Yang Tak Terungkap (Oneshoot)

By. Dewa Sa
‪#‎Choi‬
Like dan Komentnya yah kawan..
“Semua terjadi begitu saja hingga berakhir dengan cepat bak peluru yang melesat menembus jantung”
Aku menyesap sedikit demi sedikit es susu coklat yang lama kelamaan mulai mencair. ‘Gelasnya berkeringat’ itu pikirku. Aku juga membiarkan tiap tetesan keringatnya menuruni permukaan luar gelas dan akhirnya menggenang mengelilingi bagian dasar gelas.
Aku terus mengaduknya meski aku tahu rasanya tak akan berubah seperti dahulu. Manis, dingin yang mengagetkan syaraf, sedikit rangkulan dibahu kecil milikmu, dan tak lupa ditambah nikmatnya mengusap lembut kepalamu.
Aku rasa aku akan segera menyesalinya. Bukan. Tapi aku sedang menyesalinya.
***
Danny Genta Dewandaru. Itulah namaku. Pandai di semua bidang kecuali olahraga. Tak masuk akal jika seorang kapten basket tak pandai berolahraga. Aku tidak hebat, sungguh. Kapten bukanlah seseorang yang paling jago dalam melakukan berbagai tehnik. Tapi justru akulah yang paling lemah dalam team basket. Karena aku hanya mengerti jika aku harus memasukkan bolanya ke-ring sebanyak mungkin. Dan juga karena akulah yang paling banyak membutuhkan bantuan seluruh anggota team. Mengapa? Kau tak akan jadi pemimpin jika kau tak punya seorangpun untuk kau pimpin kan? Nah, sekarang kau mengerti.
Hidup dalam keluarga yang berkecukupan dan memberiku cukup kasih sayang membuatku selalu merasa bersyukur atas keadaanku. Dimanja dan disayang oleh kedua orangtua dan kedua kakak perempuanku membuatku sedikit manja. Tapi jujur, aku orang yang mandiri. Sebisa mungkin aku tidak bergantung kepada mereka. Cukuplah uang jajan saja aku bergantung kepada mereka.
Pacar? Tentu, aku punya. Cantik? Pasti. Namanya Selena Heidy Ramlan. Teman satu sekolahku. Dia adalah salah satu pengisi suara Sophran pada Paduan Suara sekolah kami. Sementara aku menempati posisi sebagai salah satu penyanyi Bass dalam Paduan Suara tersebut. Intinya, kami bertemu karena kami memiliki minat yang sama.
Hubunganku dengan Heidy berjalan baik baik saja. Dalam konteks arti baik baik saja adalah “benar benar baik baik saja” tak ada kecamuk yang menggetarkan hati ketika aku bersamanya, tak ada perasaan takut akan kehilangan dia, tak ada perasaan cinta sedikit saja. Sebenarnya aku menjalaninya karena aku harus menjaga perasaannya. Karena pada dasarnya akulah yang memintanya untuk menjadi kekasihku. Aku bosan, tapi tak ada yang bisa aku lakukan karena ia selalu berkata jika ia teramat menyayangiku. Oh iya, seluruh keluargaku sudah mengenalnya.
***
Seketika suara Bi Mimin menggugah diriku dari lamunan akan kenanganku dahulu.
“Mas Genta, mbok yo udahan itu minum es-nya. Nanti batuk, kan bi Mimin juga yang repot” ucapnya sembari memunguti tiga gelas kosong lain yang sudah ku sedot habis isinya.
“iya bi, ini juga mau langsung berangkat kuliah. Jangan lupa kunci pintu ya bi. Oh iya, kalo ada orang asing, jangan dibukain pintu. Biar aja diluar kepanasan”
Bi mimin terkekeh mendengar celotehku. Oh iya, aku sekarang tinggal bersama nenekku di kota kelahiranku. Kota Jogjakarta. Aku lari dari masalah yang sebelumnya pernah aku buat. Ciuman liar itu.
Aku bergegas dan sebisa mungkin berusaha agar tidak terlambat dalam penutupan acara OSPEK yang melelahkan itu. Menjadi mahasiswa baru membuatku terpaksa mengikuti seluruh kegiatan yang tak aku sukai. ‘Baru satu bulan menjadi mahasiswa baru’ pikirku maklum.
Jogja berbeda sekali dengan Jakarta, kota yang menjadi saksi tumbuh kembangku hingga aku beranjak dewasa ini. Meskipun telah menjadi destinasi wisata semenjak berpuluh puluh tahun lalu, Jogja terasa ramai sekaligus terasa tentram. Entah apa yang membuatnya istimewa.
***
Ia perempuan yang lembut, tutur katanya hingga semua gerak gerik yang ia lakukan. Rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda karena ia tak mau melanggar peraturan sekolah dan mata teduh yang mampu mengayomi semua kekanak kanakkanku.
Banyak hal yang tidak aku ketahui. Salah satunya adalah berpindahnya haluanku terhadap Heidy, aku yang semula tak merasa harus menyingkir kini aku sudah berani mengecewakannya. Mengecewakan harapan harapan kecilnya yang sudah ia tanam dan siram setiap hari karena aku sudah tidak lagi bersamanya.
Arsenio Lintang Wijayandaru. Laki laki yang memastikan aku (sebagai laki laki lain) yang jatuh padanya dan berharap hanya dialah satu satunya orang yang mampu menangkapku. Aku bahkan tak mengerti mengapa dan bagaimana bisa lelaki cupu seperti dia berhasil membuatku berpindah haluan hingga 360° besarnya.
Ia pencinta manga dan anime yang tak terlihat fanatik dari tampilan luarnya. Saat aku didaulat agar menjadi teman barunya aku sempat ragu dan pupus harapan karena ia begitu tertutup hingga ia menciptakan batasan batasan tak kasat mata dengan dunia luarnya. Tapi, apa boleh buat? Untuk teman seperjuangan dan juga untuk keutuhan kelas XI-IPA-6 ku tercinta.
Rasa itu tak muncul seketika itu juga. Tepatnya saat aku berusaha mencintai anime dan manga seperti dirinya. Aku tak ingin jika pekerjaanku ini setengah setengah, maksudku ‘mengapa aku tidak berteman sungguhan dengan dirinya?’ maka dari itu aku mulai belajar mengerti dunia yang membuatnya tertarik. Tapi justru akulah yang malah tersedot kedalam dunia lain miliknya.
Ia merekomendasikan anime Guilty Crown. Anime yang aku rasa sangat ia sukai. Pada awalnya, aku hanya menganggap remeh anime tersebut. Bercerita tentang ahh sudahlah aku tak pandai bercerita. Intinya, persahabatan, cinta, pengorbanan, keserakahan, dan ketulusan hati. Bahkan aku hendak menitihkan airmata saat menontonnya. Yang membuatnya semakin menyayat nyayat hati adalah jika kau mendalami animenya kau akan merasa bahwa semua lirik lagunya ditulis langsung oleh sang tokoh utama yang merasakan semua penderitaan dan cinta.
Aku rasa aku mulai tertarik dengan Io ketika aku mulai mendalami seberapa dalam anime yang sangat ia sukai.
Semenjak saat itu hubunganku dengan Heidy mulai merenggang, hingga akhirnya Heidy menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi denganku. Sehari sebelum laga final futsal antar kelas, aku mendapati Heidy sedang menangis di pelukan mama. Ia tersedu saat melihatku, tatapannya nanar, tapi aku masih bisa melihat serpihan sisa ketegaran yang aku pecahkan berkeping keping itu. Aku menangkap tatapan mama yang menaruh iba dengan Heidy dan menaruh kecurigaan terhadapku.
Aku tak ambil pusing atas hal itu, aku langsung naik kekamar lalu menekan beberapa nomor yang sengaja aku hafal dan sengaja tak aku simpan. Nada dering berbunyi sekali, duakali, tigakali, dan ‘halo Dan, kenapa?’
‘halo, Io? gua udah hafal lirik sekaligus chord lagunya,’ ucapku
‘lagu apa?’
‘My Dearest, jujur ya gua awalnya emang ga ngerti itu apa, tapi untung gua pinter. Haha, gua pake lyrics translate. Hhahahahah’ jawabku
‘hmm… ya udah nyanyi gih,, pake gitar ya.’ Pintanya.
‘oke, bentar ya..’
Aku menyanyikannya, untuknya. Dari hatiku yang terdalam, untuknya. Tak terbesit sedikitpun aku akan perasaan Heidy. Itulah sisi kekanakkanku. Tidak, bukan, aku hanya ingin hidup dengan kejujuran dan apa adanya. Seperti sekarang ini.
Selesai.
‘….’
‘Io, lu kaga dengerin gua ya?’ jawabku pelan.
‘hmm?’
‘kok hmm??’
‘eh iya maaf dengerin kok, maaf Dan.’ Jawabnya diiringi suara nasalnya yang menyerot ingus ingusnya.
‘hahha lu nagis ya??’ jawabku riang. Aku sudah berhasil menyanyikannya untuk dia, untuk Arsenio-ku, untuk Io-ku.
Setelah itu, obrolan kami berlanjut hingga aku tak sadar mama sudah menunggu diluar kamar. Mama bertanya sebenarnya apa yang telah terjadi dengan ku dan Heidy. Aku menjawab seadanya sementara mama terus menyodorkan bukti bukti yang dituduhkan Heidy. Aku bisa mengelak, aku pandai berbohong. Tapi tiba tiba mama menyodorkan sebuah foto.
‘siapa itu?’
‘temen ma’
‘kok mesra?’ deg..
‘…’
‘hmm..?’
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan sedikit menutupi fakta tentang perasaanku. Untung saja mama mau mengerti dan menganggap semua yang dituduhkan oleh Heidy adalah sebuah kesalahan. Bahwa aku adalah seorang yang menyukai sesamanya.
***
Aku semakin kencang memacu Jazz merahku, aku tahu sekitar sepuluh menit lagi aku akan terlambat. Dan saat itu aku baru saja keluar dari gerbang komplek perumahan milik nenek.
Tak lucu jika ketua grup seperti aku ini malah terlambat. Bisa jadi apa teman temanku yang lain? Hahah aku tepiskan perasaan resah yang mulai menggelendoti hatiku. Memikirkan waktu yang sudah terbuang, setahun yang aku buang demi menghindar dari kenyataan.
Mungkin sekarang ini aku malah menjadi adik tingkatnya Io.
***
Aku juga teringat akan malam itu. Malam dimana Heidy memintaku untuk menemuinya di tempat makan seperti biasa. Restoran Jepang seperti yang ia pinta tak jauh dari rumahku, aku langsung melesat karena aku tak tega mendengar Heidy menangis tersedu sedu.
‘kenapa kamu lebih milih Arsen?’ tuntutnya.
‘…’
‘Dan, aku bukan cewek goblok dan. Aku bisa tau mana yang namanya temen, mana yang namanya cinta Dan, kamu suka kan sama Arsen? Ha’
Aku tak bisa menjawab apa apa, semua yang ia tuduhkan sudah jelas terbukti dan aku tak bisa mengelaknya. Aku terdiam. Tak kuasa aku memandangi mata sembabnya, aku malah memalingkan pandangan kearah lain.
‘Dan, plis.. jujur sama aku. Aku kurang apa dan? Kurang apa sampe kamu tega punya perasaan itu sama Arsen?’
‘iya, itu semua bener.’
‘tapi..’ saat Heidy hendak memotong omonganku, lekas saja aku menghentikannya.
‘Stop, plis, jangan potong dulu. Ya..’
Ia menunduk, malu aku rasa.
‘Iya itu semua bener, maaf ya Dy. Masalah kamu kurang apa, kamu sempurna banget di, kamu berani, kamu pinter, kamu cantik Dy. Tapi jujur, dari awal aku juga memang ga srek sama kamu, aku ngerasa hubungan kita itu selalu baik baik aja karena kesempurnaanmu itu Dy. Tapi justru itulah yang ngebuat aku bosan. Coba kamu di posisi aku Dy, cinta ga tau mau nempel siapa aja’
Ia menangis semakin jadi dan pelupuknya kini sudah dibanjiri airmata lagi. Kini aku menggenggam tangannya.
‘Dy, aku suka mata kamu. Mata kamu itu sayu, teduh, tapi penuh kekuatan Dy. Mata itu yang selalu nenangin aku Dy. Aku jujur, maaf Dy. Tapi mata Arsen, teduh seperti mata kamu, sayu seperti mata kamu, tidak jauh lebih indah Dy. Tapi yang membuat perasaan ini muncul adalah, ketika matanya itu selalu kehilangan semangat Dy, mata yang menyorotkan kelemahan. Mata yang selalu meminta dilindungi. Aku sayang dia karena dia lemah.’
Tangisannya tersendat sendat karena ia mulai terbatuk. Napasnya juga tersengal sengal. Aku genggam tangannya lebih kuat, seketika itu ia mengondak menatapku.
‘Dy, liat mata aku Dy. Mata aku kaya matanya Arsen. Aku lemah, pengen dilindungi Dy. Bukan masalah kamu ga bisa lindungin aku, tapi aku tahu rasanya jadi Arsen. Maaf ya di aku ga tau harus bilang gimana lagi, kamu ngertiin aku ya.’
Ia mengangguk pelan seraya menahan isaknya dan menghapus air matanya sendiri. Aku tepis dengan lembut tangannya itu. ‘biar aku aja Dy’
Aku usap pelan airmata yang mulai menuruni mulusnya pipi Heidy. ‘Maafin aku ya Dy, dan masalah mama. Aku harap kamu ga ungkit itu lagi. Aku percaya kamu Dy. Maaf ya.’
‘Iya Dann, aku sayang kamu. Kalo kamu berubah pikiran, kamu tau bakal pulang kesiapa ya? Maafin aku masalah mama, dan jangan sampai kamu kecewain Arsen ya. Titip Arsen.’
‘Iya, aku anter pulang ya’
.Setelah masalah itu selesai, Heidy tidak pernah menghubungiku lagi, ia seperti menghilang dari hidupku.
Aku memilih Arsen, akan aku jaga dia dengan sepenuh hati. Akan aku sayangi dia layaknya tulang rusukku sendiri. Semoga aku tidak menyesal.
