kiel yang mirip dengan sang Ibu.
"Jadi...siapa ini?" tanya Lily, menoleh pada Julian. Untuk sejenak Kiel terdiam, menatap pada pria tampan itu. Ada kecemasan di sorot matanya.
"Ini--"
"Saya Julian, kekasih Kiel" kata Julian elegan, suaranya yang berat terdengar tajam. Dan sepertinya memberikan kesan yang bagus untuk pertemuan pertama.
Pria gentle mana yang berani memperkenalkan dirinya sebagai kekasih pada ibu dari pria yang di cintainya?
Tak adanya kata yang di lontarkan Lily,membuat kecemasan Kiel semakin menjadi. Baik Lily maupun Julian saling menatap,dan si perak itu tak dapan mengartikannya. Namun ketakutannya itu tersingkir ketika melihat lekukan di bibir tipis sang ibu, sorot matanya pun melunak.
"Selamat datang di rumah kami" ucap Lily ramah.
"Terima kasih" balas Julian kaku.
"Aku terkesan dengan keberanianmu mengaku di depanku, dan itu awal yang bagus" ujarnya, sekilas menoleh pada Kiel yang terdiam dengan harap-harap cemas.
"Baiklah, ayo masuk. Kita bicara nanti, kalian harus istirahat dulu" Lily menarik tangan Kiel.
Julian mengikut di belakang,masuk ke dalam rumah. Semua yang ada di dalam rumah itu tergolong sederhana, ia tak henti memperhatikan ke seisi rumah, bahkan pada beberapa lukisan abstrak yang di gantung di dinding lorong kecil penghubung antara rumah bagian depan dan bagian dalam.
"Julie dan Maria ada di dapur menyiapkan makan siang kalau Richard ada di rumah kaca--ah, itu dia" Lily tersenyum melihat suami keduanya setelah William itu baru masuk melewati pintu belakang.
Seorang pria berusia 50 tahunan, masih tampan dengan jenggot tipis berusia 3 hari. Memakai baju berkebun, lengkap dengan topi, matanya yang tajam tepat menatap pada Kiel yang mendadak kaku berhadapan dengan sang Ayah.
"Baru sampai?" tanyanya, sambil melepas sarung tangan berkebunnya. Suaranya yang dalam sangat berwibawa. Cocok dengan sosoknya yang tinggi tegap.
"Iya, aku baru sampai" jawab Kiel gugup. Tatapan tajam Richard pun beralih pada Julian yang berdiri di samping Kiel.
Ada keheningan yang aneh disana. Richard tak kunjung mengatakan sesuatu, dan tatapannya terasa menusuk. Kiel cemas, meski begitu ia menyadari kemunculan kedua kakak perempuannya yang kini menatapnya dengan penuh tanda tanya, akan suasana aneh tersebut.
"Kau pria yang gagah, bagaimana bisa kau berhubungan dengan putraku?" tanya Richard, tanpa berbasa-basi menanyakan nama pria bermata abu-abu itu.
Hening. Kiel merasa udara di ruangan tersebut menipis,sementara Julian masih tetap tenang dengan wajah dinginnya yang tak bisa dirubah.
"Bukan masalah anda pria atau wanita, tapi pada apa yang anda rasakan" kata Julian tenang. Mungkin siapa saja dapat salah paham akam tatapan matanya yang tajam.
"Cukup, biarkan mereka istirahat, nanti kita baru bicara setelah makan siang" ucap Lily, tanggap akan situasi tak mengenakan itu. Terlebih dirinya mengerti kegelisahan Kiel.
"Hal seperti ini harus segera di selesaikan" Richard tampaknya tak bisa tenang akan hubungan putra bungsu tirinya.
"Sayang, mereka datang jauh-jauh dari London. Biarkan mereka istirahat dulu, nanti kita bicarakan ini" Lily berkata bijak, tegas menatap sang suami.
"Maria antar Kiel dan Julian ke kamar, dan Julie lanjutkan memasak" komandonya, mendorong pelan lengan Kiel kearah putri pertamanya itu.
Maria--wanita cantik berambut hitam ikal--mengangguk. Memandu Kiel dan Julian menaiki tangga,sementara Julie kembali ke dapur.
"Aku ingin bicara berdua" ucap Lily, setelah keadaan benar-benar sepi. Richard menarik nafas pelan, lalu mengangguk.
Istirahat yang di katakan Lily nyatanya hanya di gunakan Kiel dan Julian untuk menyimpan tas di kamar, dan duduk-duduk sejenak sebelum Julie muncul dan mengatakan sudah waktunya jam makan siang.
Alhasil semua penghuni rumah kini berkumpul di meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Meski Kiel merasa ada ketegangan antara Richard dan Julian, toh kedua kakak perempuan dan juga Ibunya mengabaikan hal itu.
Tapi sungguh, Julian tak sedikit pun tegang ataupun gugup akan tatapan tajam Richard. Pria tampan itu bersikap diam-cuek seperti biasa, tak banyak bicara saat menyantap Hutspot. Sementara Lily dan Julie berusaha membuat suasana senyaman mungkin dengan bercerita tentang lingkungan mereka.
Julie yang terpaut 1 tahun dari Maria memang di kenal sebagai pribadi yang aktif, di usianya yang ke 27 tahun, ia sudah berhasil mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang iklan. Sementara Maria di kenal sebagai pebisnis properti handal, dan karakternya berbeda terbalik dengan Julie.
Maria hanya meyahut sesekali saat Julie meminta tanggapannya, sementara Lily mulai bercerita tentang Belanda pada Julian. Bercerita seolah dirinya telah lama tinggal di Negri kincir angin ini.
Betapa rendahnya Belanda dari permukaan laut, dimana kota Rotterdam adalah titik yang paling rendah di Negara ini. Dan semegah apa Maeslantkering yang disebut-sebut sebagai bangunan bergerak terbesar di Dunia sebagai gerbang untuk melindungi kota dari air laut.
Tetap saja usaha mereka tak berhasil mengurai sedikit suasana aneh di meja makan. Bahkan sampai makan siang selesai, Kiel hanya menjawab jika kedua kakak atau Ibunya menanyakan kehidupannya di London.
"Terima kasih atas makan siangnya" kata Julian, Lily tersenyum tipis.
"Semoga cocok dengan seleramu" ucapnya.
