By. Dewa Sa
#Choi
Like dan Komentnya yah kawan..
“Semua terjadi begitu saja hingga berakhir dengan cepat bak peluru yang melesat menembus jantung”
Aku menyesap sedikit demi sedikit es susu coklat yang lama kelamaan mulai mencair. ‘Gelasnya berkeringat’ itu pikirku. Aku juga membiarkan tiap tetesan keringatnya menuruni permukaan luar gelas dan akhirnya menggenang mengelilingi bagian dasar gelas.
Aku terus mengaduknya meski aku tahu rasanya tak akan berubah seperti dahulu. Manis, dingin yang mengagetkan syaraf, sedikit rangkulan dibahu kecil milikmu, dan tak lupa ditambah nikmatnya mengusap lembut kepalamu.
Aku rasa aku akan segera menyesalinya. Bukan. Tapi aku sedang menyesalinya.
***
Danny Genta Dewandaru. Itulah namaku. Pandai di semua bidang kecuali olahraga. Tak masuk akal jika seorang kapten basket tak pandai berolahraga. Aku tidak hebat, sungguh. Kapten bukanlah seseorang yang paling jago dalam melakukan berbagai tehnik. Tapi justru akulah yang paling lemah dalam team basket. Karena aku hanya mengerti jika aku harus memasukkan bolanya ke-ring sebanyak mungkin. Dan juga karena akulah yang paling banyak membutuhkan bantuan seluruh anggota team. Mengapa? Kau tak akan jadi pemimpin jika kau tak punya seorangpun untuk kau pimpin kan? Nah, sekarang kau mengerti.
Hidup dalam keluarga yang berkecukupan dan memberiku cukup kasih sayang membuatku selalu merasa bersyukur atas keadaanku. Dimanja dan disayang oleh kedua orangtua dan kedua kakak perempuanku membuatku sedikit manja. Tapi jujur, aku orang yang mandiri. Sebisa mungkin aku tidak bergantung kepada mereka. Cukuplah uang jajan saja aku bergantung kepada mereka.
Pacar? Tentu, aku punya. Cantik? Pasti. Namanya Selena Heidy Ramlan. Teman satu sekolahku. Dia adalah salah satu pengisi suara Sophran pada Paduan Suara sekolah kami. Sementara aku menempati posisi sebagai salah satu penyanyi Bass dalam Paduan Suara tersebut. Intinya, kami bertemu karena kami memiliki minat yang sama.
Hubunganku dengan Heidy berjalan baik baik saja. Dalam konteks arti baik baik saja adalah “benar benar baik baik saja” tak ada kecamuk yang menggetarkan hati ketika aku bersamanya, tak ada perasaan takut akan kehilangan dia, tak ada perasaan cinta sedikit saja. Sebenarnya aku menjalaninya karena aku harus menjaga perasaannya. Karena pada dasarnya akulah yang memintanya untuk menjadi kekasihku. Aku bosan, tapi tak ada yang bisa aku lakukan karena ia selalu berkata jika ia teramat menyayangiku. Oh iya, seluruh keluargaku sudah mengenalnya.
***
Seketika suara Bi Mimin menggugah diriku dari lamunan akan kenanganku dahulu.
“Mas Genta, mbok yo udahan itu minum es-nya. Nanti batuk, kan bi Mimin juga yang repot” ucapnya sembari memunguti tiga gelas kosong lain yang sudah ku sedot habis isinya.
“iya bi, ini juga mau langsung berangkat kuliah. Jangan lupa kunci pintu ya bi. Oh iya, kalo ada orang asing, jangan dibukain pintu. Biar aja diluar kepanasan”
Bi mimin terkekeh mendengar celotehku. Oh iya, aku sekarang tinggal bersama nenekku di kota kelahiranku. Kota Jogjakarta. Aku lari dari masalah yang sebelumnya pernah aku buat. Ciuman liar itu.
Aku bergegas dan sebisa mungkin berusaha agar tidak terlambat dalam penutupan acara OSPEK yang melelahkan itu. Menjadi mahasiswa baru membuatku terpaksa mengikuti seluruh kegiatan yang tak aku sukai. ‘Baru satu bulan menjadi mahasiswa baru’ pikirku maklum.
Jogja berbeda sekali dengan Jakarta, kota yang menjadi saksi tumbuh kembangku hingga aku beranjak dewasa ini. Meskipun telah menjadi destinasi wisata semenjak berpuluh puluh tahun lalu, Jogja terasa ramai sekaligus terasa tentram. Entah apa yang membuatnya istimewa.
***
Ia perempuan yang lembut, tutur katanya hingga semua gerak gerik yang ia lakukan. Rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda karena ia tak mau melanggar peraturan sekolah dan mata teduh yang mampu mengayomi semua kekanak kanakkanku.