***
Beberapa bulan setelahnya, aku memutuskan untuk mengambil Student Exchange ke Australia setelah skandalku diketahui mama. Mama berjanji tidak akan memberitahukan hal itu kepada siapapun termasuk papa asal aku mau menjau dari Arsen. Semua sudah aku lakukan.
Aku bahkan tega menyakiti hati Arsen, aku menghinanya, aku tak menepati janjiku terhadap dirinya. Aku harus melakukannya agar ia terbiasa dengan semua ini. Aku tahu ia terluka, sama halnya dengan diriku. Hatiku teriris iris karenanya.
Aku pergi secara diam diam dari dirinya. Aku seperti menghilang. Banyak sekali pesan yang aku dapat dari dirinya. Facebook dan Twitter. Kesemuanya menanyakan dimanakah aku berada. Setiap harinya ia mengirimi aku pesan namun tak ada satupun yang aku balas. Hingga pada suatu hari ia berhenti mengirimnya. Mungkin ia lelah.
**
Satu tahun bukan waktu yang lama, aku kembali ke Jakarta setelah masa pertukaranku habis. Aku harus menyelesaikan studiku di Indonesia yang tertunda karena aku mengikuti Student Exchage itu, sehingga aku diharuskan kembali ke kelas yang aku tinggalkan. Kelas XII.
***
Disinilah aku sekarang. Tergesa gesa sembari membawa perlengkapan OSPEKku dari parkiran hingga kelapangan. Sesekali aku terengah engah dan memikirkan hal yang sama dan berulang ulang. ‘UGM gede buangeeeeet, ahhaha’
Aku melihat teman teman sekelompokku sedang dihukum ditengah panasnya lapangan UGM. Sesegera mungkin aku bergabung dengan mereka.
‘Kak, izin bicara. Semua ini salah saya, jadi biar saya saja yang dihukum.’ Ucapku penuh percaya diri.
‘siapa yang nyuruh kamu …………’ yah kakak kakak itu terus mengomel kepadaku dan berkeras jika seluruh anggotaku juga harus mendapatkan hukuman atas kesalahan pemimpinnya.
Dan intinya adalah seluruh peserta OSPEK digojlok habis habisan. Dan, oh ya khusus untuk peserta OSPEK yang melanggar peraturan hari ini mereka akan mendapat keberuntungan dengan dipertemukannya mereka dengan para dewan OSPEK yang dianggap maha pentingnya. Ah melelahkan.
*
Pukul 18.00 kami dikumpulkan ditengah lapangan dengan penutup mata yang menutupi pandangan mata kami.
‘setelah hitungan ketiga, buka penutup mata kalian ya dek. Satu.. dua.. tiga..’ pengumuman itu di serukan lantang oleh salah satu panitia.
Aku buka penutup mata milikku, awalnya mataku belum bisa menyesuaikan dengan keadaan cahaya yang begitu kontras. Setelah mataku berhasil menyesuaikan dengan pencahayaan yang ada, aku melihat jajaran manusia manusia yang akan menentukan nasibku malam ini. Satu persatu dari mereka mendatangi para pelanggar pelanggar untuk bicara dari hati ke hati aku rasa. Karena terlihat sangat intim sekali. Berdua di tempat gelap. Sangat intim bukan? Aahahah.
Tapi tiba tiba saatnya tiba. Salah satu dari mereka mendatangaiku dan menyuruhku duduk diatas lapangan yang luas ini. Sosoknya kecil namun sedikit jangkung.
‘apa kesalahan terbesar kamu?’
‘mm anu kak. Maaf’ ucapku terbata bata.
‘kita disini santai aja, sharing sharing biasa ga usah tegang. Aku ulang ya, apa kesalahan kamu?’ ucapnya sembari memandangi clipboard yang ada di dekapannya.
‘jawab deek, yaelah’ ucapnya yang kini mulai memandang mataku.
‘iya kak, kesalahan aku, kesalahan terbesar aku itu ninggalin kamu kak.’
Jawabku seadanya, airmataku mulai menetes. Aku takut melihat dewan atau apalah OSPEK ini. Aku yakin aku sedang ketakutan. Ketakutan dalam gelap. Ketakutan akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bisa melihat co-Card miliknya meski dalam gelap. Perlahan aku membacanya. Tengkukku terasa dingin dan aku sudah tak bisa menahannya lagi. Co-Cardnya bertuliskan.
“ARSENIO LINTANG WIJAYANDARU”
“Meski peluru itu menembus jantun tak ada satupun yang memberikan luka sedalam kamu.”

UNFAITHFULNESS (Oneshoot)

By: Choi Ha Soo
Happy reading..
Like dan koment ya kawan.. makasih..
‪#‎choi‬
Menikah. Aku tak pernah membayangkan untuk menikah. Terlalu banyak mimpi yang ingin kukejar sebelum semuanya terjadi. Apa lagi kondisiku yang seperti ini,yang menyukai sesama jenis.
Tapi, kini aku mulai memikirkan hal itu setelah minggu kemarin Ibu memanggilku pulang ke rumah. Obrolan di meja makan dengan Ibu, membuatku tersentak—kaget.
"Nak, kenapa belum mengenalkan cewekmu?" Pertanyaan itu serasa dentuman meriam yang menghantam gendang telingaku. Telak. Aku hanya tersenyum keki.
"Sabar, Bu. Nanti aku kenalkan ya.." dengan nada pelan.
Selama ini, aku memang tak pernah mengenalkan seorang gadis pun. Karena aku memang masih belum bisa menyukai seorang wanita. Malahan aku Berkali-kali berpacaran dengan sesama lelaki dan selalu gagal. Meski setiap kali punya pacar lelaki. Bagai antrian mereka pun mundur teratur. Penyebabnya beragam, ada yang hanya sekedar having fun,sampai ada pula yang selingkuh.
Menjalin hubungan memang tak mudah. Layaknya tanaman, butuh perhatian ekstra. Ada saat dimana mesti disiram agar tak layu. Dipupuk biar lebih subur. Juga sesekali menyiangi rumput-rumput yang merambat disekelilingnya.
***
sekitar setahun ini aku memiliki hubungan dengan seorang diseberang sana. Nan jauh dimata. Kami berkenalan tak sengaja melalui dunia maya. Sejak saat itu kami sering chating dan saling bertanya kabar masing-masing. Dunia maya terlalu terbatas dalam ketakterbatasannya. Aku meminta nomor ponselnya agar bisa lebih intens berkomunikasi.
Hubungan kami kian hari semakin akrab. Kami berkirim pesan bagai minum obat bahkan lebih. Bercerita satu sama lain tentang apa saja, dari perihal keluarga, kuliah, hingga hal remeh-temeh. Serasa tak lengkap tanpa tahu apa yang dia lakukan tiap harinya. Aku menyayanginya.
Perasaan berlebih selalu menampakkan wujudnya yang lain. Gejala kecil mulai menguap satu persatu. Saat tak sempat berkirim pesan, gelisah bergemuruh. Ponsel tak aktif, cemas menguasai. Membaca status di dunia maya menggelitik rasa cemburu. Aneh, rasa seperti ini wajar tapi tak mengenakkan hati.
Aku tak punya alasan untuk menuntut berlebih seperti itu. Dia telah memiliki BF. Hubungan mereka sudah empat tahun lebih. Waktu yang tak pernah kucapai semenjak aku berpacaran. Paling lama enam bulan dengan skala putus-sambung. Aku merasa berat dan bersalah telah menjadi pengganggu dalam kisah mereka. Tapi perasaan selalu berkata lain dan tak mengindahkan rambu apapun. Ya, aku terlanjur menyenangi sosoknya. Cara dia bertutur begitu menyejukkan hati. Kunantikan selalu saat dia berbicara ditelepon dan mendengar cerita dan cekikannya.
Disela-sela kesibukan kuliah yang merepresi otakku, selalu kusempatkan menengok fotonya di folder rahasia di laptoku. Foto yang dia kirim melalui email dan sengaja kusimpan tersembunyi karena tak ingin orang lain melihatnya ketika membuka laptopku. Hanya aku yang bisa menikmatinya. Foto-foto itu telah menjadi oase baru bagi rasaku yang kehausan. Semakin berat kuliahku, semakin sering kubuka folder itu.
Pernah suatu ketika aku ditelepon seorang cowok yang mengaku BFnya. Cowok itu berbicara dengan tergesa dan kutahu dia sedang emosi. Cowok itu menanyakan hubunganku dengan BFnya. Aku menjawab dengan santai kalau kami hanya teman penulis saja, dia mengirimiku naskah novelnya untuk aku edit. Cowok itu menitipkan beberapa pesan agar tak mengganggu hubungan mereka, lalu dia menutup telepon. Hal yang sudah kuduga sebelumnya bahwa resiko menyenangi cowok yang sudah punya pacar memang seperti itu. Kita harus siaga setiap waktu untuk bermain kucing-kucingan.
Apakah aku salah karena menyayangi orang yang telah berpacaran. Apakah perasaan dapat dicabut dari akarnya yang begitu kuat mencengkeram lubuk jiwa. Apakah untuk menyayangi mesti dengan cowok yang berstatus single saja. Siapa yang pantas mencintai dan dicintai. Bukankah rasa tak mengenal hal semacam itu. Cinta hanya tumbuh mengikuti gerak rasa. Mungkin aku memang bersalah telah mengganggu hubungan mereka.
***
Seperti penghujan yang tak kunjung usai, masalah pun datang beriringan. Setiap berbicara ditelepon selalu saja pertengkaran kecil mengambil alih semua. Topik pembicaran mulai berulang. Sejak lama dia tak menyenangi sikapku yang keras, yang selalu berpanjang-lebar menanyakan hal-hal yang tak kusenangi. Mengambil alih dengan tiba-tiba saat dia sedang berbicara. Aku tipikal kebalikan dari dirinya. Juga kebalikan dari pacarnya itu. Aku tak bisa bersikap manis dan lemah-lembut seperti pacarnya. Dia selalu menuntut itu. Bukannya aku tak bisa, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tidak berpura-pura bersikap manis hanya untuk menyenangkan orang lain. Tegas dan jujur menurutku lebih baik daripada kepura-puraan yang manis.
Terlalu naïf untuk mengharapkan orang menjadi seperti yang kita inginkan tanpa mau melihat dan memahaminya. Terkadang kita terlalu selfish dan tidak memedulikan hal lain. Jika ingin dimengerti maka pahamilah orang lain. Karena apa yang kita rasakan dan dapatkan merupakan refleksi dari laku kita juga.
Dia tak pernah memercayaiku sepenuhnya. Setidaknya itu kesan yang kutangkap selama ini. Menurutku itu wajar saja karena kami tak pernah bertemu sama sekali. Hubungan ini dibina dari jarak sepersekian centimeter dari layar monitor dan begitu intim lewat obrolan telepon. Tentunya kami sama-sama mengharapkan pertemuan itu segera. Ada rindu yang menanti untuk dituntaskan.
Dia selalu merasa cemburu dan marah saat mendapati komentar untuk temanku di jejaring sosial. Juga ketika membaca beberapa pesan. Aku selalu menampiknya dengan kelakar dan penjelasan sewajarnya. Aku memang memiliki banyak teman, tidak hanya di dunia maya. Aku orang yang mudah mengakrabi orang dan ketika berbicara dengan mereka begitu santai.
Aku selalu memanggil mereka dengan sapaan manis. Sekedar untuk lebih dekat dan mengobrol asyik. Tapi bukan berarti bermesra-mesraan dengan mereka. Hal yang sangat wajar menurutku. Namun dia selalu mempermasalahkan hal itu—tentang keakrabanku dengan teman-teman.
Aku menyadari hubungan jarak jauh selalu menimbulnya gejala semacam itu. Aku selalu berusaha untuk bisa mempertahankan hubungan ini. Tidak hanya empat tahun tapi sepanjang usia kami.
Sekarang hubungan kami sudah bubar sebelum sempat bertemu. Tapi tetap kujalin komunikasi. Karena aku tetap berharap untuk bisa menjalani hidup bersamanya.
***
Aku dibangunkan dering telepon. Segera kutengok siapa yang meneleponku sepagi ini. Dari monitor kulihat nama adikku yang bungsu dan segera kuangkat. Dia berbasa basi menanyakan kabarku lalu berkata kalau Ibu ingin berbicara denganku.
“Halo, Bu…” sembari menguap.
“Halooo… Kapan kau bawa cewekmu ke rumah?
Aku diam. Telepon kumatikan.
Segera kuketik pesan hendak memberi tahu Tari perihal ini. Tapi gagal. Pulsaku habis.
*********
*kamsahamnida chingu..
Happy reading lile dan komentnya jng lupa ya kawan.. #choi

The Day Before Oneshoot


By: Choi Ha Soo
happy reading guys kasih like and komentnya yah ‪#‎choi‬
TURN ON
Wekend sudah usai , hari ini Gian masuk sekolah lagi. Seperti biasanya perjalanan kesekolah ia tempuh dengan motor matic kesayangannya, kebetulan hari itu musim hujan. Saat Gian berangkat ke sekolah gerimis turut mengantar keberangkatan Gian kesekolah. Tapi aneh Gian tidak pernah mengeluh dengan gerimis dia sangat menyukain gerimis. “gerimis itu lembut, walau saat kita mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ia tak pernah menyakiti. Beda dengan hujan” alasannya menyukai gerimis.
Sesampainya di sekolah dengan seragam putih abu-abu yang lembab terkena gerimis tadi, Gian melenggang dilorong sekolahnya yang konon katanya sekolah itu adalah bekas Rumah sakit Umum di daerahnya. Tlepak.. tlepak.. bunyi sepatu Gian dia lebih suka mengangkat kakinya saat berjalan ketimbang harus diseret seperti kebanyakan orang ketika berjalan bising dan mengganggu katanya.
Dikelas langsung saja Gian duduk di bangku nomor dua dari belakang kolom 2 dari kiri pintu masuk sekolah, teman –temannya dikelas menyebut kolom-kolom bangku itu dengan RT kelas, jadi setiap RT memiliki Pak Rt dan Bu Rt masing-masing. Kelas Gian memang kelas yang paling kompak diantara kelas-kelas XII IPA yang ada disekolahnya, mereka menyebut kelas mereka dengan sebutan KOPLO (komplotan IPA *loro) loro dalam b.jawa adalah dua. Dan seperti biasa Gian datang paling pagi hal ini ia lakukan karena ia menjabat sebagai sekretaris kelas sekaligus pengabsen.