Richard berdehem kecil, membuat Kiel menghela nafas pelan, sesekali melirik pada Julian yang tetap cuek akan keadaan tersebut.
"Sekarang berikan alasan yang tepat padaku akan hubunganmu dan putra ku" kata Richard menatap tenang namun tajam pada Julian yang duduk disisi kiri meja makan.
Kiel terdiam, tak berani menatap Richard. Sementara Lily dan kedua putrinya mulai membereskan meja makan, serta memasang teling baik-baik akan percakapan menegangkan yang akan berlangsung.
"Apa yang anda ingin dengar? Bukankah sudah cukup jelas?" Julian menyahut.
"Kalian berdua pria, apa yang kau pikirkan mencintai putraku?" tanya pria itu tak habis pikir. Julian menoleh pada Kiel yang duduk tepat di samping kirinya, memahami ketakutan yang terpancar di wajahnya.
"Sebaiknya anda juga menanyakan hal yang sama pada putra anda" ia kembali beradu tatap dengan Richard.
"Julie, Marie, singkirkan piring-piring kotornya" perintah Lily, kedua putrinya beranjak patuh.
"Sebesar apapun rasa cinta kalian, hal ini tidak di benarkan" Richard menekankan suaranya.
"Cinta tidak pernah salah Tuan, yang salah hanya pilihan apa yang seharusnya di lakukan"
"Kau tahu kalau pilihanmu salah"
"Pilihan saya tidak pernah salah Tuan, mungkin putra anda salah memilih saya"
Kiel spontan mengangkat wajahnya, menatap kaget pda Julian yang memandang lurus ke depan. Dadanya terasa agak nyeri mendengar kata-kata pria tampan itu.
"Apa maksutmu bicara seperti itu? Aku tidak pernah salah memilih, apalagi menyangkut perasaanku" tegasnya, agak kesal. Julian kembali menatap Richard.
"Anda sudah dengar. Sama sepertinya, saya tidak salah memilih" imbuhnya tenang.
"Apapun alasannya hal ini tetap salah, hubungan kalian hanya akan membawa kesengsaraan"
"Saya akan sengsara jika tidak memilihnya" sahut Julian cepat.
"Aku bahagia dengan pilihanku Dad" Kiel angkat bicara, akhirnya. Memberanikan diri menatap sang Ayah, membuat perhatian seisi ruangan kini tertuju padanya.
"Apa maksutmu dengan bahagia?" tanya Richard.
"Selama ini aku menjalani hidup yang membuatku bahagia, meski semua itu melelahkan tapi aku menikmatinya" jawab Kiel mantap.
"Omong kosong, bahagia yang kamu katakan pada akhirnya tetap berujung pada kesengsaraan"
"Aku hanya melakukan apa yang baik untukku, dan pilihanku adalah Julian. Aku bahagia dengannya" tutur Kiel lembut, namun tegas.
"Bahagia hanya diawal nak" Richard menegaskan.
"Setidaknya kami melaluinya bersama, ini hidup kami" sahut Julian.
"Aku hanya tidak ingin putraku terluka, apapun pilihan kalian"
"Kalaupun aku terluka, aku tidak akan menyesali pilihanku" Kiel tampaknya berusaha meyakinkan Ayah tirinya itu.
Richard terdiam, menatap dalam pada putranya yang menatapnya penuh keyakinan. Wajahnya yang cantik, sangat mirip dengan Lily, membuat pikirannya kacau.
Di satu sisi dirinya ingin melindungi putranya, tapi disisi lain ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang dinamakan cinta antara putranya dan pria bernama Julian.
"Kau suka padanya karena wajahnya?" tanyanya kembali. Kiel pun beralih menatap Julian.
"Salah satunya, dan banyak faktor lain yang membuat saya yakin kenapa saya memilih putra anda" jawabnya. Dan Kiel lega mendengar itu.
"Kau suka padanya karena Kiel seperti wanita"
"Kalau memang begitu saya tidak akan datang kemari bertemu anda dan melakukan percakapan ini"
"Siapa yang tahu apa yang kau pikirkan, bisa saja kau hanya memanfaatkan penampilan Kiel untuk--"
"Tunggu sebentar" potong Lily, yang sejak tadi duduk diam mendengarkan. Kiel dan Richard spontan menatap pada wanita cantik bermata biru itu.
"Kalau kamu mempermasalahkan penampilan Kiel, salahkan aku. Aku yang membesarkannya" ucapnya, membuat Maria dan Julie saling menatap. Kedua wanita muda itu masih berdiri di dekat tempat cuci piring.
"Aku tidak mempermasalahkan penampilan Kiel, hanya saja..."
"Apa yang kamu katakan, sedikit banyaknya mengarah pada penampilannya sayang"
"...baiklah ok, penampilan Kiel pasti mengubah pandangan orang padanya"
"Dia masih laki-laki" kata Lily menekankan.
"Aku tidak meragukan itu, hanya saja..."
"Dia sudah seperti ini sejak lahir"
"Aku sangat tahu, dan aku tidak menyalahkan siapapun. Setidaknya penampilannya dapat sedikit laki-laki, dan tidak membuat hal ini terjadi"
"Tidak, tidak ada yang harus di ubah, apapun itu. Tidak ada yang bisa mengubahnya, sekalipun memotong sedikit rambutnya"
"Aku mengerti. Kita tinggalkan masalah rambut dan penampilannya. Yang lebih penting kamu merestui hubungan mereka?"
Lily tak langsung menjawab, mengalihkan tatapannya pada Kiel lalu pada Julian. Memahami sorot mata mereka yang seolah mengatakan sesuatu.
"Aku menyayangi putraku, aku bahagia jika dirinya bahagia" ucapnya lembut. Menatap penuh kasih sayang pada Kiel.
Si perak terhenyak. Ada rasa lega yang timbul, setidaknya meskipun Richard menentang, Ibunya telah membuat semua ini lebih muda.
"Aku dan Julie juga" kata Maria, setelah hanya diam. Richard, Lily, dan Kiel pun menoleh, kedua wanita itu beranjak mendekat ke meja makan.
"Apa maksut kalian?" tanya Richard bingung.
"Kami berdua tidak pernah menginginkan hal ini terjadi, tapi sejak dulu kami sudah membayangkan jika hal seperti ini terjadi" Maria berdiri tepat di samping sang adik duduk, dan memegangi pundaknya.