Banyak hal yang tidak aku ketahui. Salah satunya adalah berpindahnya haluanku terhadap Heidy, aku yang semula tak merasa harus menyingkir kini aku sudah berani mengecewakannya. Mengecewakan harapan harapan kecilnya yang sudah ia tanam dan siram setiap hari karena aku sudah tidak lagi bersamanya.
Arsenio Lintang Wijayandaru. Laki laki yang memastikan aku (sebagai laki laki lain) yang jatuh padanya dan berharap hanya dialah satu satunya orang yang mampu menangkapku. Aku bahkan tak mengerti mengapa dan bagaimana bisa lelaki cupu seperti dia berhasil membuatku berpindah haluan hingga 360° besarnya.
Ia pencinta manga dan anime yang tak terlihat fanatik dari tampilan luarnya. Saat aku didaulat agar menjadi teman barunya aku sempat ragu dan pupus harapan karena ia begitu tertutup hingga ia menciptakan batasan batasan tak kasat mata dengan dunia luarnya. Tapi, apa boleh buat? Untuk teman seperjuangan dan juga untuk keutuhan kelas XI-IPA-6 ku tercinta.
Rasa itu tak muncul seketika itu juga. Tepatnya saat aku berusaha mencintai anime dan manga seperti dirinya. Aku tak ingin jika pekerjaanku ini setengah setengah, maksudku ‘mengapa aku tidak berteman sungguhan dengan dirinya?’ maka dari itu aku mulai belajar mengerti dunia yang membuatnya tertarik. Tapi justru akulah yang malah tersedot kedalam dunia lain miliknya.
Ia merekomendasikan anime Guilty Crown. Anime yang aku rasa sangat ia sukai. Pada awalnya, aku hanya menganggap remeh anime tersebut. Bercerita tentang ahh sudahlah aku tak pandai bercerita. Intinya, persahabatan, cinta, pengorbanan, keserakahan, dan ketulusan hati. Bahkan aku hendak menitihkan airmata saat menontonnya. Yang membuatnya semakin menyayat nyayat hati adalah jika kau mendalami animenya kau akan merasa bahwa semua lirik lagunya ditulis langsung oleh sang tokoh utama yang merasakan semua penderitaan dan cinta.
Aku rasa aku mulai tertarik dengan Io ketika aku mulai mendalami seberapa dalam anime yang sangat ia sukai.
Semenjak saat itu hubunganku dengan Heidy mulai merenggang, hingga akhirnya Heidy menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi denganku. Sehari sebelum laga final futsal antar kelas, aku mendapati Heidy sedang menangis di pelukan mama. Ia tersedu saat melihatku, tatapannya nanar, tapi aku masih bisa melihat serpihan sisa ketegaran yang aku pecahkan berkeping keping itu. Aku menangkap tatapan mama yang menaruh iba dengan Heidy dan menaruh kecurigaan terhadapku.
Aku tak ambil pusing atas hal itu, aku langsung naik kekamar lalu menekan beberapa nomor yang sengaja aku hafal dan sengaja tak aku simpan. Nada dering berbunyi sekali, duakali, tigakali, dan ‘halo Dan, kenapa?’
‘halo, Io? gua udah hafal lirik sekaligus chord lagunya,’ ucapku
‘lagu apa?’
‘My Dearest, jujur ya gua awalnya emang ga ngerti itu apa, tapi untung gua pinter. Haha, gua pake lyrics translate. Hhahahahah’ jawabku
‘hmm… ya udah nyanyi gih,, pake gitar ya.’ Pintanya.
‘oke, bentar ya..’
Aku menyanyikannya, untuknya. Dari hatiku yang terdalam, untuknya. Tak terbesit sedikitpun aku akan perasaan Heidy. Itulah sisi kekanakkanku. Tidak, bukan, aku hanya ingin hidup dengan kejujuran dan apa adanya. Seperti sekarang ini.
Selesai.
‘….’
‘Io, lu kaga dengerin gua ya?’ jawabku pelan.
‘hmm?’
‘kok hmm??’
‘eh iya maaf dengerin kok, maaf Dan.’ Jawabnya diiringi suara nasalnya yang menyerot ingus ingusnya.
‘hahha lu nagis ya??’ jawabku riang. Aku sudah berhasil menyanyikannya untuk dia, untuk Arsenio-ku, untuk Io-ku.
Setelah itu, obrolan kami berlanjut hingga aku tak sadar mama sudah menunggu diluar kamar. Mama bertanya sebenarnya apa yang telah terjadi dengan ku dan Heidy. Aku menjawab seadanya sementara mama terus menyodorkan bukti bukti yang dituduhkan Heidy. Aku bisa mengelak, aku pandai berbohong. Tapi tiba tiba mama menyodorkan sebuah foto.