“Ian lu gak pake mantel apa?? Tuh seragam ampek basah kuyup gitu??” tanya Dimas teman sebangkunya.
“tadi tuh gerimis Dim gak ujan kok, lagian aku g suka ribet pake mantel tuh ribet tau” jawab Gian sekenanya.
“gerimis sih gerimis emang lu mau ntar kedinginan dikelas” ujar Dimas lagi.
“ealah Dim Dim wong yang basah kuyup aku kok kamu yang ribet sih hehe” jawab Gian tak mengubris pernyataan Dimas.
Lama- kelamaan kelas makin penuh, makin ramai. Apalagi ada Ratu KOEL sebutan bagi murid yang banyak ngomong dikelas. TET… TEEETTT…. TEEETT… bel masuk berbunyi mungkin hampir lengkap murid yang hadir, Gian melihat dengan seksama seisi kelas tampak seperti dia mencari-cari seseorang.
“heh cari sapa lu??” tanya Dimas saat melihat Gian kebingungan.
“si Andik mana???” jawabnya
“cie ngapain lu cari Andik?? Jangan-jangan kamu…”
“hasem lu!! Emang lu nggak tau aku disini peabsen, wajar donk??”
Tiba-tiba PRAK!! GUBRAK!! WADAWWW… suara dari sebelah pintu kelas, tampak Andik disana sedang duduk sambil memegang pahanya yang tadi terbentur meja sangat keras. Semua murid dikelas tertawa melihatnya, tanpa terkecuali Gian Bfnya.
Sambil meringis kesakitan dan malu, andik berjalan gontai menuju tempat duduknya di RT 4. Gian hanya melihatnya sambil tersenyum kecil. Pelajaran bahasa Indonesia mengawali hari itu, secara sembunyi-sembunyi ternyata sobat Gian, yaitu Nicko menaruh handycam di bagian jendela belakang jadi tampak seisi kelas terambil gambarnya dari handycam itu.
PLAY
“oke anak-anak untuk tugas akhir dan sebagai kenang-kenangan, saya minta kalian membuat sebuah novel terserah tentang apa dan dikumpulkannya bulan depan tanggal 7 januari yah? Novel terbaik nanti insyaallah ibu bantu untuk menerbitkannya.” Jelasnya saat memberikan tugas tersebut.
Gian mendengarkan dengan seksama dan tampak dari raut wajahnya dia sangat antusias dengan tugas itu. Karena menulis adalah salah satu hobbynya. Sepulang sekolah Gian tak langsung menuju parkir motor namun ia pergi ke ruang guru dan berharap Guru pembimbing Bahasa indonesia tadi belum pulang. Namun sangat disayangkan, beliau sudah pulang, akhirnya dengan berjalan lemas ia menuju parkir motor. Ternyata Andik Bfnya menunggunya disana.
“dari mana aja yank??” tanya Andik pada Gian.
“mau tanya and mau konsultasi sama Bu Siti, tapi dianya malah sudah pulang” jawab Gian sambil menunjukkan wajah melasnya.
“ya udah kan masih ada besok?”
“uda kepikir buat judul novel kamu nggak yank??”
“hehe aku g tw deh yank mau nulis apa, g jago nulis kayak kamu..”
“ayank seumpama judul novel aku ntar BILA SANG PENGABSEN, ABSEN SELAMANYA keren nggak yank?”
“eh jangan ngacok kamu yank, udah-udah jangan yang itu judulnya serem tau!!”
Mendengar ide Gian tadi Andik seperti mencuriga sesuatu, namun karena tak ingin ia membahas masalah tugas novel itu. Andik mengalihkan pembicaraan.
“eh iya yank tanggal 7 januari kan hari jadian kita, ehm aku dah buat beberapa kegiatan nie buat menyabut hari jadi kita ntar yank” sela Andik saat Gian melamun sedari tadi.
“oh ya apa aja kegiatannya yank” tanya Gian penasaran.
“rahasia dunk, mulai besok kegiatannya kita mulai, uda yuk uda sore ntar keburu ujan lagi”
Mereka berdua pun pulang, dirumah Andik tengah menyiapkan beberapa kegiatan yang akan mereka lakukan bersama. Sedangkan Gian dikamarnya ia mulai menulis beberapa paragraf yang akan ia susun menjadi sebuah novel untuk memenuhi tugasnya.
“Gian, hayoo makan dulu nak. Dari tadi belum makan kan kamu.” Panggil Ibu Gian yang menyuruh Gian makan.
“ia bu, bentar lagi, lagi nanggung nie bu..”
Jam 19.00, Gian keluar kamar, karena lapar ia langsung saja mengabil beberapa nasi dipiring dan 2 lauk ayam goreng kesukaannya. Dilahapnya dengan nafsu makanan itu, ayah Gian yang melihat sampai geleng-geleng.
“nak nak, kamu itu loh makannya banyak. Tapi kok ya nggak gemuk-gemuk” ujar ayah Gian ketika melihat anaknya dengan lahap makan.
“biarin lah yah, memang sudah dari sananya begini.. yang penting kan sehat, n g sampek mati” jawabnya
“eh hush!! Ngomong apa kamu Gian!! Uda dimakan terus langsung tidur dari tadi ayah liat kamu nulis terus di kamar nulis apa emang??”
“itu yah tadi Gian dapat tugas buat novel”
“oh ya uda kalo capek istirahat nak, jangan dipaksain.”
“siap komandan”
Setelah selesai makan dan selesai mencuci piring nya tadi, Gian langsung kembali ke kamarnya berbaring dan menarik selimutnya.
Sementara Andik, dengan giat dia bermain futsal bersama teman-temannya, Andik sangat menyukai olahraga, oleh karena itu badannya tegap dan lumayan kekar, 23.27 Andik dan kawan-kawannya pulang.
FORWARD
“Bu mau tanya dong bu,…”
Gian menanyakan beberapa hal tentang bagaimana membuat sebuah novel yang bagus dan menarik untuk dibaca kepada guru pembimbingn bahasa indonesianya.
“gian, baru kamu loh yang bela-belain dateng nyari ibu minta penjelasan tentang tugas novel ini. Semoga kamu bisa menciptakan sebuah novel yang bagus yah?”
“ea bu, amien mohon bantuannya juga yah bu”
“pasti nak, sudah disiapkan judul yang menarik?”
“sudah bu”
“kamu sudah bikin inti-inti dari cerita yang akan kamu buat seperti tahap perkenalan, permasalahan, klimaks, penyelesaian dan penutup cerita??”
“sudah juga,”
“bagus ya sudah kamu tinggal kembangkan, inti-inti cerita kamu itu nanti kalo ada kesulitan kamu bisa cari ibu lagi. Kamu juga boleh kalau kepingin maen kerumah ibu.”
“ia bu terima kasih banyak”
Sepulang dari sekolah, Gian dan Andik menjalankan misi kegiatan yang dirancang Andik selama beberapa hari untuk menyambut hari jadian mereka yang pertama.
“yank kita mulai kegiatannya dari huruf A” pernyataan Andik membuat Gian bingung.
“maksudnya yank?”
“ea huruf A kita melakukan beberapa kegiatan ditempat yang berawalan A tau melakukan kegiatan yang berawalan A”
“ehm gmana kalo kita ke Alun-alun kota yank??, kan huruf A.”
“ea sipz tempat pertama kali aku nyatain cinta ma kamu”
Mereka pun pulang kerumah masing-masing, diperjalanan pulang hujan mengguyur menghambat mereka berteduh disebuah rumah kosong dipinggir jalan disitu ada sebuah kursi kayu panjang yang sudah lapuk. Gian kedinginan, Andik mengambil jaket yang dia letakkan di jog motornya. Kemudian jaket itu ia berikan kepada Gian.
“ini pake jaketnya” kata Andik sambil memberikan jaketnya.
“kenapa nggak kamu pake aja, kamu juga butuhkan?”
“badan kamu lebih rentan kena penyakit sayang, aku nggak mau kamu sakit lagi”
“ehm.. makasih ya yank?”
“biasa aja akh sini aku peluk”
Tanpa malu-malu Andik memeluk Gian karena memang Cuma da mereka berdua disana,hujan sebenarnya belum reda tapi tinggal gerimis-gerimis saja. Gian meminta Andik untuk segera menstarter motornya dan berangkat pulang. Awalnya Andik menolak, tapi saat Gian bilang “kalau kita nggak cepet sampai rumah acara kita pergi ke alun-alun ntar malem g bakal jadi” Andik pun mengiyakan dan langsung membonceng Gian pulang.
Dengan seragam yang terlihat basah itu, Gian melenggang masuk kekamarnya. Setelah berganti pakaian ia berbaring dikasurnya, jam 16.45. Gian masih terlelap dikasurnya, suara Ibu Gian membangunkannya.
“Gian, tadi Andik telpon katanya abis magrib kalian mau pergi ya?”
“iya bu,”
“sudah mandi nak?? Kalo sudah cepat makan nak”
“ea bu Gian belum mandi ini mau mandi dulu”
“pake air hangat nggak nak? Ini dipake dulu air adek kamu, dia masih tidur”
“ea udah bu Gian pake dulu air hangatnya hehe”
Selesai mandi, 17.20 sehabis adzan magrib berkumandang.
“assalamualaikum” salam Andik dari pintu rumah Gian
“walaikum salam eh nak Andik, mari masuk nak. Ibu panggilkan Gian dulu”
Tak lama kemudian Gian muncul, dengan kemeja abu-abu, celana panjang dan sweter abu-abu yang masih ia pegang ditangan kanannya. Sejenak Andik menatap Gian dengan raut wajah keheranan.
“heh napa liat aku kayak gitu?” sapa Gian saat melihat Andik menatapnya.
“hehe, tumben kamu dandan serapi ini. Biasanya pake kaos oblong n celana tiga perempat aja kalo lagi jalan ma aku”
“Ibuuuu!!! Gian keluar dulu ya bu??” “iya nak hati-hati dijalan”
Mereka berdua berangkat, jam 18.30, mereka sampai di alun-alun nganjuk. Mereka berdua duduk di kursi taman tepat dibawah sorot lampu yang berwarna orange. Disana sejanak mereka terdiam, lalu tiba-tiba ada seorang pengamen datang menghampiri mereka.
“kebetulan bang, boleh request g bang??”
“ea mau lagu apa?”
“lagunya seventen yang judulnya hal terindah bang”
“oke siap”
Jreng. Jreng. Sampai saat ini rasaku bertahan disini rasa yang tak akan hilang oleh waktu.. saat pengamen itu menyanyi Andik ikut menyanyi sambil berjoget-joget bersama abang pengamen itu.. Gian yang melihatnya ikut tersenyum.. dan ketika liriknya sampai pada reff. Andik menarik Gian sambil menyanyi dengan kerasnya “tak terkira disampingmu adalah hal terindah yang pernah kuinginkan, tak terkira dipelukmu adalah hal terindah yang pernah kurasakan tak terkira memilikimu adalah hal terindah yang pernah kudambakan, tak terkira dekapanmu adalah hal yang pernah kudapatkan,tak kan rela melepasmu walau dihadapanmu ku kan terus menangis bahagia.” Seiring selesainya lagu itu Andik memeluk Gian dan Gian meresa malu karena dilihat abang pengamen itu. Lantas Gian memberi beberapa uang kepada pengamen itu.
“bentar ya aq beli makanan dulu” kata andik pada Gian.
“oke”
Sekembalinya andik, Gian tengah asyik berkutat dengan laptopnya. Bincang-bincang seputar sekolah mereka lakukan mulai dari ngebicarain tentang Guru Kimia yang killer dan ketakutan-ketakutannya saat pelajaran kimia berlangsung.
Sudah larut malam merekapun pulang, sebelum tidur Gian menulis kegiatannya bersama Andik tadi dalam tulisan novelnya. keesokan harinya jam pelajaran pertama yaitu Kimia. Pelajaran yang sebenernya menyenangkan namun karena gurunya yang killer suasana lebih mencekam dan menenggangkan. Seminggu yang lalu mereka diberi tugas untuk mengfalkan Sistem Periodik Unsur.
“Golongan IA Hari LIbur NAik Kuda RAbu CAmis Free” Gian berkomat-kamit menghafalkan SPU itu.
“Golongan IIIA Beli ALmond GAk INgat TeLur” Dimas teman sebangkunya tidak mau kalah.
Kemudian dari arah belakang bangku Gian.
“Golongan IVA Cewek SIapa GErangan SedaNg PuBer”
Nicko teman Gian juga tidak mau kalah tapi gara-gara itu teman-teman cewek dikelas pada ngeliat.
“ngapain pada ngeliat gue??” nicko bicara dengan polosnya.
Tiba-tiba guru kimia datang dan suasana yang tadi gaduh dengan sekejap menjadi hening. Semua duduk rapi, pandangan mereka tertuju pada guru kimia itu.
“gimana? Sudah siap??” suara guru kimia itu mengagetkan mereka.
“kok malah diam?!! Saya tanya sama kalian, sudah siap??” suaranya tampak meninggi sepertinya beliau marah, karena tak ada jawaban dari murid-muridnya.
“Siap bu” jawab serentak.
“tutup bukunya semua masukkan kelaci meja kalian, dimeja tidak ada barang apapun, lipat tangan kalian di atas meja, tidak ada suara lagi.”
Deg.. deg.. deg.. hhmmm hfuuu hmmm hfuuu yang terdengar hanya suara detak jantung dan hembusan nafas yang tidak beraturan.
“andik, sebutkan golongan VA” tanya guru kimia itu menganggetkan Andik.
“Nini Pelet ASal SuBuh Bingung” jawab Andik dengan cepat.
Semua siswa menahan tawa mereka, tampak wajah bu nanik guru Kimia itu memerah.
“ngomong apa kamu ndik??, maju kedepan”
Andik jalan menuju depan kelas, kemudian tanpa dikomando lagi ia mengangkat satu kakinya dan meletakkan tangannya diatas kepalanya, Gian yang melihat tampak iba. Satu persatu pertanyaan dilayangkan kepada masing-masing siswa dan tentu pertanyaanya semakin lama semakin sulit sehingga semakin banyak siswa yang berdiri didepan kelas.