"Aku dan Maria sadar, dan sudah bersiap jika hal ini terjadi. Kami bertemu banyak pasangan dengan orientasi seksual yang berbeda dan mereka bahagia dengan pilihan mereka" sambung Julie, lalu menoleh pada Kiel dan tersenyum tipis.
"Sayang" Lily meraih tangan Richard yang berada diatas meja, menggenggamnya. Kini pria itu menatap sang istri.
"Ini jalan yang mereka pilih, takdir mereka. Kamu tahu ada takdir yang dapat diubah, dan mereka tidak mau mengubah takdir itu karena cinta yang mereka miliki. Bukankah perasaan seperti itu suci? Apakah kita harus memaksa dan menodai perasaan tulus itu?" Lily melembutkan suaranya, menatap ke dalam mata Richard. Dan pria itu terdiam.
"Aku, Julie dan Mama memang tidak mengenal Julian. Tapi aku pribadi yakin jika dia tidak mempermainkan Kiel, bukankah begitu?" Maria menengok pada Julian yang diam.
Pria tampan itu mengangguk tanpa ragu. Dan Maria cukup puas dengan jawaban tanpa suara itu, karena diawal ia melihat Julian, dirinya tahu karakter cuek pria itu.
Richard menyandarkan punggungnya, sibuk berpikir yang membuat kepalanya terasa penuh. Tidakkah berharga jika melihat orang yang penting bagi kita bahagia?
"Aku menyayanginya, karena itu aku seperti ini. Dan aku butuh waktu untuk semua ini" ujar Richard, Lily tersenyum tipis.
Pria itupun bangkit berdiri, melangkahkan kaki beranjak dari sana, tapi tiba-tiba ia berhenti di ambang pintu dan berbalik.
"Bukan berarti aku berhenti menginterogasi kau" ucapnya tajam, pada Julian yang hanya melirik. "Malam ini Kiel tidur di kamar Julie, dan Maria harus membagi kamarnya dengan Julie. Aku tidak mau terjadi sesuatu" lanjutnya, lalu beranjak.
Atmosfer di ruang makan tersebut seketika berubah seiring menghilangnya Richard, dan untuk saat ini Kiel dapat bernafas lega. Berkat sang Ibu dan kedua kakaknya yang membuat perasaanya jadi lebih baik. Belum lagi senyuman yang kini muncul di bibir mereka, membuatnya ikut tersenyum meski singkat.
"Tidak masalah `kan kau tidur di kamar Kiel?" tanya Lily.
"Tidak" jawab Julian singkat.
Dan siang ini berlalu cukup menegangkan bagi mereka. Atau mungkin ketegangan ini akan berlanjut?
***
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Julian selesai menerima telepon dari rekan bisnisnya. Pria tampan itu terlihat agak santai dengan celana traing hitam dan kaus polos berwarna abu-abu, yang kini duduk di bibir ranjang.
Matanya kembali menatap ke seluruh kamar, seperti tak ada hal lain lagi yang dapat di lakukannya.
Kamar Kiel ini memang spesial, karena letaknya tepat di bagian atas rumah, tepat di bawah atap, yang itu berarti langit-langit kamar tersebut agak rendah. Terdapat hiasan bintang di langit-langitnya, dan hiasan itu dapat berpendar jika lampu kamar di matikan.
Tak banyak perabot istimewa disana, dan satu-satunya hal yang menarik perhatian Julian adalah sederet foto berpigura yang tertata rapi di atas meja laci kecil di samping meja komputer.
Foto keluarga dimana seorang pria tampan bersanding dengan Lily. Julian yakin jika pria di dalam foto itu adalah Ayah biologis Kiel, karena masuk akal jika Lily bersanding dengan pria itu dan menghasilkan anak-anak yang istimewa.
Dan baginya terlalu cepat untuk tidur. Ia pun meletakkan Blackberrynya ke tempat tidur dan bangkit, keluar dari kamar. Saat menutup pintu ia mendengar suara Julie dan Maria di bawah yang kemudian berlalu, dengan tanpa suara ia pun menuruni tangga kayu yang menjadi penghubung dan dapat melihat pintu kamar Julie yang hanya berjarak beberapa langkah.
Julian membuka pintu tersebut tanpa mengetuk pintu lebih dulu karena tahu siapa yang berada di dalamnya.
"Kiel?" panggilnya, melihat diantara keremangan kamar karena si perak itu telah mematikan lampu.
Kiel yang hendak naik ke tempat tidur pun urung melakukannya, dan menunggu Julian yang kini menutup pintu kembali.
"Kamarku tidak nyaman ya?" tanyanya, seraya duduk di bibir ranjang, dan Julian duduk di sampingnya.
"Atapnya terlalu rendah, seperti rumah kurcaci saja" kata pria tampan itu. Membuat Kiel tertawa pelan, akhirnya.
"Kamarku di Irland persis seperti itu, aku tidak menyangka kalau Mama khusus mendekorasi kamar untukku di rumah ini. Dan bintang di langit-langitnya itu karena cita-citaku saat kecil adalah menjadi astronot" ia terkikik kemudian.
Julian hanya diam mendengarkan. Sepertinya ia lega melihat Kiel tak lagi tertekan seperti saat pertama mereka sampai.
Berkat keremangan kamar, ia dapat melihat cukup jelas ekspresi wajah Kiel dan sinar di mata indahnya. Dan tak bisa di cegah ketika wajahnya semakin dekat dan akhirnya menempel pada bibir merah itu.
Kiel menutup matanya,hendak membalas ciuman Julian ketika pintu kamar di ketuk.
"Ini Papa, kamu sudah tidur?" suara Richard diluar membuat Kiel menjauhkan bibirnya cepat.
"Kamu harus sembunyi!" ucapnya berbisik, agak panik.
"Papa yakin kamu masih terjaga, jadi dengarkan saja" lanjut Richard. Kiel yang panik mencari tempat persembunyian untuk Julian pun seketika berhenti di tempat.
"Papa tidak bermaksut menyalahkan keadaanmu atau siapapun. Papa hanya sedikit tidak rela, daripada kedua kakakmu, Papa jarang bertemu denganmu..."
Kiel menunggu.
"Papa menyayangimu, karena itu Papa seperti ini. Papa merasa kamu sudah dicuri oleh pria itu..."