‘siapa itu?’
‘temen ma’
‘kok mesra?’ deg..
‘…’
‘hmm..?’
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan sedikit menutupi fakta tentang perasaanku. Untung saja mama mau mengerti dan menganggap semua yang dituduhkan oleh Heidy adalah sebuah kesalahan. Bahwa aku adalah seorang yang menyukai sesamanya.
***
Aku semakin kencang memacu Jazz merahku, aku tahu sekitar sepuluh menit lagi aku akan terlambat. Dan saat itu aku baru saja keluar dari gerbang komplek perumahan milik nenek.
Tak lucu jika ketua grup seperti aku ini malah terlambat. Bisa jadi apa teman temanku yang lain? Hahah aku tepiskan perasaan resah yang mulai menggelendoti hatiku. Memikirkan waktu yang sudah terbuang, setahun yang aku buang demi menghindar dari kenyataan.
Mungkin sekarang ini aku malah menjadi adik tingkatnya Io.
***
Aku juga teringat akan malam itu. Malam dimana Heidy memintaku untuk menemuinya di tempat makan seperti biasa. Restoran Jepang seperti yang ia pinta tak jauh dari rumahku, aku langsung melesat karena aku tak tega mendengar Heidy menangis tersedu sedu.
‘kenapa kamu lebih milih Arsen?’ tuntutnya.
‘…’
‘Dan, aku bukan cewek goblok dan. Aku bisa tau mana yang namanya temen, mana yang namanya cinta Dan, kamu suka kan sama Arsen? Ha’
Aku tak bisa menjawab apa apa, semua yang ia tuduhkan sudah jelas terbukti dan aku tak bisa mengelaknya. Aku terdiam. Tak kuasa aku memandangi mata sembabnya, aku malah memalingkan pandangan kearah lain.
‘Dan, plis.. jujur sama aku. Aku kurang apa dan? Kurang apa sampe kamu tega punya perasaan itu sama Arsen?’
‘iya, itu semua bener.’
‘tapi..’ saat Heidy hendak memotong omonganku, lekas saja aku menghentikannya.
‘Stop, plis, jangan potong dulu. Ya..’
Ia menunduk, malu aku rasa.
‘Iya itu semua bener, maaf ya Dy. Masalah kamu kurang apa, kamu sempurna banget di, kamu berani, kamu pinter, kamu cantik Dy. Tapi jujur, dari awal aku juga memang ga srek sama kamu, aku ngerasa hubungan kita itu selalu baik baik aja karena kesempurnaanmu itu Dy. Tapi justru itulah yang ngebuat aku bosan. Coba kamu di posisi aku Dy, cinta ga tau mau nempel siapa aja’
Ia menangis semakin jadi dan pelupuknya kini sudah dibanjiri airmata lagi. Kini aku menggenggam tangannya.
‘Dy, aku suka mata kamu. Mata kamu itu sayu, teduh, tapi penuh kekuatan Dy. Mata itu yang selalu nenangin aku Dy. Aku jujur, maaf Dy. Tapi mata Arsen, teduh seperti mata kamu, sayu seperti mata kamu, tidak jauh lebih indah Dy. Tapi yang membuat perasaan ini muncul adalah, ketika matanya itu selalu kehilangan semangat Dy, mata yang menyorotkan kelemahan. Mata yang selalu meminta dilindungi. Aku sayang dia karena dia lemah.’
Tangisannya tersendat sendat karena ia mulai terbatuk. Napasnya juga tersengal sengal. Aku genggam tangannya lebih kuat, seketika itu ia mengondak menatapku.
‘Dy, liat mata aku Dy. Mata aku kaya matanya Arsen. Aku lemah, pengen dilindungi Dy. Bukan masalah kamu ga bisa lindungin aku, tapi aku tahu rasanya jadi Arsen. Maaf ya di aku ga tau harus bilang gimana lagi, kamu ngertiin aku ya.’
Ia mengangguk pelan seraya menahan isaknya dan menghapus air matanya sendiri. Aku tepis dengan lembut tangannya itu. ‘biar aku aja Dy’
Aku usap pelan airmata yang mulai menuruni mulusnya pipi Heidy. ‘Maafin aku ya Dy, dan masalah mama. Aku harap kamu ga ungkit itu lagi. Aku percaya kamu Dy. Maaf ya.’
‘Iya Dann, aku sayang kamu. Kalo kamu berubah pikiran, kamu tau bakal pulang kesiapa ya? Maafin aku masalah mama, dan jangan sampai kamu kecewain Arsen ya. Titip Arsen.’