“Gian, berapa nomor atom Zn” tanya bu nanik
Sebenarnya Gian tau tentu 30 jawabannya namun Gian ingin sama-sama dihukum bersama Andik didepan kelas.
“ehmm.. 23 bu” jawab Gian sekenanya
“goblok, maju kedepan”
Gian berjalan kedepan sambil tersenyum-senyum, ia berdiri disamping Andik dan melakukan hal yang sama dengan Andik. Mereka berdua tersenyum. Tett…. Tettt… tet… bel istirahat. Pelajaran Kimia selesai, semua siswa bernafas lega. Dan kembali melakukan aktivitas sewajarnya. Andik dan Gian pergi ke kantin. Namun ditengah jalan.
“eh yank shalat Dhu’ha dulu yuk” ajak Gian
“ide bagus yuk”
Mereka mengambil wudhu, dan shalat dhu’ha berjama’ah.
“ya allah berikanlah kemudahan dalam mengahadapi ujian nasional nanti dan berikanlah kesehatan pada kami ya allah..amien”
Setelah shalat mereka pergi ke kantin, Andik membeli 2 es krim untuk dimakan bersama. Mereka pergi ke belakang halaman sekolah disana mereka selalu menghabiskan jam istirahat. Berbagi cerita, bertukar ilmu pengetahuan. Kadang mengerjakan PR bersama disana.
“sepulang sekolah kegiatan yang berawalan B gmana kalo kita ke Bendungan Kali bening??” tawar Andik pada Gian.
“oke setuju,”
Untung hari itu cerah, dan setibanya mereka di Bendungan Kali Bening sangat tepat waktunya untuk melihat matahari terbenam, Andik memarkirkan motornya dan Gian berlari ke bebatuan dipinggiran bendungan itu. Duduk di batu besar, kemudian Andik menyusul. Mengalungkan tangannya pada bahu Gian menikmati indahnya matahari tenggelam, dan Gian memberi usul.
“foto-foto yuk” tawar Gian sambil mengambil hape jadulnya dan berfoto bersama dengan Andik.
Gian mengangkat kamera handphonenya dan Andik berpose piss!! Jepret!!!
Matahari tenggelam merekapun pulang, seperti biasa. Gian menuliskan kegiatannya bersama Andik dalam tulisan novelnya. Kali ini sambil memainkan jemarinya di keyboard Gian meneteskan airmata, entah apa yang dipikirkannya dan entah mungkin kebersamaanya bersama andik membuat terharu.
FAST-FORWARD
Keesokan harinya untuk Inisial C Gian dibuat penasaran oleh Andik, tentang kegiatan yang berhubungan dengan inisial C ini. Sepulang sekolah dihalaman belakang sekolah Gian dan Andik duduk direrumputan yang lumayan tinggi itu. Kemudian Andik berbaring, disusul Gian.
“liat deh, tampaknya langit akhir-akhir ini sangat bersahabat yah dengan kita” singgung Andik tentang suasana langit saat itu.
“iya yah, tiap hari selalu cerah. Eh apa sich yank untuk inisial C hari ini??”
“mau tau jawabannya?”
“iya dunk”
Andik mendekatkan kepalanya ke kepala Gian dan kemudian mendekatkan bibirnya ke bibir Gian, mereka berdua Ciuman. Dan ini pertama kali mereka lakukan selama mereka BF’an. Begitu mesra, sacara bergantian Gian mengecup bibir bagian bawah Andik dan kemudian Andik pun melakukan hal yang sama. Setelah cukup lama mereka ciuman, tiba-tiba gerimis datang dan semakin menambah keromantisan. Mereka berdua basah kuyup, dan akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Sesampainya dirumah Gian menuliskan hal-hal tersebut. Dalam novelnya itu 2 tokoh utamanya bukan laki-laki semua namun cewek dan cowok. Dalam akhir bait pada paragraf tersebut tertulis, Dangsin ttaemune eonjena haengbokhal subakke eomneun na…
Aku yang hanya bisa bahagia karenamu, kapanpun itu…
Untuk Inisial D hari ini, Gian dan Andik sama-sama bingung untuk menentukan kegiatan dengan inisial D. Tiba-tiba Gian menyampaikan idenya pada Andik.
“yank ehm untuk inisial D hari ini gimana kalau DAMAI”
“maksudnya yank??”
“kita cari tempat yang damai, yang tenang yang indah yang sejuk yank..”
“gimana kalo ke air terjun roro kuning??”
“oke siap langsung aja berangkat??”
“yank kalo kesana g boleh pake baju atau barang warna kuning itu kata temen-temen sich”
“terus kenapa??” “kamu kan lagi pake jaket kuning??”
“ayank percaya sama mitos yang begituan??”
“nggak juga sich tapi ambil amannya aja yank?” “ngak akh aku pengen pake jaket ini, ini jaket pemberian kamu kan yank.. yuk uda berangkat aja”
Mereka berangkat mencari tempat DAMAI, sesuai inisial untuk hari ini. Mereka sampai dengan selamat, dan tidak seperti mitos yang dikatakan teman-teman Andik tadi.
“owh iya yank di belakang air terjun ini kan ada DEER hehe”
“yuk kesana”
Mereka memberi makan Deer, foto-foto bersama dengan hewan yang satu ini. Saat Gian dan Andik duduk di bebatuan, Gian menyodorkan sebuah Flash disc.
“yank ehm ini flash dics aku itu ada novel aku yang belum jadi, hmm aku minta pendapat kamu. Dan kalo kamu bisa dikit-dikit tulis aja beberapa cerita disitu biar cepet jadinya hehe”
“oke-oke”
tiba-tiba gerimis. Mereka berdua berteduh disebuah gubuk kecil, tanpa sengaja Andik terpeleset dan tangan kanannya terkilir waktu menahan badannya. Gian mengurut-urut pelan tangan kanan Andik, ketika sudah reda. Mereka memutuskan untuk pulang. Kali ini Gian yang membonceng Andik.
“yank gak apa-apa kamu yang bonceng??”
“tenang gak apa-apa kok”
“kamu bisa kan? Aku takut”
“bismilahirohmanirohim”
Mereka pun pulang, ditengah perjalanan Gian kehilangan kendali saat turunan, dan didepan ada tikungan tajam. Gian mengerem karena jalanan licin mereka berdua tepental keras, Gian terpelanting menabrak pohon beringin dan Andik terkapar di pinggir jalan. Keadaan Gian tepat di bagian Pipinya tertembus sebuah ranting. Darah mengucur deras, untung ada yang langsung menolong. Mereka berdua dibawa kerumah sakit dan ditengah perjalanan karena darah yang dikeluarkan Gian terlalu banyak Gian tidak bisa diselamatkan. Dan andik belum sadarkan diri.
PAUSE
Dipemakaman Gian gerimis mengguyur, para pelayat memakai pakaian serba hitam. Andik dengan duduk disebuah kursi roda menahan tangis melihat pemakaman kekasihnya. Ia seperti menyesali ketidak percayaan akan sebuah mitos. Dia menyesali kemanjaannya karena hanya tidak bisa menahan sakit ditangan kanannya. Kali ini ia benar-benar menangis, tak bisa lagi ia tahan.
Seminggu setelah kejadian, kelas tidak lagi ber pengabsen, pengabsen yang selama ini selalu setia berangkat lebih awal dan selalu menanyakan “ada yang nggak masuk nggak teman-teman” atau terkadang “sapa yang membolos jam pelajaran ini”. Sekarang pengabsen itu benar-benar absen untuk selamanya.
Sebagai penghibur, setiap hari setiap waktu Andik menghabiskan waktu berkutat dengan laptopnya ia lanjutkan novel Gian yang belum sempat ia selesaikan. Sepulang sekolah Andik selalu pergi ke belakang halaman sekolah ia mengenang kejadian waktu pertama kali ia ciuman dengan Gian.
STOP
Tepat tanggal 7 januari sesuai jadwal. Novel karya Gian dan Andik berhasil diselesaikan, dan tepat saat itu adalah hari jadi yang pertama untuk kisah asmara mereka. Andik menatap nanar foto mereka berdua saat melihat matahari terbenam di bendungan kali bening. Hari demi hari terlewat Andik tak bisa melupakan Gian hingga akhirnya ia jatuh sakit. Ia terserang Demam Berdarah sekaligus Typus. Dirumah sakit ia tak mau makan, setiap ia memakan sesuap saja perutnya tidak bisa menerima. Seorang temannya datang menjenguk.
“Bro novel kalian udah terbit, yang ini kan novel kalian masuk best seller bro. Laku banyak dipasaran selamat ya bro??” sambil menunjukan sebuah novel berjudul BILA SANG PENGABSEN, ABSEN SELAMANYA dengan gambar sebuah pena dan sebuah buku absen, dengan latar belakang warna abu-abu.
Andik tersenyum, ia hanya melihat dan membaca bagian belakang yang ia tulis.
Dangsin ttaemune eonjena haengbokhal subakke eomneun na…
Aku berharap kita bisa bertemu lg secepatnya…
Andik tersenyum manis walau bibirnya pucat sekali. Malam hari Andik tidur mengadap kekanan, sambil memeluk novel itu dibibirnya terukir senyum manis dan ia menghembuskan nafas terakhir.
Happy reading kawan like dan komentnya jgn lupa #choi

Ribbon (Oneshoot)

By : Sa-chan
Admin : ‪#‎Revan‬
Like dulu baru baca...
Habis baca kasih kritik dan saran , wokey ?
Happy reading yah..
Suasana di pagi hari sudah di ributkan oleh bunyi piring dan beberapa benda lainnya, membuat orang lain terbangun dan berusaha membuka matanya yang berat karena masih mengantuk. Padahal baru dua jam lalu dia tidur dan sekarang di bangunkan oleh suara bising tersebut. Akhirnya pria muda tersebut bangun dan menyingkapkan selimut yang di pakainya dan keluar dari kamarnya. Kulitnya yang putih bersih tanpa cela, memakai piyama tidur berwarna hitam tidak bercorak terlihat sedikit agak norak.
Rambutnya yang agak acak – acakkan tidak membuat wajahnya yang bersih terlihat kusam, hanya saja terlihat kantung mata yang terlihat jelas di kedua matanya.
“Haruse ? Sedang apa ?” tanya pria muda tersebut masih berdiri di dekat daun pintu dapurnya.
Pria lain yang di panggil Haruse tersebut menoleh, lalu tersenyum pelan dan kembali berbalik ke dalam kegiatannya.
“Kau sudah bangun, Shinya ?” tanya balik Haruse.
“Kenapa pagi – pagi sekali ? Bukankah kau sudah mendapatkan libur ?” tanya Shinya lagi masuk ke dalam dapur dan melihat apa yang sedang di kerjakan oleh Haruse.
“Aku ada pekerjaan lagi” jawab Haruse semangat.
Shinya terbelalak kaget mendengar jawaban sang kekasihnya tersebut. Fujiomi Haruse dan Wataru Shinya sudah tinggal bersama sejak delapan tahun lalu ketika mereka masih duduk di bangku kuliah. Kini mereka berdua sudah mendapatkan pekerjaan yang disukai masing – masing. Komitmen untuk selalu bersama akhirnya menjadi pilihan mereka berdua dan berujung menjalin kasih.
Shinya yang seorang sekretaris direktur di sebuah perusahaan besar membuat jadwalnya yang cukup sibuk dan selalu bentrok dengan Haruse. Sedangkan Haruse yang seorang Arkeolog muda berbakat membuatnya selalu bepergian ke luar kota bahkan sampai luar negeri. Shinya selalu mengerti dengan keadaan Haruse yang selalu sibuk akan pekerjaannya, karena menjadi seorang Arkeolog adalah mimpi Haruse sejak kecil.
Pertemuan pertama mereka yang tidak di sengaja karena mengambil sebuah buku bersamaan di sebuah perpustakaan. Itulah awal perkenalan mereka yang berbuah manis dan terjalin seperti sekarang ini. Haruse yang tidak terlalu peka dengan sekelilingnya selalu membuat Shinya harus menjelaskannya dengan detil. Meskipun begitu, Shinya tetap menyayangi Haruse karena ketidak pekaannya tersebut.
Shinya hanya menarik nafas berusaha mengontrol perasaannya.
“Kali ini kemana ?” tanya Shinya lagi.
“Swiss” jawab Haruse singkat masih sibuk dengan perlengkapannya yang banyak sambil memasukkan ke dalam tas ranselnya.
“Berapa lama ?” tanya Shinya masih terlihat tidak tertarik namun hatinya sudah cukup emosi karena Haruse sama sekali tidak pernah mengerti perasaannya.
“Entahlah, perusahaanku tidak memberitahu berapa lamanya. Hanya saja ini akan menjadi proyek terbesarku selama lima tahun ini, Shinya” lanjut Haruse menatap Shinya dengan berbinar – binar sambil memegang bahunya.
Shinya hanya menatap datar Haruse, sedangkan sang kekasih terlihat bingung dengan respon yang di berikan oleh Shinya.
“Ada apa Shinya ? Kau tidak senang ?” tanya Haruse balik.
“Kau baru saja sampai di Jepang dua hari lalu dan sekarang kau ingin pergi lagi” jawab Shinya pelan melepas pegangan tangan Haruse di kedua bahunya lalu keluar dari dapur.
Haruse langsung keluar dari dapur dan duduk di sebelah Shinya yang tidak biasanya marah seperti ini. Memeluk tubuh kecil Shinya dari belakang dan mencium tengkuknya, namun tidak membuat Shinya menoleh ke arah Haruse.
“Setelah pulang nanti aku berjanji akan membuat kejutan untukmu” bisik Haruse di telinga Shinya.
Shinya masih terdiam bisu antara sedih dan senang namun dia tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Dia tidak pernah berpikir ingin melarang Haruse agar tetap tinggal bersamanya dan mencampuri urusan pekerjaannya. Hanya saja Shinya sudah terlalu lama menunggu dan dia berpikir Haruse sama sekali tidak mencintainya selama ini.
Sebelum Haruse melanjutkan ucapannya, Shinya berbalik dan menatap Haruse.