Kiel menoleh kesisi kirinya, merasakan jemarinya yang di genggam. Menatap Julian yang tengah menatapnya.
"Good night" ucap Richard. Dan terdengar suara langkah yang menjauh kemudian.
Kiel terdiam, dan tubuh itu di tarik ke dalam pelukan hangat Julian. Diantara keheningan kamar, mereka dapat mendengar suara detak jantung masing-masing.
"Sudah waktunya untuk tidur" ucap Julian, lalu melepas pelukannya.
Kiel bergerak patuh, ketika tangannya di tarik ke tempat tidur. Mereka berbaring bersama, di bawah selimut yang sama, saling menatap.
"Berjanjilah padaku kalau apapun yang terjadi kamu tidak akan meninggalkan aku" pinta Kiel, suaranya terdengar pelan.
"Apa harus aku membuat tanda di tubuhku untuk membuktikannya?" Julian menatap tajam.
"Jawab saja"
"Tidak akan, aku berjanji"
Kiel tersenyum, lalu merubah posisi tubuhnya, tidur membelakangi Julian. Pria tampan itu melingkarkan tangannya di pinggang Kiel dan menariknya mendekat, lalu mendaratkan kecupan di tengkuk lehernya.
"Good night" ucap Kiel, seraya memegangi tangan Julian yang berada di atas perutnya.
Pria tampan itupun mendaratkan kepalanya di bantal, dan berusaha untuk tidur lebih awal karena Kiel berada di pelukannya.
[to be continue]

Who Says? | 10



Author: Otsu Kanzasky
Suasana hangat dan nyaman kali ini menyelimuti apartment Kiel yang telaknya di lantai 8. Jam dinding masih menunjukkan pukul 9 malam, dan sang si perak itu tampaknya tengah kedatangan tamu istimewa.
Sosok Julian duduk di sofa tengah menonton televisi dengan tatapan tanpa minat, selagi Kiel membuat kopi di dapur. Dan tak lama rasa bosannya berkurang ketika si perak itu muncul membawa dua cangkir kopi.
"Apa yang membuatmu betah sekali di dapur?" tanyanya tak suka, ketika Kiel meletakkan cangkir di meja kaca depan sofa.
"Aku hanya beberapa menit di dapur, jangan berlebihan" ucap Kiel dan duduk di samping Julian.
"Aku tidak suka dibuat menunggu, apalagi yang melakukannya itu kamu" Julian meraih pinggang Kiel, menarik si perak itu kearahnya.
Menempatkan si cantik bermata biru itu diatas pangkuannya, lalu mendaratakan ciuman singkat di leher putihnya yang terekspos. Kedua tangannya melingkar sempurna di pinggul ramping Kiel, selagi bibirnya sibuk menjelajahi leher si perak, tangannya meremas bokong Kiel.
"Kira-kira apa yang membuat Ayahmu setuju dengan hubungan kita?" tanya Kiel, menarik kepala Julian dari lehernya.
"Siapa yang peduli? Sekalipun dia tidak suka tidak akan membuatku memikirkannya" jawab pria tampan itu sinis, seperti biasa. Meloloskan tangan halus Kiel dari kepalanya, dan menyusupkan satu tangannya dibalik kaus si perak.
"Orang Rusia cenderung cuek dan tidak suka berbasa-basi" ia menambahkan, selagi sibuk memainkan nipple Kiel yang masih tertutup kaus. Si perak itu mendesis lirih, berusaha menjauhkan kepala Julian.
"Ku pikir Ayahmu akan sangat marah, cara kalian menatap sama persis" kata Kiel, tak berhasil membuat Julian berhenti.
"Dia terlalu serius bersikap konyol" gumamnya, lidahnya sibuk memijat nipple kecil Kiel.
Si perak itu mendesah pelan, meremas rambut Julian gemas. Rasanya geli dan nikmat, terlebih tangan hangat Julian telah menyusup di balik boksernya.
Puas bermain dengan dada Kiel, di kecupnya bibir merah itu singkat, sementara tangannya bergerilnya tepat di atas area sensitif Kiel. Membuat si cantik itu memekik tertahan, wajahnya memerah, dan nafasnya terasa mulai berat ketika tangan besar Julian memijat lembut juniornya.
Dan sepertinya pria itu menikmati memperhatikan ekspresi Kiel, dengan tatapan lapar. Seolah Kiel adalah kudapan yang dapat di lahapnya kapan saja.
"Kamu selalu membuat ku lapar" bisiknya, lalu menjilat pipi Kiel.
"Aah...stop.." pinta Kiel, tak kuasa menahan rasa nikmat yang menyerang juniornya.
Meski penolakan keluar dari mulutnya, toh ia menikmati sentuhan Julian dan tak benar-benar berusaha menghentikan pria tampan itu.
Julian mendorong belakang kepala Kiel, melumat bibir kemerahannya yang menggoda, semakin membuai si perak ke dalam permainannya. Ciuman itu berangsur panas, karena Kiel tak ingin kalah begitu saja oleh lidah Julian mendominasi.
"Mmhh..." erangnya, saat lidahnya dihisap lembut.
Desahan Kiel semakin basah, selain french kiss yang memabukan itu, tangan Julian yang lain kembali meremas bokongnya. Si perak itu menggeliat ketika jari Julian menekan kepala juniornya, membuatnya menjauhkan bibirnya cepat, dan dengan bibir basah karena saliva desahannya makin menjadi. Tubuhnya setengah membungkuk, dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Julian.
"Uhn...aah..Julian..." Kiel merasa libidonya semakin meningkat, membuat tubuhnya terasa panas.
Julian mencium rambut perak Kiel, tangannya mulai basah dengan precum dan dengan sengaja ia meratakan precum Kiel di lubang si perak itu, dengan
memijatnya kecil.
Disela-sela desahannya, Kiel dapat merasakan sesuatu yang keras menyentuh badan juniornya, memaksa untuk segera di keluarkan. Ia dapat melihat dengan jelas bagian resleting celana Julian kini menjulang keatas.
Saat itulah Julian menyudahi mempermainkan bokong Kiel lalu membuka resleting celananya. Benda panjang yang cukup besar di baliknya berdiri tegak menantang, menyapa mata Kiel, membuat jantungnya berdetak semakin cepat.
"Juniorku juga harus di sentuh" bisik Julian, membimbing tangan Kiel pada juniornya.