‘Iya, aku anter pulang ya’
.Setelah masalah itu selesai, Heidy tidak pernah menghubungiku lagi, ia seperti menghilang dari hidupku.
Aku memilih Arsen, akan aku jaga dia dengan sepenuh hati. Akan aku sayangi dia layaknya tulang rusukku sendiri. Semoga aku tidak menyesal.
***
Beberapa bulan setelahnya, aku memutuskan untuk mengambil Student Exchange ke Australia setelah skandalku diketahui mama. Mama berjanji tidak akan memberitahukan hal itu kepada siapapun termasuk papa asal aku mau menjau dari Arsen. Semua sudah aku lakukan.
Aku bahkan tega menyakiti hati Arsen, aku menghinanya, aku tak menepati janjiku terhadap dirinya. Aku harus melakukannya agar ia terbiasa dengan semua ini. Aku tahu ia terluka, sama halnya dengan diriku. Hatiku teriris iris karenanya.
Aku pergi secara diam diam dari dirinya. Aku seperti menghilang. Banyak sekali pesan yang aku dapat dari dirinya. Facebook dan Twitter. Kesemuanya menanyakan dimanakah aku berada. Setiap harinya ia mengirimi aku pesan namun tak ada satupun yang aku balas. Hingga pada suatu hari ia berhenti mengirimnya. Mungkin ia lelah.
**
Satu tahun bukan waktu yang lama, aku kembali ke Jakarta setelah masa pertukaranku habis. Aku harus menyelesaikan studiku di Indonesia yang tertunda karena aku mengikuti Student Exchage itu, sehingga aku diharuskan kembali ke kelas yang aku tinggalkan. Kelas XII.
***
Disinilah aku sekarang. Tergesa gesa sembari membawa perlengkapan OSPEKku dari parkiran hingga kelapangan. Sesekali aku terengah engah dan memikirkan hal yang sama dan berulang ulang. ‘UGM gede buangeeeeet, ahhaha’
Aku melihat teman teman sekelompokku sedang dihukum ditengah panasnya lapangan UGM. Sesegera mungkin aku bergabung dengan mereka.
‘Kak, izin bicara. Semua ini salah saya, jadi biar saya saja yang dihukum.’ Ucapku penuh percaya diri.
‘siapa yang nyuruh kamu …………’ yah kakak kakak itu terus mengomel kepadaku dan berkeras jika seluruh anggotaku juga harus mendapatkan hukuman atas kesalahan pemimpinnya.
Dan intinya adalah seluruh peserta OSPEK digojlok habis habisan. Dan, oh ya khusus untuk peserta OSPEK yang melanggar peraturan hari ini mereka akan mendapat keberuntungan dengan dipertemukannya mereka dengan para dewan OSPEK yang dianggap maha pentingnya. Ah melelahkan.
*
Pukul 18.00 kami dikumpulkan ditengah lapangan dengan penutup mata yang menutupi pandangan mata kami.
‘setelah hitungan ketiga, buka penutup mata kalian ya dek. Satu.. dua.. tiga..’ pengumuman itu di serukan lantang oleh salah satu panitia.
Aku buka penutup mata milikku, awalnya mataku belum bisa menyesuaikan dengan keadaan cahaya yang begitu kontras. Setelah mataku berhasil menyesuaikan dengan pencahayaan yang ada, aku melihat jajaran manusia manusia yang akan menentukan nasibku malam ini. Satu persatu dari mereka mendatangi para pelanggar pelanggar untuk bicara dari hati ke hati aku rasa. Karena terlihat sangat intim sekali. Berdua di tempat gelap. Sangat intim bukan? Aahahah.
Tapi tiba tiba saatnya tiba. Salah satu dari mereka mendatangaiku dan menyuruhku duduk diatas lapangan yang luas ini. Sosoknya kecil namun sedikit jangkung.
‘apa kesalahan terbesar kamu?’
‘mm anu kak. Maaf’ ucapku terbata bata.
‘kita disini santai aja, sharing sharing biasa ga usah tegang. Aku ulang ya, apa kesalahan kamu?’ ucapnya sembari memandangi clipboard yang ada di dekapannya.
‘jawab deek, yaelah’ ucapnya yang kini mulai memandang mataku.
‘iya kak, kesalahan aku, kesalahan terbesar aku itu ninggalin kamu kak.’
Jawabku seadanya, airmataku mulai menetes. Aku takut melihat dewan atau apalah OSPEK ini. Aku yakin aku sedang ketakutan. Ketakutan dalam gelap. Ketakutan akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bisa melihat co-Card miliknya meski dalam gelap. Perlahan aku membacanya. Tengkukku terasa dingin dan aku sudah tak bisa menahannya lagi. Co-Cardnya bertuliskan.