“Aku mengerti, tidak usah khawatir yang penting kau harus selalu hati – hati di sana” balas Shinya tersenyum samar dan memeluk leher Haruse.
Haruse agak terkejut dengan perubahan sikap Shinya yang membuatnya selalu nyaman. Entah sejak kapan Haruse selalu berusaha menyenangkan Shinya walaupun kekasihnya tersebut tidak pernah meminta apa – apa darinya. Selama ini hanya Shinya yang mengerti dirinya, bahkan orangtuanya sendiri tidak pernah mengijinkannya untuk mengambil kuliah jurusan Arkeologi.
Flashback
Ketika kuliah dulu dia hanya sendirian di Tokyo dan tidak mempunyai teman. Dengan uang ala kadarnya Haruse lebih memilih menetap di asrama kampusnya untuk mengirit pengeluaran. Beberapa minggu yang hampa, tanpa di sengaja dia berkenalan dengan Shinya yang waktu itu adalah kakak seniornya di jurusan Administrasi. Meskipun Shinya adalah senior Haruse di kampusnya dia sangat menghormatinya karena sikap dewasa dan mandiri yang dimiliki oleh Shinya.
Walaupun berbeda jurusan mereka selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu ketika jam makan siang atau ketika bolos kuliah. Lima bulan saling kenal Shinya duluan yang mengajak Haruse untuk tinggal bersama karena biaya asrama yang makin mahal dan banyaknya pengeluaran yang harus di tanggung oleh Haruse karena jurusannya yang cukup mahal. Sebelumnya Shinya mengatakan dia tidak perlu membayar uang sewa, karena kebetulan apartemen tersebut adalah milik pamannya. Shinya juga yang membuat Haruse mempunyai pekerjaan part time yang cocok dengan jadwal perkuliahannya tersebut.
Terkadang Haruse merasa terlalu bergantung pada Shinya, namun kekasihnya itu tidak pernah meminta balasan apapun, hanya ingin Haruse selalu di sisinya. Tidak lama kemudian Shinya sendirilah yang mengakui orientasi seksualnya dan mengakui perasaannya pada Haruse dengan mata berkaca – kaca saat itu. Shinya berpikir dia tidak mungkin bisa mendapatkan hati Haruse dengan kebaikannya tersebut, namun dia salah Haruse malah memberikan anggukan dengan cepat dan memeluk tubuh Shinya erat.
“Kau serius ?” tanya Shinya masih dengan air mata di berlinang di pipinya berada di pelukan Haruse.
“Kau tidak percaya padaku ?” tanya Haruse balik.
“A ... Aku percaya, jangan pergi Haruse !” seru Shinya makin erat memeluk tubuh besar Haruse di depannya.
End Flashback
Haruse hanya tersenyum simpul mengingat masa – masa dulu ketika dia masih melakukan penelitian di Jepang, belum terlalu luas jangkauannya hingga saat ini. Dia tahu Shinya juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris direktur dan terkadang dia agak cemburu karena sangat akrab dengan direktur perusahaannya tersebut.
“Hei, kenapa ada yang mengeras di bawah sini ?” tanya Shinya menyadarkan lamunan Haruse yang seketika sadar wajah Shinya yang sudah memerah.
Posisi mereka adalah Shinya duduk di pangkuan paha Haruse sambil memeluknya, jelas Shinya dapat merasakan sesuatu di bawah celana kekasihnya tersebut berontak mengenai bokongnya.
“Ma ... Maafkan aku Shinya ... aku .. “ ujar Haruse terpotong karena Shinya sudah mencium bibirnya lembut.
Tak dapat mengelak Haruse menerima serangan cepat tersebut dan menikmati bibir tipis Shinya yang selalu menaikkan birahinya seperti saat ini. Tangannya langsung menjalar ke dalam tubuh ramping Shinya yang mulus dan putih tersebut. Ciuman mereka makin liar karena Haruse sudah memasukkan lidahnya ke dalam mulut Shinya yang membalasnya kembali.
Ketika tangan Haruse menyentuh nipplenya, Shinya langsung terkejut dan membuka matanya sambil masih berciuman dengan Haruse. Berusaha melepaskan diri dari dekapan Haruse yang makin memelintir nipple kirinya dengan lembut. Piyama yang di pakainya sudah tidak tersusun rapi, lalu Haruse mengakhiri ciuman mereka yang liar dan beralih ke arah tengkuk Shinya yang sangat di sukainya.
“Hentikan Haruse, bukankah nanti kau tertinggal pesawat ?” tanya Shinya mengatupkan mulutnya yang tidak pernah berhenti mendesah ketika tiap kali Haruse menyesap tengkuknya.
“Aku masih punya waktu dua jam lagi, lagipula beberapa bulan ke depan aku tidak bisa memelukmu, Shinya” jawab Haruse masih fokus dengan kegiatannya dan beralih ke depan dan membuka bagian atas piyama yang di pakai oleh Shinya.
Langsung saja Haruse menggigit pelan nipple Shinya yang menggodanya tersebut dan membuat Shinya terpekik pelan. Shinya tidak bisa berbuat apa – apa hanya menikmati perlakuan lembut dari Haruse yang membuatnya melambung tinggi. Perasaannya mengatakan dia masih bisa merasakan kasih sayang dari Haruse walaupun ketika mereka hanya bercinta.
It’s only been twenty good minutes since i kissed you.
Come back boo, i miss you.
Wish i had twenty million hours to caress you.
And undress you, to be continued.
Boy you, you don’t know how it feels when you whisper in my ear.
Boy you, you give my body chills, whenever you are near.
And boy i got your lovin’ on my mind.
I got your lovin’ on my mind.
You got me wrapped up, packed up.
Ribbon with a bow on it.
***
Sudah hampir enam bulan semenjak kepergian Haruse ke Swiss untuk melanjutkan penelitiannya dalam bidang Arkeologi. Shinya masih tetap dengan kesibukannya tiap hari, pergi ke kantor dan mengurusi setiap agenda harian direkturnya. Terkadang Shinya mengambil lembur hanya untuk menghabiskan waktu di kantor daripada di apartemen miliknya yang sepi tanpa keberadaan Haruse. Beberapa kali Shinya mendapatkan kiriman paket beberapa barang dari Swiss yang diberikan oleh Haruse. Entah sudah beberapa paket yang tidak pernah dia buka dan dibiarkan begitu saja di ruang tamu menumpuk. Rasa rindunya sudah tidak terbendung dan tangisnya sudah tidak dapat di tahan lagi untuk saat ini.
“Ada masalah apa Wataru ?” tanya sang direktur yang meliriknya sebentar.
Dengan cepat Shinya mengelap matanya dan kembali fokus dengan pekerjaannya tidak menatap ke arah direktur.
“Tidak apa – apa, Direktur” jawab Shinya pelan, namun airmatanya tidak berhenti menetes membuat Shinya kaget.
“Ini pakai saputangan” lanjut sang direktur, Nozawa Gao memberikan saputangannya kepada Shinya.
“Ti ... Tidak usah, direktur saya tidak ingin mengotori saputangan Anda” balas Shinya sopan, namun tidak di sangkanya sang direktur menyeka airmata yang masih membekas di pipi Shinya dengan saputangannya.
“Jika kau masih bekerja, selesaikan dulu tangisanmu” ujar Gao, meletakkan saputangannya di atas meja Shinya dan keluar dari ruangan mereka.
Shinya menatap lesu saputangan pemberian direkturnya tersebut. Dengan corak bunga di pinggiran saputangan tersebut sangat mirip dengan saputangan milik Haruse ketika mereka masih kuliah dahulu. Direkturnya itu terlalu baik padanya, bahkan sebenarnya Gao sudah tahu tentang orientasi seksual Shinya dan hubungannya dengan Haruse. Shinya berpikir pasti Gao sudah mencapnya sebagai pria cengeng dan tidak berpendirian, membuatnya cukup malu ketika berpapasan dengan direkturnya lagi nanti.
***
Bunyi ponsel berdering tanda pesan singkat masuk dari ponsel Haruse yang berada di sakunya bergetar hebat. Dirinya yang sedang meneliti di sebuah situs arkelolog yang cukup terkenal di Swiss akhirnya meminta ijin untuk istirahat sebentar. Duduk di sebuah kursi yang di lindungi oleh sebuah payung berukuran besar agar menjadi tempat yang teduh karena daerah sekeliling tempat tersebut cukup panas. Membuka ponselnya dan melihat siapa yang mengirimnya sebuah pesan, tidak melainkan sebuah gambar seseorang.
Sender : Gao Nozawa
Subject: Aku harap kau tidak akan pulang, biarkan aku yang menjaga Shinya.
Gambar tersebut menampilkan sosok yang sangat dikenalnya sedang menangis sambil memegang saputangan milik teman kuliahnya dulu. Haruse terlihat terkejut saat melihat gambar tersebut, emosinya tersulut ketika membaca isi pesan dari gambar tersebut. Sejak masa – masa kuliah dulu Haruse dan Gao memang selalu bersaing agar mendapatkan perhatian dari Shinya. Tetapi, akhirnya Haruse yang sangat dekat dengan Shinya, bahkan menjadi kekasihnya sampai saat ini.
Makanya ketika mendapat tawaran bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang baru di bangun oleh Gao, Haruse tidak setuju. Namun, Shinya meyakinkan bahwa tidak akan ada yang terjadi pada dirinya dan Gao, hanya sebatas atasan dan bawahan.
“Hei, Fujiomi kemarilah !!” panggil atasan Haruse dari arah belakang membuyarkan lamunannya.
Dengan agak berat, Haruse memasukkan ponselnya ke dalam tas ranselnya dan tidak di bawanya ke tempatnya bekerja agar pikirannya tetap fokus. Haruse tidak pernah meragukan cinta Shinya padanya, meskipun sudah sejak beberapa tahun lalu mereka jarang bertemu dan berkomunikasi karena pekerjaannya yang sangat sibuk. Lagipula ketika pekerjaannya yang saat ini sudah selesai, Haruse akan memberikan kejutan pada Shinya tentang komitmen mereka yang sejak dahulu sudah di rencanakan oleh Haruse.
***
“Kenapa tiba – tiba Anda mengajak saya makan di luar, Direktur ?” tanya Shinya dengan nada sopan.
“Kita sudah selesai bekerja, hentikan panggilan formalmu itu, Shinya” jawab Gao menuangkan wine ke gelas Shinya dan miliknya.
Shinya tidak membalas hanya bisa menunduk dan merasa malu ketika sedang berduaan seperti sekarang ini bersama teman sejak kecilnya. Nozawa Gao memang teman sepermainan Shinya sejak kecil, mereka bertemu kembali ketika kuliah dan tidak disangka dia sekarang bekerja untuknya.
Kedekatan mereka berdua memang selalu di kaitkan karena orangtua Gao dan Shinya adalah partner bisnis dan tentu saja, kedua orangtua Shinya sangat senang ketika Gao menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris pribadinya kepada Shinya. Karena tidak mempunyai anak perempuan, orangtua Shinya merekomendasikan agar menikah dengan Gao agar hubungan bisnis antar keluarga makin erat dan besar. Memang permintaan yang agak aneh namun, keluarga Gao juga tidak menolak dan memberi kesempatan pada Shinya untuk berpikir kembali.
Namun langsung di tolak mentah – mentah oleh Shinya dan mengatakan bahwa dia sudah mempunyai kekasih. Tentu saja kedua orangtua Shinya marah besar dan tidak mengakui Haruse sebagai kekasih Shinya walaupun sudah di pertemukan ketika wisuda beberapa tahun lalu. Meskipun begitu, Shinya tidak mau melepaskan kesempatan begitu saja untuk menjadi seorang sekretaris karena pekerjaan tersebut adalah salah satu yang ingin di pelajarinya.
Gao juga tidak pernah membicarakan hal pernikahan bisnis tersebut lagi di hadapan Shinya, hanya saja selalu menggoda hubungannya dengan Haruse.
“Haruse sudah menghubungimu ?” tanya Gao lagi memberikan gelas yang sudah berisi wine pada Shinya.
Shinya menggelengkan kepala pelan hanya menatap gelas yang berada di depannya tersebut.
“Kau yakin dia masih mencintaimu, Shinya ? Aku yakin dia hanya memanfaatkanmu selama ini agar cita – citanya tercapai” ujar Gao lagi masih memainkan gelas winenya sambil di putar – putar.
“Tolong jangan berkata seperti itu, Nozawa-san, mungkin saja Haruse sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi dia tidak sempat menghubungiku” balas Shinya beralih menatap Gao datar.
Gao menaikkan alisnya satu melihat Shinya memanggilnya dengan nama keluarganya.
“Ini aku kembalikan saputanganmu, terima kasih sudah mengkhawatirkanku” lanjut Shinya meletakkan saputangan dengan corak bunga di pinggirnya di atas meja.
Gao terdiam sebentar, lalu mengambil saputangan miliknya dan mencium aromanya yang sudah wangi kembali.
“Aku tidak pernah mengerti kenapa kau begitu menyukai Haruse ?” tanya Gao menatap Shinya tajam.
“Bukan menyukainya, tapi mencintainya harus kau ralat itu, Nozawa-san” jawab Shinya cepat.
Gao tersenyum kecil lalu meneguk wine yang berada di tangannya lagi.
“Aku yang lebih dulu mengenalmu daripada Haruse, ... “ ucapan Gao terpotong karena Shinya sudah berbicara duluan.
“Tapi kau tidak pernah berada di sisiku, menyemangatiku, menemaniku di saat aku susah dan Haruse menerimaku apa adanya, bukan karena harta orangtuaku” tukas Shinya dengan nada tegas.
“Terkadang kami sering berselisih pendapat dan bertengkar, tapi itulah komitmen kami berdua. Aku tidak mau Haruse mencari persamaan di dalam hubungan kami ini, sebuah ikatan percintaan adalah menyatukan perbedaan bukan persamaan” lanjut Shinya menarik nafas pelan dan berdiri.
“Haruse benar – benar mencintaimu, Shinya” gumam Gao pelan saat melihat ponselnya yang bergetar dan menerima pesan gambar dari seseorang.
“Apa ?” tanya Shinya bingung, namun di balas gelengan kepala oleh Gao dan mereka berdua kembali ke gedung kantor untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Sometimes we argue and we fight.