Kiel menggigit bibir bawahnya ketika merasakan hangat di telapak tangannya, terlebih saat Julian menyuruhnya untuk menggenggam benda perkasa itu, darahnya berdesir hebat.
Tangan halus Kiel memberikan sensasi lain untuknya. Julian menikmati sekecil apapun sentuhan di juniornya, bahkan saat tangan Kiel bergerak ragu mengelus batangnya.
"Ini..besar.." lirih Kiel, disela nafasnya yang berat. Seperti tak dapat di cegah, meski malu, tangannya bergerak sendiri memijat batang besar itu.
"Duduklah di bawah, aku ingin merasakan hangatnya mulutmu" pinta Julian, meyudahi mengutak-atik di dalam bokser Kiel.
Si perak itu tak menolak. Dengan kaus dan bokser yang kusut, ia beringsut turun dari pangkuan Julian. Wajahnya masih memerah, dan detak jantungnya makin menjadi ketika berlutut disela kaki panjang Julian, menatap batangnya yang berdiri tegak.
Kiel memegangnya dengan perasaan tak karuan, perlahan tapi pasti mendekatkan wajahnya, lalu menjilat batangnya. Julian memejamkan matanya, satu tangannya mengusap rambut perak Kiel.
Si perak itu tidak tahu jika apa yang di lakukannya ini mungkin terasa menyenangkan lebih dari yang pernah di bayangkannya. Sambil memejamkan mata lidahnya sibuk melumasi batang panjang itu dengan salivanya.
Keraguan dan rasa malu-malunya hilang sudah. Kiel memasukkan benda panjang itu ke dalam mulutnya, tak sepenuhnya karena ukurannya yang panjang. Mengulumnya lembut, seperti tengah menikmati ice cream kesukaannya.
Hangat, lembab, dan nikmat. Julian menikmati kuluman itu , merasa juniornya berada di tempat yang tepat. Meski agak tak sabar karena mulut Kiel tak melahap semua batangnya.
"Ummhh..." gumam Kiel memprotes, karena tangan Julian mendorong kepalanya pelan. Membuat mulutnya semakin penuh, dan untungnya tidak membuatnya tersedak.
Hisapannya terasa lembut, tampak dada Julian mulai naik-turun agak cepat. Tapi suasana panas di ruang tamu itu itu agak terganggu karena suara dering ponsel dari kamar Kiel.
Si perak itu pun mengeluarkan batang Julian dari mulutnya lalu menyeka saliva di bibirnya dengan punggung tangan kanannya. Julian mengerutkan kening, menatap penuh protes karena Kiel berhenti mendadak.
"Ada telepon, tunggu sebentar" ujarnya sambil bangkit berdiri. Tak menghiraukan tatapan protes Julian, ia berjalan terburu-buru kearah kamar.
"Mereka bisa menelpon lagi nanti!" kata Julian kesal.
Kiel meraih iPhonenya yang bergetar diatas tempat tidur, melihat nama Mama yang muncul di layarnya.
"Ya Mom?" sapanya.
(".......")
"Apa? Kenapa mendadak?" Kiel menautkan alisnya.
(".......")
"Apa Kelly yang memberitahu?" suaranya terdengar cemas.
("......")
"Bukan begitu Mom, aku tidak merahasiakannya dari Mama. Ku pikir akan ku ceritakan kalau waktunya tepat"
("......")
"Aku mengerti, akan ku usahakan pulang ke Belanda dalam waktu dekat"
("......")
"Apa Richard juga sudah tahu?"
("......")
Kiel menggigit bibirnya kecil, jelas ada yang tidak beres saat ini. Tampak kegelisahan di sorot matanya.
"Ok, tapi aku tidak berjanji dia bisa ikut pulang denganku atau tidak"
("......")
"Mom ayolah, dia sibuk. Aku juga tidak ingin terjadi sesuatu nanti" Kiel tampak memelas.
("......")
Si perak itu menghela nafas pendek. "Akan ku bicarakan dulu dengannya, nanti akan ku hubungi. Bye"
Kiel menatap layar ponselnya. Sepertinya ada hal yang cukup serius saat ini, sampai-sampai ia tak menyadari kehadiran Julian yang baru saja masuk.
"Ada apa?" tanyanya, menangkap ada hal yang tidak beres di ekspresi Kiel. Si perak itu mengangkat wajahnya, menatap ke dalam sepasang mata abu-abu yang selalu tajam itu.
"Ayah dan Ibu ku sudah mengetahui hubungan kita, mereka ingin aku pulang untuk mendengarkan penjelasan dariku" jawab Kiel lesu.
"Lalu?"
"Mereka ingin kamu juga datang"
"Kalau begitu kita akan datang"
Kiel menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak Julian, aku takut terjadi sesuatu nanti"
"Kenapa harus takut?"
"Kamu tahu, hubungan kita...you know what i mean" Kiel menatap putus asa.
"Kamu tidak yakin padaku?" Julian menatap tajam.
"Bukan begitu..." desah Kiel.
"Aku tahu apa yang ku lakukan, katakan pada mereka aku juga akan datang" kata Julian tegas.
Kiel tahu jika apapun yang keluar dari mulut Julian akan di lakukannya. Di satu sisi dirinya senang karena pria itu tulus mencintainya, tapi disisi lain ia gelisah memikirkan apa yang nanti akan terjadi.
"Akan ku hubungi mereka nanti" ucapnya akhirnya.
Kiel meletakkan iPhonenya kembali ke tempat tidur, saat Julian mendekat dan memeluknya.
"Kamu terlalu banyak berpikir, seperti yang pernah ku katakan" ujar Julian seraya membalikkan tubuh Kiel agar menghadapnya.
Belum sempat si perak itu membuka mulutnya, Julian sudah lebih dulu menautkan bibir mereka. Menarik pinggang Kiel ke arahnya, selagi bibirnya sibuk menyesap bibir ranum Kiel, kedua tangannya masuk ke dalam bokser minion pria cantik itu, yang sudah tak terpasang rapih.
"Ngg, Julian..." Kiel mendorong bahu Julian. Ia terlihat tak nyaman.
"Ini bukan saat yang tepat" ucapnya berusaha menarik tangan Julian dari bokongnya.
"Kamu tahu aku tidak suka di abaikan" kata Julian, tetap tak menarik tangannya.