“ARSENIO LINTANG WIJAYANDARU”
Aku terus mengaduknya meski aku tahu rasanya tak akan berubah seperti dahulu. Manis, dingin yang mengagetkan syaraf, sedikit rangkulan dibahu kecil milikmu, dan tak lupa ditambah nikmatnya mengusap lembut kepalamu.
Aku rasa aku akan segera menyesalinya. Bukan. Tapi aku sedang menyesalinya.
***
Danny Genta Dewandaru. Itulah namaku. Pandai di semua bidang kecuali olahraga. Tak masuk akal jika seorang kapten basket tak pandai berolahraga. Aku tidak hebat, sungguh. Kapten bukanlah seseorang yang paling jago dalam melakukan berbagai tehnik. Tapi justru akulah yang paling lemah dalam team basket. Karena aku hanya mengerti jika aku harus memasukkan bolanya ke-ring sebanyak mungkin. Dan juga karena akulah yang paling banyak membutuhkan bantuan seluruh anggota team. Mengapa? Kau tak akan jadi pemimpin jika kau tak punya seorangpun untuk kau pimpin kan? Nah, sekarang kau mengerti.
Hidup dalam keluarga yang berkecukupan dan memberiku cukup kasih sayang membuatku selalu merasa bersyukur atas keadaanku. Dimanja dan disayang oleh kedua orangtua dan kedua kakak perempuanku membuatku sedikit manja. Tapi jujur, aku orang yang mandiri. Sebisa mungkin aku tidak bergantung kepada mereka. Cukuplah uang jajan saja aku bergantung kepada mereka.
Pacar? Tentu, aku punya. Cantik? Pasti. Namanya Selena Heidy Ramlan. Teman satu sekolahku. Dia adalah salah satu pengisi suara Sophran pada Paduan Suara sekolah kami. Sementara aku menempati posisi sebagai salah satu penyanyi Bass dalam Paduan Suara tersebut. Intinya, kami bertemu karena kami memiliki minat yang sama.
Hubunganku dengan Heidy berjalan baik baik saja. Dalam konteks arti baik baik saja adalah “benar benar baik baik saja” tak ada kecamuk yang menggetarkan hati ketika aku bersamanya, tak ada perasaan takut akan kehilangan dia, tak ada perasaan cinta sedikit saja. Sebenarnya aku menjalaninya karena aku harus menjaga perasaannya. Karena pada dasarnya akulah yang memintanya untuk menjadi kekasihku. Aku bosan, tapi tak ada yang bisa aku lakukan karena ia selalu berkata jika ia teramat menyayangiku. Oh iya, seluruh keluargaku sudah mengenalnya.
***
Seketika suara Bi Mimin menggugah diriku dari lamunan akan kenanganku dahulu.
“Mas Genta, mbok yo udahan itu minum es-nya. Nanti batuk, kan bi Mimin juga yang repot” ucapnya sembari memunguti tiga gelas kosong lain yang sudah ku sedot habis isinya.
“iya bi, ini juga mau langsung berangkat kuliah. Jangan lupa kunci pintu ya bi. Oh iya, kalo ada orang asing, jangan dibukain pintu. Biar aja diluar kepanasan”
Bi mimin terkekeh mendengar celotehku. Oh iya, aku sekarang tinggal bersama nenekku di kota kelahiranku. Kota Jogjakarta. Aku lari dari masalah yang sebelumnya pernah aku buat. Ciuman liar itu.
Aku bergegas dan sebisa mungkin berusaha agar tidak terlambat dalam penutupan acara OSPEK yang melelahkan itu. Menjadi mahasiswa baru membuatku terpaksa mengikuti seluruh kegiatan yang tak aku sukai. ‘Baru satu bulan menjadi mahasiswa baru’ pikirku maklum.
Jogja berbeda sekali dengan Jakarta, kota yang menjadi saksi tumbuh kembangku hingga aku beranjak dewasa ini. Meskipun telah menjadi destinasi wisata semenjak berpuluh puluh tahun lalu, Jogja terasa ramai sekaligus terasa tentram. Entah apa yang membuatnya istimewa.
***
Ia perempuan yang lembut, tutur katanya hingga semua gerak gerik yang ia lakukan. Rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda karena ia tak mau melanggar peraturan sekolah dan mata teduh yang mampu mengayomi semua kekanak kanakkanku.
Banyak hal yang tidak aku ketahui. Salah satunya adalah berpindahnya haluanku terhadap Heidy, aku yang semula tak merasa harus menyingkir kini aku sudah berani mengecewakannya. Mengecewakan harapan harapan kecilnya yang sudah ia tanam dan siram setiap hari karena aku sudah tidak lagi bersamanya.