But they better know that, that’s my baby.
You might even think he cute.
But everybody know knows that i’m his lady.
Everytime you see us, we super fly.
So proud he’s by my side.
He knows i’m ride or die.
Holla at your people.
Boy you, you don’t know how it feels when you whisper in my ear.
Boy you, you give my body chills, whenever you are near.
And boy i got your lovin’ on my mind.
I got your lovin’ on my mind.
You got me wrapped up, packed up.
Ribbon with a bow on it.
Boy i’m all wrapped up in you.
You make me feel so unloose.
Tell me what i’m suppose to do.
When you’re not around.
Beberapa minggu setelah kejadian waktu di restoran waktu itu, Shinya agak menjaga jarak dari Gao. Namun, sepertinya sang direktur tidak perduli akan tanda yang di berikan oleh Shinya. Gao tetap bersikap biasa pada Shinya dan tidak menghambat setiap pekerjaannya.
“Kau mau membawaku kemana, Nozawa-san ?” ketus Shinya menatap ke arah Gao yang tidak berhenti tersenyum sejak dari kantornya tersebut.
Gao tidak menjawab masih fokus ke arah jalan, tepatnya menuju ke bandara Narita. Shinya hanya mendengus kesal karena tidak menjawab pertanyaan dari sang direktur, tidak biasanya Gao bersikap pemaksa seperti ini terhadap dirinya, pikir Shinya.
“Kita sampai” ujar Gao tenang dan keluar dari mobil di ikuti oleh Shinya.
“Siapa yang akan kau temui, Direktur ? Seorang klien ?” tanya Shinya masih penasaran.
Sejenak Gao menatap ke arah Shinya lalu tersenyum kecil dan tidak menjawab pertanyaan sekretarisnya tersebut, malah masuk ke dalam bandara. Shinya mengerutkan dahinya tidak mengerti dengan sikap Gao yang aneh hari ini. Menarik nafas pelan dan merapikan setelan pakaiannya yang agak berantakan agar terlihat rapi saat bertemu seseorang yang ingin di temui oleh sang direkturnya itu.
Gao berdiri di depan pintu kedatangan yang sudah di penuhi orang banyak untuk menemui kerabat atau kenalan mereka masing – masing sambil membawa spanduk atau kertas yang di angkat tinggi di atas kepala.
“Kau tidak menyuruhku apapun, apakah klien itu tahu kita akan menjemputnya ?” tanya Shinya menengok ke arah Gao sekali lagi berusaha mendapatkan jawaban.
Tiba – tiba Gao menarik tangan Shinya, lalu memeluknya erat membuat Shinya terkejut setengah mati, lalu ada suara kecil yang di kenalnya menyebut namanya dari arah asmping.
“Shinya ?” ucap orang itu pelan.
Refleks Shinya menengok dan melihat ke arah tersebut dan terbelalak kaget. Lalu dengan kasar mendorong tubuh besar Gao yang memeluknya hingga terjerembah ke lantai membuat orang di sekitarnya menatapnya dan berlari ke arah orang yang memanggil namanya tersebut.
“Kasar sekali dia, ... “ gumam Gao mengelus bokongnya yang sakit lalu berdiri dan tersenyum senang melihat pemandangan di depannya.
“Haruse ... “ ujar Shinya pelan memeluk kekasihnya tersebut erat.
“Shinya ... Kau dan Gao ?” tanya Haruse pelan tidak membalas pelukan Shinya dengan nada sedih.
“Maksudmu ?” tanya Shinya balik.
“Apakah aku sudah terlambat untuk membuatmu menjadi milikku seutuhnya ?” tanya Haruse lagi.
Shinya berpikir keras untuk mencerna perkataan yang di lontarkan oleh Haruse, lalu menoleh ke arah Gao yang melambaikan tangan kepadanya dan mengerti maksud dari ucapan Haruse.
“Jangan berpikiran yang tidak – tidak, Nozawa-san tadi tiba – tiba memelukku tanpa alasan, itu saja tidak lebih” jawab Shinya meyakinkan Haruse yang menatapnya dengan berkaca – kaca.
Shinya kembali memeluk tubuh atletis milik Haruse yang di sukainya dan menghirup aroma tubuhnya kuat – kuat seakan tidak percaya bahwa dia sudah kembali.
“Aku rindu padamu Haruse, sudah lebih dari delapan bulan sama seperti saat kita pertama kali bertemu” lanjut Shinya.
Haruse melepaskan pelukan Shinya dan beralih ke tasnya mengambil sesuatu dari sana dan menunjukkan sebuah kotak putih berukuran kecil kepada Shinya.
“Apa ini ?” tanya Shinya bingung menatap Haruse.
“Bukalah” jawab Haruse singkat.
Lalu Shinya membuka kotak tersebut dan terlihat dua buah cincin putih berkilau dengan berlapiskan permata bening bercahaya dan sebuah pita merah.
“I ... Ini ... ?” kaget Shinya menatap Haruse lagi.
“Maukah kau menikah denganku Shinya ?” tanya Haruse menggenggam tangan Shinya dengan erat.

Tak terasa airmata sudah membasahi pipi Shinya dan membuatnya terkejut.
“Ma ... Maafkan aku, .... kukira kau tidak akan pernah mengatakan hal tersebut padaku, Haruse” jawab Shinya.
“Tentu saja aku bersedia, aku sudah lama menunggu hal itu” lanjut Shinya tersenyum dengan airmata berlinang.
“Aku akan memberikan sepanjang hidupku untukmu, Shinya. Tidak ada yang lebih berarti untukku jika kau tidak ada di sampingku dan ... “ ujar Haruse sebelum melanjutkan ucapannya dia memasangkan pita merah yang berada di dalam kotak tersebut ke rambut Shinya yang sudah cukup panjang mengikatnya seperti simpul.
“Pita ini akan selalu membungkusmu dan aku akan menjadi milikmu seutuhnya, Shinya. Pekerjaanku sudah berakhir dan aku sudah kembali pulang tidak akan pergi kemana – mana lagi” lanjut Haruse mencium Shinya lembut.
Shinya tidak bisa membendung perasaannya lagi, penantiannya selama hampir sembilan tahun tersebut tidak sia – sia dan berbuah manis untuknya. Kesabaran memang ada batasnya, namun jika kau bisa mengontrolnya kau akan mendapatkan kejutan terbaik di penantian terakhirmu tersebut.
Got ribbon with a bow on it baby.
Boy you don’t even know the things you do.
I could spend my whole life with you.
I got your lovin’ on my mind.
Baby i could spend my life with you.
It’s been twenty good minutes since i kissed you.
Come back boo, i miss you.
The End
Credit Title : Song by Mariah Carey ( Ribbon ).
Thanks a lot ^^
#Revan

Persembahan Terakhir (Oneshoot)



By : Ali alvent phoenix
Admin : Revan
Jangan Lupa Like dan Comentnya yaa Kawan
Jangan jadi pembaca gelap...
Daffa duduk di pojokan kamarnya sambil menangis tersedu-sedu. Sesekali dia memegangi dada sebelah kirinya. Tangan Daffa mengusap air mata yang membasahi pipinya kemudia dia mengeluarkan HP-nya. Dia tampak sedang memandangi foto-foto yang ada dalam album HP-nya itu. Ya. Itu adalah foto-fotonya bersama Arga, belahan jiwanya, dan cinta sejatinya. Dalam foto itu Daffa dan Arga terlihat sangat bahagia. Senyum manis mereka selalu ada pada setiap foto yang ada. Daffa pun mengingat kembali saat pertama dia bertemu dengan Arga.
***
Suatu ketika Daffa pergi ke sebuah toko buku. Daffa ini sangat suka baca buku. Dia memilih jalan-jalan ke toko buku ketimbang jalan-jalan ke mall. Banyak sekali buku yang ada disana. Mulai dari novel, majalah, kamus, buku cerita, dan lain-lain. Nah! Kalau Daffa ini paling suka baca novel. Hampir semua jenis novel dia suka. Di rumahnya pun banyak sekali koleksi novel hasil karangan penulis-penulis besar.
“Mantap banget nih, novelnya kece-kece,”gumam Daffa. “Boleh dibaca nggak, ya?”tanya Daffa pada dirinya sendiri. “Mbak, novelnya boleh dibaca dulu nggak ?”tanya Daffa pada seorang Mbak-Mbak penjaga toko buku itu.
“Maaf, mas! Sayangnya nggak boleh,”ternyata Mbak pelayan toko itu tidak memperbolehkan.
“Ayolah, Mbak! Boleh, ya,”Daffa memohon-mohon.
“Aduh, mas! Ini itu toko buku, bukan perpustakaan,”si Mbak tetep nggak mengizinkan. Daffa pun meninggalkan si Mbak itu dan kembali melihat-lihat buku.
Daffa mendapatkan buku yang sangat bagus menurutnya. Dia pun membawanya ke kasir. Braakkk….Daffa menabrak seseorang. Tampaknya tabrakan itu terjadi karena Daffa asyik memandangi bukunya tanpa melihat ke depan, sedangkan orang yang menabrak Daffa juga asyik dengan bukunya. Buku yang mereka pegang berserakan di lantai. Ada beberapa orang yang memerhatikan mereka, namun orang-orang tersebut kembali sibuk dengan buku yang ada di rak.
“Aduh! Sorry! Gue nggak sengaja,”cowok di depan Daffa meminta maaf padanya.
“Nggak apa-apa. Tadi gue juga nggak lihat lo ada di depan gue,”sambung Daffa.
“Lo suka baca buku juga, ya?”tanya cowok itu.
“Ya gitu, deh,”jawab Daffa.
“Eh! Ini kan novel terbaru,”cowok itu mengembalikan buku Daffa yang tadi dia pungut.
“Iya, nih. Gue ngefans banget sama penulisnya. Karya-karyanya itu luar biasa banget,”kata Daffa setelah menerima kembali novelnya.
“Gue juga ngefans abis sama penulis itu. Menurut gue novel karyanya itu beda sama novel-novel lain. Eh! Menurut lo maksud dari judulnya itu apa, ya? Gue penasaran banget,”jawab cowok itu.
“Nggak tau juga sih. Gue juga penasaran abis. Tadi ada dua judul buku, tapi yang ini bikin gue penasaran. Makanya gue langsung ambil, deh,”jelas Daffa.
“Sebenarnya sih, gue juga ngincer itu buku, tapi sudah keduluan sama lo, jadi gue lepas aja lah buat lo,”kata cowok itu.
“Heem…kalau lo mau, lo ambil aja!”kata Daffa.
“Nggak usah. Nanti biar gue nyari sendiri di toko buku lain,”cowok itu menolak tawaran dari Daffa.
Daffa hanya tersenyum sambil manggut-manggut, sedangkan cowok itu tersenyum sambil membetulkan kacamatanya.
“Lo beli buku dongeng? Banyak banget lagi,”tanya Daffa.
“Selain novel dan kumpulan cerpen, gue juga suka banget sama buku dongeng. Gue beli banyak buku dongeng, soalnya mau gue sumbangin ke panti asuhan,”jelas cowok berkacamata itu.
“Ini cowok sudah manis, hatinya baik banget lagi,”bisik Daffa dalam hati.
“Eh! Kita belum kenalan, kan? Kenalin gue Arga Syahreza”cowok itu mengajak jabat tangan.
“Jadi dari tadi kita ngobrol panjang lebar, kita belum kenalan, ya. Gue Daffa Wijaya,”kemudian Daffa menjabat tangan Arga.
Mereka pun berjalan bersama menuju kasir untuk membayar buku yang mereka beli. Kebetulan mereka searah, jadi Daffa mengajak Arga untuk pulang bareng naik mobilnya. Akhirnya sampailah mereka di rumah Arga.
“Makasih, ya, Daff, sudah dianterin pulang,”kata Arga.
“Sama-sama, Ga,”sambung Daffa. Arga pun bersiap untuk turun. Dia melepas sabuk pengaman yang dia pakai. Saat dia hendak turun, tiba-tiba Daffa menghentikannya dengan memegang tangannya.
“Maaf, Ga! Gue nggak bermaksud macam-macam,”Daffa melepaskan genggamannya terhadap tangannya Arga.
“Nggak apa-apa lagi,”kata Arga.
“Nih! Buat lo, Ga,”Daffa menyodorkan buku yang baru saja dia beli pada Arga.
“Beneran buat gue? Terus lo gimana? Katanya lo penasaran sama buku ini?”tanya Arga.
“Sudahlah, ambil aja!”bujuk Daffa.
“Makasih banget, ya, Daff,”Arga pun menerima buku pemberian Daffa itu.
“Ga, kalau lo ke panti asuhan, gue ikutan, ya,”kata Daffa.
“Oke. Eh! Gue minta nomor lo, dong,”seru Arga sambil menebar senyum pada Daffa. Daffa pun memberikan nomor HP-nya pada Arga, begitu juga dengan Arga, dia pun turut memberikan nomor HP-nya pada Daffa.
Semenjak itu Daffa dan Arga jadi sangat akrab. Ternyata mereka itu kuliah di kampus yang sama, jadi mereka selalu berangkat dan pulang bareng. Mereka juga sering ngobrol berdua di taman. Sampai-sampai teman kuliah mereka beranggapan kalau mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Banyak sekali yang ngiri sama mereka. Soalnya dimana ada Daffa disitu pasti ada Arga. Selain berduaan di kampus, Arga dan Daffa juga sering jalan bareng, makan bareng, nonton bareng, dan ke toko buku juga bareng.
***
Arga tampak sedang asyik bergurau dengan Tania, Sammy, dan Dinda. Mereka tertawa bersama. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Pip..pip..ada SMS yang masuk ke HP Arga dan SMS itu dari Daffa.
“Ga, gue minta sekarang lo temuin gue di kebun belakang kampus! Ada yang mau gue omongin ke lo,”kata Daffa dalam SMS itu.
“SMS dari siapa sih? Serius banget bacanya,”tanya Dinda.
“Pasti dari Daffa, ya?”goda Tania. Arga hanya tersenyum. “Tuh, kan, bener,”tambah Tania.
“Gue cabut dulu, ya,”Arga bangkit dari duduknya.
“Mau kemana lo?”tanya Sammy.