"Aku tahu, tapi--"
"Sekalipun seisi Dunia memisahkan kita, aku tidak akan pernah berhenti memperjuangkan mu" ujar Julian tegas namun lembut. Sukses membungkam Kiel dengan kehabisan kata. Pria tampan itu selalu dapat membuatnya senang dengan caranya.
Kali ini Kiel tak menolak ketika Julian kembali menciumnya. Lalu tanpa di duga pria itu mengangkat tubuhnya, membopongnya ke tempat tidur.
"Kamu harus di hukum karena meninggalkan ku begitu saja di ruang tamu" ujarnya tekesan sadis, sambil membuka kancing kemejanya. Kiel mendelik.
"Aku tidak meninggalkanmu" ia membela diri. Hendak bangkit duduk, tapi Julian sudah lebih dulu menindih kakinya.
Pria tampan itu melempar kemejanya ke sembarang arah, mempertontonkan dada bidangnya yang sanggup membuat Kiel semakin gugup. Toh tanpa ingin mencegah, Kiel menghendaki apa yang akan di lakukan Julian terhadapnya.
Tak banyak yang dapat di perbuatnya saat Julian menarik kausnya dan mengikat kedua tangannya diatas kepala.
"Apa-apa`an ini? Lepaskan tangan ku" protes Kiel, bergerak-gerak gelisah. Tapi ia tak menemukan celah ikatan tangannya.
Julian tak bergeming, kembali ia membebaskan batangnya yang tak sepenuhnya tertidur. Kiel membelalakan mata melihat pemandangan itu, wajahnya kembali terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat. Membayangkan seperti apa kekasihnya itu akan menghukumnya.
"Julian ku mohon lepaskan tangan ku" rengek Kiel memelas. Julian membungkuk, mengeliminasi jarak wajah mereka.
"Besok jadwalmu kosong sehari penuh, bukankah pas jika bangun siang? Karena kita akan terjaga malam ini" ucapnya dengan suara rendah. Meremangkan bulu halus Kiel, dan tenggorokannya mendadak kering.
Seperti yang ia tahu, jika Julian tak pernah main-main dengan apa yang di ucapkannya.
........... To be continued............

Who Says? | 9


Author: Otsu Kanzasky
ps: seperti biasa(males ngetik), kkk
***
Suasana di arena tembak siang ini terasa lenggang seperti biasa. Tampak beberapa orang bertubuh tegap berdiri di depan sasaran yang jaraknya 7 meter di depan, mengarahkan mulut revolver ke sasaran, lengkap dengan headset untuk melindungi telinga mereka dari suara desing peluru.
Tentu hanya orang-orang tertentu yang mengunjungi tempat sererti ini, orang-orang yang kehidupannya tak jauh dari kata bahaya dan pistol. Termasuk Julian Adrik yang kini menggunakan salah satu arena, membidik sasaran di balik revolvernya, dengan sekali tekan timah panas di tembakan dan tepat mengenai tengah sasaran.
Wajah tampannya yang dingin itu tetap tidak bereaksi, sorot matanya terasa sangat menusuk mengamati lubang kecil yang di hasilkan peluru revolvernya. Sungguh, diantara semua pria yang ada disana, sosoknya sangat keren menggenggam pistol dengan stelan serba hitam.
Tapi saat ia hendak mengisi ulang pistolnya, sebuah gerakan kecil di sisi kanannya membuatnya mengurungkan niat kembali menekan pelatuk dan menoleh pada Martin yang mendekat membawa ponsel.
Pria bermata abu-abu itupun menyerahkan pistolnya pada pengawalnya itu dan menerima telepon yang di tujukan padanya. Well, dirinya memang tak pernah mengenakkan headset selama ini.
"Sudah sampai? Tahan dia sampai aku datang" ujarnya tegas pada orang di sebrang line.
Tanpa mematikan panggilan tersebut ia menyerahkan ponsel tersebut pada Martin dan mengambil kembali revolvernya. Sang pengawal pun kembali ke tempatnya saat Julian kembali menembak pada sasaran yang telah di ganti.
Bunyi desing peluru itu tepat saat sosok Kiel yang masih bermake up muncul dengan wajah kesal dan seorang pengawal di belakangnya.
"Apa bodyguardmu tidak di ajarkan cara bersopan santun?" semprotnya garang meluncur dari bibir merahnya. Menatap sinis pada para pria berbaju hitam yang setia berdiri menunggu sang Tuan.
Pria cantik bermata biru itu tampak agak sedikit berantakan, jacket abu-abunya tampak sedikit miring. Dan make up yang membingkai wajah cantiknya menegaskan jika sebelum datang kemari ia sedang bekerja.
Julian menurunkan pistolnya dan menoleh pada kekasihnya yang saat ini membutuhkan alasan tepat darinya. Ia meletakkan pistol itu pada tangan Keith yang menengadah--siap membawa--dan menghampiri Kiel yang tetap dengan kerutan di keningnya.
"Apa maksudmu menyuruh mereka membawa ku kemari? Apa kamu tahu tadi aku akan ada pemotretan?" ia menyemprot lagi. Dan Julian menanggapi dengan tenangnya, menyentuh rambut perak Kiel, mengambil sebuah jepit kecil yang tersangkut disana.
"Demi Tuhan Julian, jangan selalu bertindak sesuka hatimu. Kalau sudah seperti ini apa yang harus ak--"
Julian membungkam bibir merah Kiel dengan bibirnya cepat. Membuat si perak itu membelalakan matanya kaget, lalu mendorong dada Julian cepat. Dengan pipi merona menutupi bibirnya, tatapan matanya menyiratkan protes.
"Pemotretan itu sudah ku bereskan, jangan pikirkan itu. Sekarang kita harus ke bandara" ujar Julian, lalu mengusap bibirnya yang terasa buah cherry karena lipbalm yang memoles bibir Kiel.
"Apa urusannya denganku sampai kamu menculikku kemari?" rupanya kekesalan si perak belum reda.
"Ayah ku datang siang ini dan ingin bertemu denganmu" jawab Julian. Kiel yang tetap kesal akan penjelasan Julian itu sedetik kemudian menatap kaget.
"Ayahmu datang?" ulangnya tak percaya.
"Ya"
"Dan ingin bertemu dengan ku?" Kiel menunjuk dadanya.