Arsenio Lintang Wijayandaru. Laki laki yang memastikan aku (sebagai laki laki lain) yang jatuh padanya dan berharap hanya dialah satu satunya orang yang mampu menangkapku. Aku bahkan tak mengerti mengapa dan bagaimana bisa lelaki cupu seperti dia berhasil membuatku berpindah haluan hingga 360° besarnya.
Ia pencinta manga dan anime yang tak terlihat fanatik dari tampilan luarnya. Saat aku didaulat agar menjadi teman barunya aku sempat ragu dan pupus harapan karena ia begitu tertutup hingga ia menciptakan batasan batasan tak kasat mata dengan dunia luarnya. Tapi, apa boleh buat? Untuk teman seperjuangan dan juga untuk keutuhan kelas XI-IPA-6 ku tercinta.
Rasa itu tak muncul seketika itu juga. Tepatnya saat aku berusaha mencintai anime dan manga seperti dirinya. Aku tak ingin jika pekerjaanku ini setengah setengah, maksudku ‘mengapa aku tidak berteman sungguhan dengan dirinya?’ maka dari itu aku mulai belajar mengerti dunia yang membuatnya tertarik. Tapi justru akulah yang malah tersedot kedalam dunia lain miliknya.
Ia merekomendasikan anime Guilty Crown. Anime yang aku rasa sangat ia sukai. Pada awalnya, aku hanya menganggap remeh anime tersebut. Bercerita tentang ahh sudahlah aku tak pandai bercerita. Intinya, persahabatan, cinta, pengorbanan, keserakahan, dan ketulusan hati. Bahkan aku hendak menitihkan airmata saat menontonnya. Yang membuatnya semakin menyayat nyayat hati adalah jika kau mendalami animenya kau akan merasa bahwa semua lirik lagunya ditulis langsung oleh sang tokoh utama yang merasakan semua penderitaan dan cinta.
Aku rasa aku mulai tertarik dengan Io ketika aku mulai mendalami seberapa dalam anime yang sangat ia sukai.
Semenjak saat itu hubunganku dengan Heidy mulai merenggang, hingga akhirnya Heidy menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi denganku. Sehari sebelum laga final futsal antar kelas, aku mendapati Heidy sedang menangis di pelukan mama. Ia tersedu saat melihatku, tatapannya nanar, tapi aku masih bisa melihat serpihan sisa ketegaran yang aku pecahkan berkeping keping itu. Aku menangkap tatapan mama yang menaruh iba dengan Heidy dan menaruh kecurigaan terhadapku.
Aku tak ambil pusing atas hal itu, aku langsung naik kekamar lalu menekan beberapa nomor yang sengaja aku hafal dan sengaja tak aku simpan. Nada dering berbunyi sekali, duakali, tigakali, dan ‘halo Dan, kenapa?’
‘halo, Io? gua udah hafal lirik sekaligus chord lagunya,’ ucapku
‘lagu apa?’
‘My Dearest, jujur ya gua awalnya emang ga ngerti itu apa, tapi untung gua pinter. Haha, gua pake lyrics translate. Hhahahahah’ jawabku
‘hmm… ya udah nyanyi gih,, pake gitar ya.’ Pintanya.
‘oke, bentar ya..’
Aku menyanyikannya, untuknya. Dari hatiku yang terdalam, untuknya. Tak terbesit sedikitpun aku akan perasaan Heidy. Itulah sisi kekanakkanku. Tidak, bukan, aku hanya ingin hidup dengan kejujuran dan apa adanya. Seperti sekarang ini.
Selesai.
‘….’
‘Io, lu kaga dengerin gua ya?’ jawabku pelan.
‘hmm?’
‘kok hmm??’
‘eh iya maaf dengerin kok, maaf Dan.’ Jawabnya diiringi suara nasalnya yang menyerot ingus ingusnya.
‘hahha lu nagis ya??’ jawabku riang. Aku sudah berhasil menyanyikannya untuk dia, untuk Arsenio-ku, untuk Io-ku.
Setelah itu, obrolan kami berlanjut hingga aku tak sadar mama sudah menunggu diluar kamar. Mama bertanya sebenarnya apa yang telah terjadi dengan ku dan Heidy. Aku menjawab seadanya sementara mama terus menyodorkan bukti bukti yang dituduhkan Heidy. Aku bisa mengelak, aku pandai berbohong. Tapi tiba tiba mama menyodorkan sebuah foto.
‘siapa itu?’
‘temen ma’
‘kok mesra?’ deg..
‘…’
‘hmm..?’