“Ada, deh,”jawab Arga singkat kemudian meninggalkan teman-temannya.
“Si Daffa kayak kurang kerjaan aja, sini-sono aja pakai SMSan segala,”gerutu Sammy.
“Lo cemburu, ya? Iya, kan? Ngaku deh!”Tania menggoda Sammy.
“Apaan coba maksud dari kata-kata lo itu?”Sammy tak mengerti dengan ucapan Tania.
“Nggak usah berlagak bego deh, Sam! Lo cemburu kan sama Daffa? Soalnya semenjak Arga deket sama Daffa, lo jadi dicuekin sama si Arga. Padahal dulu sebelum Arga kenal sama Daffa, lo sama Arga kan lumayan deket,”jelas Tania.
“Ada kisah cinta segi tiga di antara kalian. Wah! Seru nih,”ceplos Dinda.
“Sudahlah! Kalian ini seperti anak kecil aja,”Sammy meninggalkan Dinda dan Tania.
Memang. Dulu Arga dan Sammy cukup dekat sebagai sahabat, namun kedekatannya dengan Arga dikalahkan oleh Daffa. Kedekatan Arga dengan Daffa memang membuat Sammy sedikit cemburu.
Di sisi lain, Arga menemui Daffa di kebun belakang kampus. Daffa sudah menunggu disana.
“Sorry, Daff! Lama ya, nungguin gue,”Arga langsung duduk di samping Daffa.
“Nggak apa-apa, Ga,”sahut Daffa.
“Lo mau ngomong apa ke gue? Kayaknya penting banget,”tanya Arga.
“Gini, Ga! Sebenarnya gue mau ngomongin ini ke lo sejak lama, tapi nggak pernah kesampaian, soalnya gue masih takut ngomong ke lo. Tapi sekarang gue sudah berani ngomong ke lo, kalau gue sebenarnya suka sama lo, gue sayang sama lo, dan gue cinta sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?”Daffa meluapkan semua unek-uneknya. Arga tak langsung menjawab. Suasana jadi hening. Yang terdengar hanyalah suara kicauan burung di antara cabang-cabang pohon.
“Gue juga sayang dan cinta sama lo, Daff. Gue mau jadi pacar lo,”akhirnya Arga memberikan jawaban yang ditunggu-tunggu oleh Daffa sedari tadi. Dengan bahagianya Daffa memeluk Arga. Pelukan Daffa begitu erat ke Arga.
Daffa menatap Arga dengan mata yang berbinar-binar, begitu juga dengan Arga. Senyum mereka mengukir di wajah mereka yang tampan. Daffa membelai lembut rambut hitam Arga, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Arga, lalu dengan perlahan Daffa mencium bibir Arga. Ciuman Daffa untuk Arga ini begitu penuh perasaan. Ciuman itu bukan ciuman yang berdasarkan nafsu, tapi ciuman yang berdasarkan cinta yang benar-benar tulus.
Tanpa mereka sadari Sammy sudah ada disana menyaksikan dua insan yang sedang memadu kasih itu. Hancur sudah hati Sammy. Ingin rasanya Sammy berlari ke sana dan menonjok muka Daffa, tapi Sammy mengurungkan niatnya itu. Dia hanya diam di tempat dan tangannya mengepal dengan kuatnya, tampak siap untuk menonjok seseorang. Jeduakk…Sammy menonjok diding dengan sepenuh tenaganya. Sampai-sampai tangannya itu berdarah. Rasa sakit yang dirasakan oleh tangannya saat ini tidak seberapa dengan rasa sakit yang dirasakan oleh hatinya. Air matanya mengalir menganak sungai. Untuk pertama kalinya Sammy menangisi seseorang dan sedihnya orang yang dia tangisi takkan pernah tau kalau dia menangis karenanya. Sammy pun meninggalkan dua insan itu dalam kebahagian mereka, sedangkan dia sendiri merasa hancur dan sakit.
Suatu hari Daffa tidak masuk kuliah. Entah sakit apa yang tengah dideritanya. Sudah seminggu ini dia nggak masuk kuliah. Arga sudah menengok ke rumahnya. Berdasarkan keterangan Daffa, dia hanya sakit flu biasa. Walau Daffa bilang hanya sakit flu aja, tapi Arga merasa ada yang aneh dengan penyakit Daffa ini.
***
“Ga, mana Bf, lo?”tanya Sammy dengan nada yang sedikit menyindir. Tania dan Dinda yang mendengar pertanyaan itu hanya melotot tak mengerti.
“Pasti yang Sammy maksud itu Daffa, tapi bagaimana dia bisa tau kalau Daffa pacarku,”kata Arga dalam hati.
“Eh! Sam, siapa yang lo maksud?”Tania penasaran.
“Ya, Daffa lah,”jawab Sammy. Masih dengan nada menyindir. Tania dan Dinda langsung menoleh ke Arga dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Eh, Ga! Beneran lo Bf-an sama Daffa?”Dinda penasaran.
“Mungkin ini saatnya gue jujur sama kalian. Gue ini gay dan Daffa memang Bf gue. Gue harap kalian nggak jijik sama gue yang gay ini. Cuma kalian temen gue. Kalau kalian jijik sama gue, terus kalian jauhin gue, terus gue temenan sama siapa, dong?”jelas Arga pada Dinda dan Tania.
“Ya, ampun, Ga! Kita sudah tau lagi kalau lo itu gay. Dan satu lagi, Ga, kalau kita jijik sama lo, mungkin sudah dari dulu kali, Ga, kita ninggalin lo,”jelas Tania. Dan Arga pun terkejut mendengar penjelasan dari Tania tadi.
“Nggak mungkin lah, Ga, kita ninggalin lo Cuma gara-gara lo gay. Kita kan bestfriend forever,”tambah Dinda. Arga menangis haru dan langsung mereka bertiga pun berpelukkan.
“Sam, kamu nggak ikutan?”tanya Arga pada Sammy yang tidak ikut berpelukkan.
“Gue juga mau dipeluk,”Sammy langsung ikut bergabung dalam pelukan itu.
Tak berapa lama kemudian pelukan pun selesai. Mereka kembali duduk lagi.
“Selamat ya, Ga, lo sudah jadian sama Daffa,”Tania menjabat tangan Arga.
“Iya, Ga, selamat, ya. Kalian berdua memang best couple deh. Kita akan selalu dukung hubungan lo sama Daffa. Ya, kan, Tan?”kata Dinda. Tania mengangguk dan tersenyum.
Arga benar-benar tidak menyangka kalau dia diberi sahabat yang sangat baik padanya oleh Tuhan. Arga benar-benar bersyukur dengan pemberian Tuhan itu.
Tiba-tiba Arga yang tengah berbincang-bincang dengan temannya, merasakan sakit yang teramat sangat di seluruh tubuhnya, hingga dia pun jatuh tersungkur. Langsung saja teman-temannya pun panik dan Sammy langsung mengangkat Arga ke mobilnya dan membawanya ke rumah sakit. Tania dan Dinda juga ikut. Dokter yang memeriksa Arga mengatakan bahwa Arga mengidap kanker darah stadium 3. Tania, Dinda, dan Sammy sangat terkejut dengan keterangan dokter itu, namun yang mereka sangat sayangkan adalah kenapa Arga bisa menyembunyikan penyakitnya itu dari mereka. Tak lama kemudian Arga sadarkan diri.
“Ga, kenapa lo nggak pernah cerita ke kita kalau lo sakit, Ga?”tanya Sammy sambil menggenggam tangan Arga yang terasa sangat dingin.
“Iya, Ga. Lo bilang kita best friend forever, tapi lo sudah nutupin sesuatu dari kita,”kata Tania.
“Daffa udah tau belum, Ga, kalau lo sakit,”tanya Dinda.
“Belum. Gue nggak mau ngasih tau dan gue harap dia nggak bakalan tau soal penyakit gue. Please, jangan kalian kasih tau Daffa soal penyakit gue ini! Soalnya Daffa juga kan lagi sakit, jadi gue nggak mau bikin dia khawatir sama kesehatan gue, sedangkan kesehatannya sendiri dia abaikan,”jelas Arga dengan suara yang sedikit pelan.
Kini giliran Arga yang nggak masuk kuliah. Daffa mulai khawatir dengan Bf-nya itu.
“Tan, lo liat Arga?”tanya Daffa.
“Nggak tuh, gue nggak liat dia seharian ini,”jawab Tania.
“Coba deh, hubungi HP-nya!”saran Dinda.
“Udah, Din. Puluhan kali gue SMS dia, puluhan kali pula gue nelpon dia, tapi nggak ada jawaban,”jelas Daffa.
“Kenapa lo nggak pergi ke rumahnya aja?”saran Tania.
“Kalau gitu, gue ke rumah Arga dulu, ya,”Daffa pun pergi.
***
“Ga, gue mau jujur sama lo. Gue cinta sama lo, Ga. Udah lama gue suka sama lo, Ga, tapi gue nggak pernah punya keberanian buat nyatainnya,”Sammy menyatakan perasaannya pada Arga.
“Sorry, Sam! Gue nggak bisa nerima lo, soalnya gue udah ada Daffa. Gue udah nganggep lo kayak kakak gue sendiri, Sam,”jelas Arga.
“Tapi gue cinta banget sama lo, Ga. Tolong buka hati lo buat gue, Ga!”Sammy memohon.
“Hati gue Cuma satu dan itu Cuma buat Daffa seorang, tapi kalau sebagai sahabat, hati gue masih ada banyak ruang,”jelas Arga lagi.
Sammy menggenggam tangan Arga dengan eratnya. “Sam, bisa lo lepasin tangan gue?”kata Arga.
“Ga, kalau gue nggak boleh nyentuh hati lo, seenggaknya lo izinin gue nyentuh bibir lo dengan bibir gue untuk pertama dan terakhir kalinya,”Sammy memohon sambil menatap Arga dengan tatapan sendunya. Perlahan-lahan Sammy mendekati Arga, Arga berusaha menjauh dari Sammy, tapi Sammy langsung menariknya dan memasukkan Arga dalam dekapannya. Sammy menciumi leher Arga dengan penuh perasaan. Arga hanya diam. Setelah menciumi leher Arga, Sammy mencium bibir Arga yang merah. Arga berusaha menolak ciuman Sammy itu, tapi Sammy tak membiarkannya lepas. Arga pun hanya bisa menerima ciuman mesra dari Sammy. Sambil masih menciumi bibir Arga, Sammy melepas kemejanya. Dibaringkanlah Arga di ranjangnya, namun Arga mendadak bangkit. Saat Arga bangkit dari tidurnya itu, wajahnya jadi dekat dengan wajah Sammy dan Sammy pun langsung menyambar leher Arga dengan bibirnya yang tipis. Arga kembali terbaring dan Sammy masih menciumi lehernya. Dibukanya satu persatu kancing kemeja Arga lalu dihempaskanlah kemeja itu di lantai. Ciuman Sammy berpindah ke bibir Arga.
“Kenapa lo jadi kayak gini sih, Sam?”tanya Arga sambil mendorong Sammy menjauh.
“Jawabannya Cuma satu, Ga. Karena gue cinta sama lo, Ga,”jawab Sammy kemudian mencium bibir Arga lagi.
Tanpa mereka sadari, Daffa sudah berdiri di depan pintu kamar Arga dan menyaksikan percintaan antara Sammy dan Arga. Sakit rasanya hati Daffa melihat kekasihnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Daffa pun memilih meninggalkan mereka berdua.
“Daffa tunggu!”panggil Arga, tapi Daffa tak mau berhenti. “Tunggu, Daff! Biar gue jelasin semuanya!”kata Arga.
“Semuanya udah jelas, Ga. Nggak ada yang perlu lo jelasin lagi,”Daffa meninggalkan Arga sendiri. Arga berlinangan air mata. “Sorry, Ga! Kalau gue kayak giniin lo, tapi mungkin Sammy memang orang yang tepat buat lo. Soalnya bentar lagi gue kan udah mati. Semoga lo bahagia sama Sammy, Ga,”kata Daffa dalam hati. Berkali-kali Arga memanggil nama Daffa, tapi Daffa tak menghiraukannya.
“Maafin, gue, Ga! Gue nggak bermaksud buat lo sama Daffa berantem kayak gini,”kata Sammy.
“Udahlah, Sam! Mending sekarang lo balik, gue mau istirahat,”Arga mengusir Sammy dari rumahnya. Sammy pun pergi dari rumah Arga.
***
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, Arga masuk rumah sakit. Ibunya sangat sedih. Kata dokter Arga hanya punya waktu dua bulan untuk hidup. Sammy, Tania, dan Dania merasa sangat terpukul dengan kabar itu. Selagi Arga berjuang melawan kanker tulangnya, Daffa harus bertahan dengan penyakit jantungnya.
“Ga, lo jangan sedih, ya! Bf lo, juga lagi sakit. Dia sakit gagal jantung, Ga. Dia juga dirawat di rumah sakit ini,”berita dari Tania itu membuat hati Arga sedih.
Pada suatu malam Arga membangunkan Ibunya. “Ma, bangun, Ma! Arga mau ngomong sesuatu,”kata Arga dengan suara lirih.
“Ada apa, sayang?”tanya Ibu Arga.
“Ma, Arga pengen donorin jantung Arga buat Daffa, Ma. Arga pengen berguna untuk orang yang Arga cintai, Ma. Boleh kan, Ma?”jawab Arga. Ibu Arga tak menjawab. Air matanya mengalir menganak sungai. “Mama, jangan nangis! Nanti Arga jadi sedih,”Arga menghapus air mata Ibunya. “Ma, Arga minta kertas sama polpen,”Mama pun mengambilkan. Arga mulai menulis. Setiap kata yang Arga tulis dibarengi dengan menetesnya air matanya.
Malam itu tepat pukul dua belas malam Arga menutup mata untuk selama-lamanya. Arga berpulang ke rahmatullah saat ulang tahunnya yang ke dua puluh satu. Ibu Arga sangat sedih. Tak henti-hentinya dia menangis. Selain Ibu Arga, Sammy, Tania, Dinda, dan teman-teman Arga yang lain juga ikut sedih atas meninggalnya Arga.