"Ya"
Kini wajah cantik itu berubah horror, apa Julian sedang mempermainkannya?
"Bagaimana bisa?" tanyanya tak percaya, tepat ketika Julian menautkan tangan mereka. Menggandengnya keluar dari area tembak.
"Berterima kasihlah pada Vanessa yang terlalu banyak bicara" ujarnya memandang lurus ke depan.
Kiel terlalu kaget, rasanya mungkin seperti saat pertama kali memasuki ruang sidang untuk mempertanggung jawabkan skripsi. Apa yang harus di katakannya nanti? Kenapa Ayah Julian ingin bertemu dengannya?
Kiel merasa cupid bernyanyi ribut diatas kepalanya, membuatnya tak tahu harus berpikir apa. Bahkan saat dirinya dan Julian
telah berada di dalam mobil sedan hitam. Pria tampan itu pun mulai menyalakan mesin.
"T-tapi aku berantakan! Bagaimana kalau Ayahmu menganggap ku aneh?" Kiel kini tampak agak panik. Julian mengambil selembar tisu yang ada di bagian tengah kursi dan menyodorkannya pada Kiel.
"Bersihkan make up mu" ucapnya kalem. Kiel mengambil tisu itu dengan wajah pasrah.
"Tapi bagaimana kalau--"
"Simpan suaramu untuk nanti, tenang saja dia tidak akan melakukan apapun padamu" potong Julian, sejenak menoleh pada si perak yang tengah menghapus make up dengan gelisah.
Oh Tuhan, cerita apa lagi kali ini? Setelah menjalin cinta dengan si trouble maker, sekarang dirinya harus menemui raja trouble maker? Yang benar saja!
...
Suasana bandara memang tidak pernah sepi barang sedetik pun, setiap ada yang datang pasti ada yang pergi. Namun keramaian disana tak membuat Kiel merasa lebih baik.
Ia dan Julian baru saja sampai dan kini menuju tempat yang sudah di janjikan. Meski beberapa pasang mata sibuk mengawasi kedua orang itu
yang bergandengan tangan, tapi detik ini Kiel tak mempermasalahkan tatapan-tatapan yang terkadang membuatnya malu itu. Karena kini kepalanya di penuhi akan hal yang membuatnya takut dan gugup.
Pernah merasakan untuk pertama kalinya bertemu dengan calon mertua? Itu yang saat ini di rasakan Kiel, gugup, bingung, dan sedikit panik. Apa yang sekiranya nanti di katakan Ayah Julian tentangnya? Tentan hubungan `aneh' mereka? Dan tentang semuanya.
Kiel sadar betul jika hal ini sangat membingungkan, bukan hanya karena dirinya juga laki-laki. Dan meskipun Julian tahu jika kekasihnya kini sedikit tertekan, ia tetap saja tampak acuh.
Pria tampan itu mendadak menghentikan langkahnya dan nyaris membuat Kiel menabrak punggungnya. Julian menatap lurus ke depan, pada seorang pria tinggi bertubuh tegap yang memakai kemeja putih yang baru saja keluar dari ruang transit.
"Kenapa berhenti?" tanya Kiel bingung, dan ikut menatap kearah yang sama.
Pria paruh baya berumur sekitar 50 tahun, rambutnya ditata rapi, tubuhnya tegap, wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas, meski tampak kerutan yang menyatakan usianya kini. Dan sorot matanya yang seolah ingin membunuh itu menyadarkan Kiel jika sosok pria itu sama dengan Julian.
Detak jantungnya meningkat, Kiel merasa tubuhnya panas-dingin, terlebih saat pria itu telah berdiri berhadapan dengan Julian. Rasanya ia ingin menghilang saja dari tempat ini.
"Kakuyu tsel' vy syuda prishli?"(Apa tujuanmu datang kemari?) tanya Julian, tak sedikitpun mengurangi keangkuhan di suaranya. Dan Kiel merasa jika atmosfer yang tercipta tak baik untuk ketenangan batinnya.
"Zachem mne nuzhen povod, chtoby priyekhat' syuda?"(Kenapa aku harus butuh alasan untuk datang kemari?) balas pria itu tajam.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Julian, dan pria paruh baya itupun mengalihkan objek pandangannya pada Kiel yang membisu di samping kanan Julian.
Kiel berusaha tersenyum meski kenyataannya senyumnya itu terlihat sangat kaku, rasanya sangat gugup di pandang setajam itu oleh Ayah kekasihnya. Dan tatapan itu seolah mengintimidasi kehadirannya.
"Selamat datang di London, saya Kiel" ucapnya gugup, kembali tersenyum kering. Tapi pria itu tetap tak bergeming.
Beliau mengatakan sesuatu pada pria muda yang berdiri di belakangnya, lalu berjalan melewati Julian. Sukses membuat Kiel menghela nafas lesu, saat Julian menarik tangannya kembali berjalan.
"Sepertinya Ayahmu tidak suka padaku" ucapnya lesu, mengimbangi langkah Julian. Pria tampan itu menoleh.
"Siapa yang peduli? Kamu sudah menjadi milik ku" ujarnya. Sedikitnya mampu membuat wajah Kiel memerah.
Si perak itu tak lagi banyak bertanya saat mereka telah berada di dalam mobil, dan Julian mengemudikan mobil tepat di belakang mobil dimana sang Ayah naik. Rupanya pria paruh baya itu hanya ingin mengisi perutnya yang kosong, karena mobil tersebut berhenti tepat disebuah restoran yang tak jauh dari bandara.
Lagipula sudah memasuki jam makan siang, pantaslah jika beliau singgah sejenak. Vladimir--Ayah Julian, memilih meja dengan 4 kursi, tanpa berbasa-basi memanggil pelayan saat putranya dan Kiel baru saja duduk.
Tampak sekali jika si perak itu tak nyaman dengan suasana yang ada, terlebih dinginnya tatapan Vladimir yang terasa menusuk sampai ke jantungnya. Sepertinya pria itu benar-benar tak menyukainya.
2 orang pelayan datang membawa pesanan, masakan Italia yang cukup menggugah selera. Namun tetap saja Kiel tak terlalu berminat menyantap makanannya karena keheningan yang kaku di meja tersebut. Dan dirinya terlalu takut untuk memulai percakapan.
"Dia yang di katakan Vanessa?" suara berat Vladimir memecah kekakuan di meja tersebut. Matanya yang tajam menatap lekat pada Kiel yang mendadak tercekat.