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan sedikit menutupi fakta tentang perasaanku. Untung saja mama mau mengerti dan menganggap semua yang dituduhkan oleh Heidy adalah sebuah kesalahan. Bahwa aku adalah seorang yang menyukai sesamanya.
***
Aku semakin kencang memacu Jazz merahku, aku tahu sekitar sepuluh menit lagi aku akan terlambat. Dan saat itu aku baru saja keluar dari gerbang komplek perumahan milik nenek.
Tak lucu jika ketua grup seperti aku ini malah terlambat. Bisa jadi apa teman temanku yang lain? Hahah aku tepiskan perasaan resah yang mulai menggelendoti hatiku. Memikirkan waktu yang sudah terbuang, setahun yang aku buang demi menghindar dari kenyataan.
Mungkin sekarang ini aku malah menjadi adik tingkatnya Io.
***
Aku juga teringat akan malam itu. Malam dimana Heidy memintaku untuk menemuinya di tempat makan seperti biasa. Restoran Jepang seperti yang ia pinta tak jauh dari rumahku, aku langsung melesat karena aku tak tega mendengar Heidy menangis tersedu sedu.
‘kenapa kamu lebih milih Arsen?’ tuntutnya.
‘…’
‘Dan, aku bukan cewek goblok dan. Aku bisa tau mana yang namanya temen, mana yang namanya cinta Dan, kamu suka kan sama Arsen? Ha’
Aku tak bisa menjawab apa apa, semua yang ia tuduhkan sudah jelas terbukti dan aku tak bisa mengelaknya. Aku terdiam. Tak kuasa aku memandangi mata sembabnya, aku malah memalingkan pandangan kearah lain.
‘Dan, plis.. jujur sama aku. Aku kurang apa dan? Kurang apa sampe kamu tega punya perasaan itu sama Arsen?’
‘iya, itu semua bener.’
‘tapi..’ saat Heidy hendak memotong omonganku, lekas saja aku menghentikannya.
‘Stop, plis, jangan potong dulu. Ya..’
Ia menunduk, malu aku rasa.
‘Iya itu semua bener, maaf ya Dy. Masalah kamu kurang apa, kamu sempurna banget di, kamu berani, kamu pinter, kamu cantik Dy. Tapi jujur, dari awal aku juga memang ga srek sama kamu, aku ngerasa hubungan kita itu selalu baik baik aja karena kesempurnaanmu itu Dy. Tapi justru itulah yang ngebuat aku bosan. Coba kamu di posisi aku Dy, cinta ga tau mau nempel siapa aja’
Ia menangis semakin jadi dan pelupuknya kini sudah dibanjiri airmata lagi. Kini aku menggenggam tangannya.
‘Dy, aku suka mata kamu. Mata kamu itu sayu, teduh, tapi penuh kekuatan Dy. Mata itu yang selalu nenangin aku Dy. Aku jujur, maaf Dy. Tapi mata Arsen, teduh seperti mata kamu, sayu seperti mata kamu, tidak jauh lebih indah Dy. Tapi yang membuat perasaan ini muncul adalah, ketika matanya itu selalu kehilangan semangat Dy, mata yang menyorotkan kelemahan. Mata yang selalu meminta dilindungi. Aku sayang dia karena dia lemah.’
Tangisannya tersendat sendat karena ia mulai terbatuk. Napasnya juga tersengal sengal. Aku genggam tangannya lebih kuat, seketika itu ia mengondak menatapku.
‘Dy, liat mata aku Dy. Mata aku kaya matanya Arsen. Aku lemah, pengen dilindungi Dy. Bukan masalah kamu ga bisa lindungin aku, tapi aku tahu rasanya jadi Arsen. Maaf ya di aku ga tau harus bilang gimana lagi, kamu ngertiin aku ya.’
Ia mengangguk pelan seraya menahan isaknya dan menghapus air matanya sendiri. Aku tepis dengan lembut tangannya itu. ‘biar aku aja Dy’
Aku usap pelan airmata yang mulai menuruni mulusnya pipi Heidy. ‘Maafin aku ya Dy, dan masalah mama. Aku harap kamu ga ungkit itu lagi. Aku percaya kamu Dy. Maaf ya.’
‘Iya Dann, aku sayang kamu. Kalo kamu berubah pikiran, kamu tau bakal pulang kesiapa ya? Maafin aku masalah mama, dan jangan sampai kamu kecewain Arsen ya. Titip Arsen.’
‘Iya, aku anter pulang ya’
.Setelah masalah itu selesai, Heidy tidak pernah menghubungiku lagi, ia seperti menghilang dari hidupku.