Julian mengunyah makanannya santai. "Dia sudah terlalu banyak bicara" ucapnya, dan kembali melahap makanannya.
"Aku tidak akan tahu tentang hal ini kalau Vanessa tidak bercerita"
"Lalu apa? Apa berpengaruh padamu?"
Ayah dan anak itu saling menatap tajam, membuat Kiel semakin tak berminat dengan makan siangnya. Ada rasa tak enak hati melihat kedua pria beda
generasi itu.
"Ah, aku ke toilet sebentar. Permisi" ucapnya sopan, agak takut-takut melirik Vladimir dan Julian.
Karena keduanya tak menyahut, ia pun bangkit berdiri dan beranjak menjauh dari meja. Dengan langkah lebar menuju toilet restoran. Setelah sosok Kiel tak lagi terlihat, Vladimir menghela nafas kecil lalu menegak minumnya.
"Kau disini, aku juga mau ke toilet" ujarnya elegan, berdiri dari kursinya.
"Berhentilah bersikap konyol" cemooh Julian. Tapi sepertinya tidak di `dengar' oleh sang Ayah.
Pria paruh baya itu berjalan mantap diarah yang tadi di lewati Kiel, menuju toilet khusus pria yang bersebelahan dengan toilet wanita. Ia baru saja menutup pintu toilet dan berbalik hendak menuju urinoir, namun terhenti ketika melihat Kiel yang berdiri di depan wastafel. Seketika kerutan dalam menghiasi keningnya.
"Sedang apa kau disini?" tanyanya curiga. Kiel menoleh cepat--kaget, dan buru-buru mengeringkan tangannya.
"Ini toilet pria, apa kau tidak lihat?" Vladimir berjalan mendekat.
"Saya tahu, karena itu saya masuk" jawab Kiel gugup.
Vladimir menyipitkan mata, menatap si perak itu dari atas ke bawah. Apa dirinya tidak salah dengar? Kenapa kekasih putranya itu malah masuk ke toilet pria?
"Apa maksutmu?" tanyanya bingung. Kiel meremas-remas tangannya, tak tahu harus menjawab apa.
"Saya...saya laki-laki Pak" ujarnya akhirnya. Vladimir menaikkan satu alisnya.
"Kau sedang bercanda denganku?"
"Tidak, tentu saja tidak. Saya memang laki-laki" kata Kiel cepat. Vladimir semakin menyipitkan matanya.
Ia berangsur mendekat dan memegang dada Kiel. Matanya seketika melebar merasakan dadanya yang datar, kini ia bingung. Dan tiba-tiba tangan besar itu mendarat di bokong Kiel, membuat si perak itu berjingkat kecil.
"Kau benar-benar pria?" tanya Vladimir kaget, tatapan matanya agak mengerikan. Kiel hanya mengangguk pelan.
Habislah sudah dirinya, pikir si perak pasrah.
Sementara Julian yang menunggu di meja, mulai bosan karena baik Kiel dan Ayahnya tak juga muncul. Wajah tampannya mulai tertekuk tak suka, dan
memutuskan untuk ke toilet menyusul kedua orang itu. Tepat saat ia membuka pintu toilet pria, suara tawa khas menyambutnya.
"Vanessa benar ternyata, ku pikir anak itu sedang melucu di depanku" kata Vladimir, tertawa kecil.
Julian pun masuk tak lupa menutup pintu, menatap Kiel yang kini tersenyum padanya dengan wajah memerah. Well, memang ada yang aneh. Apa yang membuat Ayahnya tertawa?
"Maaf sudah membuat anda salah paham" ucap Kiel, Vladimir hanya menepuk pundaknya pelan.
"Siapapun yang melihatmu pasti salah paham, apa kau operasi?" pria itu kembali mengamati Kiel. Namun yang terpenting cara bicara dan ekspresi wajahnya kini lebih bersahabat, tidak seperti beberapa menit yang lalu.
"Tidak, sejak kecil saya sudah seperti ini" jawab Kiel.
"Apa ada lagi yang sepertimu?"
"Tentu, tapi hanya segelintir"
Vladimir mengusap dagunya dan mengangguk-angguk kecil, lalu melemparkan pandangannya pada Julian yang memperhatikan mereka.
"Aku tidak tahu kalau kau suka yang seperti ini" ujarnya serius. Kiel ikut menatap Julian.
"Dia cantik walaupun laki-laki, sesuatu yang baru bukan?"
"......" Julian tak bergeming.
"Yang terpenting dia tidak bisa hamil walau kau menusuknya berkali-kali" celetuk Vladimir yang sukses membuat wajah Kiel menjadi merah padam.
"Sudah, ayo kita kembali" ajaknya, melangkahkan kaki kearah pintu.
Kiel menghela nafas panjang, menatap lega pada Julian yang berdiri di dekat pintu toilet. Ia menghampiri pria tampan itu dan memeluk pinggangnya.
"Ku pikir Ayahmu akan marah besar saat tahu aku ini laki-laki" ujarnya, suaranya agak teredam oleh bahu Julian.
"Apapun yang di katakannya jangan di pikirkan, orang itu dan Vanessa sama-sama tidak beres" kata Julian, balas memeluk Kiel. Si perak pun mengangkat wajahnya.
"Tapi kenapa Ayahmu terlihat tidak masalah dengan hal ini?" tanyanya, sorot matanya menunjukan kebingungan.
"Bukankah pria wanita sama saja? Kenapa harus di permasalahkan kalau semua itu di dasari oleh perasaan khusus?" Julian menundukkan kepalanya, mengecup bibir merah Kiel.
Hanya ciuman singkat, namun terasa spesial bagi Kiel. Mereka segera kembali ke meja tempat makan siang mereka, sambil bergandengan tangan.
"Apapun nanti yang dia katakan atau tanyakan, jangan terlalu di pikirkan" kata Julian, Kiel mengangguk kecil.
"Aku akan belajar cepat tentang sikap cool kalian" ujarnya bersemangat.
Julian kadang tak mengerti apa yang ada di dalam kepala si perak tercintanya itu. Cool? Padahal sampai detik ini dirinya tak terhitung sudah membuat marah atau kesal orang lain karena sifatnya. Dan si perak itu malah menganggapnya cool, entahlah.
............... To be continued...........