Aku memilih Arsen, akan aku jaga dia dengan sepenuh hati. Akan aku sayangi dia layaknya tulang rusukku sendiri. Semoga aku tidak menyesal.
***
Beberapa bulan setelahnya, aku memutuskan untuk mengambil Student Exchange ke Australia setelah skandalku diketahui mama. Mama berjanji tidak akan memberitahukan hal itu kepada siapapun termasuk papa asal aku mau menjau dari Arsen. Semua sudah aku lakukan.
Aku bahkan tega menyakiti hati Arsen, aku menghinanya, aku tak menepati janjiku terhadap dirinya. Aku harus melakukannya agar ia terbiasa dengan semua ini. Aku tahu ia terluka, sama halnya dengan diriku. Hatiku teriris iris karenanya.
Aku pergi secara diam diam dari dirinya. Aku seperti menghilang. Banyak sekali pesan yang aku dapat dari dirinya. Facebook dan Twitter. Kesemuanya menanyakan dimanakah aku berada. Setiap harinya ia mengirimi aku pesan namun tak ada satupun yang aku balas. Hingga pada suatu hari ia berhenti mengirimnya. Mungkin ia lelah.
**
Satu tahun bukan waktu yang lama, aku kembali ke Jakarta setelah masa pertukaranku habis. Aku harus menyelesaikan studiku di Indonesia yang tertunda karena aku mengikuti Student Exchage itu, sehingga aku diharuskan kembali ke kelas yang aku tinggalkan. Kelas XII.
***
Disinilah aku sekarang. Tergesa gesa sembari membawa perlengkapan OSPEKku dari parkiran hingga kelapangan. Sesekali aku terengah engah dan memikirkan hal yang sama dan berulang ulang. ‘UGM gede buangeeeeet, ahhaha’
Aku melihat teman teman sekelompokku sedang dihukum ditengah panasnya lapangan UGM. Sesegera mungkin aku bergabung dengan mereka.
‘Kak, izin bicara. Semua ini salah saya, jadi biar saya saja yang dihukum.’ Ucapku penuh percaya diri.
‘siapa yang nyuruh kamu …………’ yah kakak kakak itu terus mengomel kepadaku dan berkeras jika seluruh anggotaku juga harus mendapatkan hukuman atas kesalahan pemimpinnya.
Dan intinya adalah seluruh peserta OSPEK digojlok habis habisan. Dan, oh ya khusus untuk peserta OSPEK yang melanggar peraturan hari ini mereka akan mendapat keberuntungan dengan dipertemukannya mereka dengan para dewan OSPEK yang dianggap maha pentingnya. Ah melelahkan.
*
Pukul 18.00 kami dikumpulkan ditengah lapangan dengan penutup mata yang menutupi pandangan mata kami.
‘setelah hitungan ketiga, buka penutup mata kalian ya dek. Satu.. dua.. tiga..’ pengumuman itu di serukan lantang oleh salah satu panitia.
Aku buka penutup mata milikku, awalnya mataku belum bisa menyesuaikan dengan keadaan cahaya yang begitu kontras. Setelah mataku berhasil menyesuaikan dengan pencahayaan yang ada, aku melihat jajaran manusia manusia yang akan menentukan nasibku malam ini. Satu persatu dari mereka mendatangi para pelanggar pelanggar untuk bicara dari hati ke hati aku rasa. Karena terlihat sangat intim sekali. Berdua di tempat gelap. Sangat intim bukan? Aahahah.
Tapi tiba tiba saatnya tiba. Salah satu dari mereka mendatangaiku dan menyuruhku duduk diatas lapangan yang luas ini. Sosoknya kecil namun sedikit jangkung.
‘apa kesalahan terbesar kamu?’
‘mm anu kak. Maaf’ ucapku terbata bata.
‘kita disini santai aja, sharing sharing biasa ga usah tegang. Aku ulang ya, apa kesalahan kamu?’ ucapnya sembari memandangi clipboard yang ada di dekapannya.
‘jawab deek, yaelah’ ucapnya yang kini mulai memandang mataku.
‘iya kak, kesalahan aku, kesalahan terbesar aku itu ninggalin kamu kak.’
Jawabku seadanya, airmataku mulai menetes. Aku takut melihat dewan atau apalah OSPEK ini. Aku yakin aku sedang ketakutan. Ketakutan dalam gelap. Ketakutan akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bisa melihat co-Card miliknya meski dalam gelap. Perlahan aku membacanya. Tengkukku terasa dingin dan aku sudah tak bisa menahannya lagi. Co-Cardnya bertuliskan.
“ARSENIO LINTANG WIJAYANDARU”
“Meski peluru itu menembus jantun tak ada satupun yang memberikan luka sedalam kamu.”