Seperti permintaan terakhir Arga, jantung Arga satu-satunya itu didonorkan untuk orang yang Arga cintai, yaitu Daffa. Keluarga Daffa sangat berterimakasih pada Ibu Arga. Daffa tak tau siapa orang yang mendonorkan jantungnya untuknya. Sampai akhirnya, Tania, Dinda, dan Sammy datang menjenguk Daffa pasca operasi. Daffa sedikit terganggu dengan kehadiran Sammy.
“Daff, ada yang mesti lo tau. Baca ini, Daff! Ini dari Arga,”Sammy menyerahkan surat yang pernah ditulis oleh Arga.
Dear, my sunshine, Daffa,
Daff, mungkin saat lo baca surat gue ini, gue udah nggak ada di dunia ini, gue udah ada di tempat yang hampa, tapi menentramkan.
Gue udah lama sakit, Daff. Gue mengidap kanker darah stadium 3. Maaf! Kalau gue nggak pernah ngasih tau ke lo kalau gue sakit. Soalnya gue juga tau kalau lo juga lagi sakit, makanya gue nggak ngomong ke lo. Gue takut lo jadi khawatirin gue.
Gue sama sekali nggak mau liat lo menderita. Gue nggak mau liat lo mati, jadi gue persembahin jantung gue ini buat lo, supaya lo tetep hidup. Ngelakuin ini buat gue bahagia dan bangga, Daff. Akhirnya gue bisa berguna buat orang yang gue cintai, yaitu lo, Daff.
Semoga dengan adanya jantung gue di dalam tubuh lo, lo jadi bisa inget sama gue terus.
Gue di sini tersenyum bahagia, Daff, karena lo udah sembuh. Semoga hidup lo selalu bahagia.
Your moonshine, Arga
Daffa tersadar dari lamunannya, karena ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Dia adalah Samuel, pacar barunya. Kehadiran Samuel dalam hidup Daffa, sudah membuat Daffa sedikit bisa melupakan cinta lamanya yang telah beristirahat dalam damai. Daffa menghapus air matanya kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Samuel. Kemudian sebuah senyum mengukir di wajah Samuel. Melihat senyum yang mengembang di bibir Samuel, bagai terhipnotis, Daffa pun mengukir senyum di bibirnya juga. Arga yang kini berada di surga pun tersenyum bahagia, melihat orang yang sangat dia sayangi bisa tersenyum kembali.
*****TAMAT*****
Hayoooo
Kritik dan Sarannya yang membangun dibutuhkan lhoo
Jangan cuek setelah baca yaa..
Admin Revan

Pacarku Kere (Oneshoot)




Author: Lian48 (fb: Lian seme)
Admin : Revan
Genre: Romance, frienship, angsT
Rate: Teen
Hope u like it~
Jangan jadi pembaca gelap yaa
-Kiky POV-
Tanpa memperdulikan pendapat orang lain, sepanjang jalan di desa ini aku menggenggam tangannya, tersenyum sambil menyapa beberapa petani yang ingin pergi ke sawah. Aku dan kekasihku, Indra memulai hari-hari baru yang lebih berwarna, meskipun satu kenyataan pahit... kami sama-sama kere, yaah susah bersama-sama biasa kami jalani.
Indra berlari pelan ke pinggir jalan, dia mengambil setangkai bunga liar kemudian dia serahkan dengan wajah ceria, “Untukmu...”
Aku tersenyum manis saat mengambil bunga itu, tapi mendadak aku merintih, “Aduh...” aku lirik tanganku berdarah, rupanya bunga hutan yang berwarna ungu ini berduri, entah mengapa firasatku langsung buruk tentang kelangsungan hubungan kami... ah Cuma perasaanku saja mungkin. Aku sedikit kesal akan kecerobohan Indra tapi saat dia memasang wajah bersalah aku menjadi iba, dia menarik tanganku untuk dihisapnya. Wajahku memerah, jariku di mulut Indra. Astaga astaga apa yang aku pikirkan! Wakeup Kiky, ini sudah pagi.
Aku mulai menarik tanganku, “Aku gapapa kok, Dra.. kita lanjutin ya jalannya, nanti telat sampai sekolah.” Ucapku kemudian melanjutkan gandengan kami.
Tiba-tiba terdengar suara motor dan motor itu berhenti di depan kami, saat dia melepas helm terlihat cowok tampan keturunan bule campur Indonesia, Namanya Nathan murid baru di sekolahku, “Hei, kamu..” ucapnya sambil menunjukku. “Kita kayanya sekelas ya hehe..” ucapnya ramah.
Aku membalas senyumnya, “Iya, Nathan kan?”
Dia menyodorkan tangannya menyalamiku dan Indra secara bergantian, “Iya, aku Nathan. Kamu?”
“Aku Kiky dan dia Indra.”
Nathan mengangguk-angguk seolah mengerti, “Oh ya... bareng Yuk, Kiky? Sekolah masih cukup jauh loh..” tawarnya dengan nada ramah.
Aku melirik Indra, “Gak, makasih, Than. Aku bareng Indra.” Ucapku sambil berjalan lurus.
Tapi Nathan menjalankan motor Ninjanya itu pelan mengikuti kami, dia perlihatkan jamnya, “Sudah mepet loh, nanti kamu telat..”
Indra meremas bahuku, “Kamu ikut Nathan saja, lagian tadi kamu belum sarapan takutnya pingsan lagi waktu upacara kalau kejauhan jalan.”
Aku merengut, “Tapi, gak mau ah!” rajukku.
Sayangnya Indra mendorongku mendekati motor Nathan, “Hati-hati ya Than bawa motornya, titip Kiky..” desisnya pelan.
Nathan tertawa, “Sipp bro, jangan khawatir.” Ucapnya ceria. Aku masih terpaku menatap Indra yang ada di belakangku, ada perasaan tidak nyaman, aku merasa seolah berhianat dari kesengsaraan. Tapi Indra hanya tersenyum melambai ke arahku.
Semua kemirisan itu bertambah ketika upacara bendera di mulai, terlihat Indra yang bajunya basah karena keringat berlari namun ketahuan petugas sekolah bahwa dia terlambat, dia terpaksa di jemur di depan kami, dipermalukan di depan ratusan murid. Harusnya aku ada di sampingnya, sengsara dan malu bersama-sama. Saat aku mencoba maju, ada tangan yang menangkapku, “Hei mau kemana? Hormat.. benderanya mulai dinaikan.” Perintah Nathan. Aku hanya menghela nafas berat dan melakukan penghormatan pada bendera.
Indra adalah kakak kelasku, dia berada di kelas tiga sedangkan aku kelas dua SMA sekarang. Di sekolah hanya saat jam istirahat kami bisa bersama, sedangkan Nathan kini menjadi teman sekelasku yang entah kenapa terus merapat denganku. Aku akui dia memang sangat tampan, dengan wajahnya yang bule asia mirip Keanu Reeves, bertubuh tinggi, beraroma harum dan juga kaya raya tapi aku menyukai Indra yang memiliki wajah asli Indonesia, kulitnya yang coklat, matanya yang bulat dan tubuhnya yang standar.
Aku merasa lucu sendiri ketika mengingat kejadian minggu lalu, Indra mentraktirku makan batagor, dia menggenggam tanganku sambil berbisik, “Aku menyayangimu, Ky..”
Jantungku rasanya mau meledak, awalnya aku hanya sekedar kagum dengan Indra yang menjadi kapten sepak bola, ya kedekatan kami terjalin karena kami satu tim dalam club sepak bola di desa kami. Aku tidak bisa menjawab saat itu karena aku tidak bisa mengerti cinta sejenis, tapi aku hanya mengganggam tangannya dan meletakkannya di dadaku dengan senyuman malu. Indra tersenyum puas saat dia mengerti gestureku.
Ditembak di depan gerobak batagor. Aneh sekali.
Tapi Indra cukup sibuk, sepulang sekolah dia harus bekerja sambilan membuat batu bata di desaku, katanya untuk memberi tambahan makan untuk adik-adiknya. Kebersamaan kami sangat jarang, padahal dimasa-masa kasmaran ini aku memiliki emosi yang cukup labil karena aku selalu kangen dan kangen, rasanya sakit jika berjauhan dengannya terlalu lama.
Dan malam itu aku terlalu rindu dengannya, nekat menggunakan obor aku berjalan menyusuri jalanan sepi yang disamping-sampingnya banyak pepohonan dan rumput, sedangkan rumah warga jaraknya renggang-renggang.
Setelah lima belas menit berjalan di kesunyian, akhirnya aku sampai juga di rumahnya, aku mengetuk perlahan, cukup lama aku mengetuk tapi tidak ada respon, aakh aku benar-benar kesal sehingga aku gedor pintunya dengan keras. Muncul seorang wanita yang lebih dewasa dariku sambil mengucek-ngucek mata, “Eh ding Kiky, kanapa ding?” tanya Kak Diang dengan logat Banjarnya. (Ding = adek)
Aku tersenyum memaksa, “Ada leh Indra-nya ka?” tanyaku.
“Guring inya, ding ai.. kelapahan bagawi seharian..” (Dia tidur dek, capek kerja seharian..)
“Kada bisa dibangunkan kah, kak?”
Terlihat Kak Diang menggaruk pipinya sambil berpikir, “Tunggu dulu lah, kaka cubai banguni..”
Saat kakanya Indra masuk ke dalam, aku Cuma duduk di depan pintunya, tidak lama kemudian terdengar langkah kaki, aku langsung menoleh. Aku lirik wajah Indra kurang bersahabat, “Ngapain?” tanyanya singkat.
Aku langsung menggembungkan pipi dengan kesal, “Mau ketemu kamunya lah..” jawabku ketus.
Terlihat Indra melirik jam, “Malam-malam begini? Udah jam setengah sebelas, ky. Kamu mendingan tidur ya..”
Mataku berkaca-kaca karena kesal, “Bentar nah..” lirihku.
Indra berjongkok di depanku sambil menguap, “Ngantuk ky, udah malem..”
Aku pukul bahunya kesal, “Kamu gak hargain kedatangan aku jauh jauh hah! Aku juga ngantuk tapi aku gak bisa tidur sebelum ketemu kamu!!”
Indra tertawa pelan sambil mencolek daguku, “Chiee yang kangen, chiee..” ejeknya.
Aku membuang muka kesal, “Nyebelin.. Kamunya pasti gak kangen.” gerutuku.
Tapi secara mendadak Indra menarik daguku, kemudian mengecup bibirku pelan, aku terdiam kaku. Aku menjauhkan wajah karena mukaku terlalu panas, astaga.. begini kah rasanya ciuman? Dia ciuman pertamaku! Aku menunduk malu sambil meremas-remas tanganku, “Ko-kok gitu sih! Kan harusnya ijin dulu!”
Indra tersenyum lembut, dia genggam tanganku sambil menciumnya, “Iya my prince, boleh cium lagi gak?” eh? Dia benar-benar izin, dan ini sukses membuatku terdiam membatu. Aku tidak tau harus menjawab apa, “Diam artinya boleh nih..” desisnya di dekat kupingku, aku merinding dan terpejam. saat itu lah dia jadikan kesempatan untuk kembali menciumku, bukan sekedar ciuman namun juga lumatan yang halus, hangat dan lembab, semakin lama semakin panas membuat ada yang bangun sehingga celanaku menyempit.
“Su-sudah! Aku mau tidur!” ucapku salah tingkah, aku kembali mengambil obor yang aku tancapkan di tanah, saat aku menoleh aku bisa lihat Indra tertawa yang membuatnya semakin manis.
Tapi rasa manis ini tidak berlangsung lama, Nathan yang kekeuh untuk mengantar jemput aku membuat kebersamaanku dengan Indra semakin menipis, apalagi Indra keluar dari club karena harus memperketat jadwal kerjanya. Sudah jarang bertemu, dia tidak memiliki HP pula, ini sukses membuatku menggigil geram. Sedangkan Nathan semakin menempel saja denganku, Nathan sebangku denganku, dia memiliki nomer HP-ku, mengsms nyaris tiap menit dengan banyolan-banyolannya yang menyenangkan, kadang dia meneleponku berjam-jam, heran padahal sudah bertemu setiap hari.
-Indra POV-
Rindu, itu yang aku rasakan sekarang. Seminggu terakhir sangat sulit menemui Kiky, Cuma saat upacara aku bisa melengkungkan senyum ketika bisa melihat wajahnya yang putih dihiasi jerawat-jerawat merah, setelah itu mungkin dia pergi ke kelasnya yang cukup jauh dari kelasku.
Tapi hari ini aku berusaha memperlakukannya dengan baik, sengaja aku buat dua buah kotak bekal yang berisi nasi goreng special buatanku, saat jam istirahat aku berniat mengajaknya makan bersama di taman belakang sekolah.
Sengaja aku datangi kelasnya sayangnya tidak ada sosok Kiky di kelas itu, aku bertanya dengan teman sekelas Kiky, “Dek ada liat Kiky gak?”
Dia menghentikan tatapannya pada buku, “Tadi aku lihat sama Nathan... mungkin ke kantin.”
Aku tersenyum lembut, “Makasih ya dek...” ucapku sebelum akhirnya meninggalkan kelas itu. Nathan ya.. aku merasa terancam akan sosok orang itu.
Dan benar saja, sesampainya di kantin aku lihat Kiky sangat bahagia. Nathan menyuapinya mie, dia tertawa-tawa sambil menepis tangan Nathan, “Apaan sih lebay ahaha..” ucap Kiky sambil memencet jeruk nipis ke wajah Nathan.
“Aduh duh... essh..” ringis Nathan sambil mengusap matanya.
Kiky terlihat panik, menarik wajahnya dan meniup-niup matanya, “Sorry sorry! Gak bermaksud, suer!” wajah Kiky sangat dekat dengan Nathan. Aku tidak suka.
“Ah kamu nih... atit tau..” rajuk Nathan.
Kiky mencubiti pipi Nathan kemudian mencubit hidungnya, “Ahaha manja banget sih.. gini doang..”
Aku langsung berbalik, memejamkan mataku sambil meremas dada. Aku tidak sanggup melihat lebih dari itu, langsung kumasukkan ke bak sampah bekal tadi karena nafsu makanku sudah hilang. Mataku yang panas tidak bisa aku tangkal, aku berlari ke toilet kemudian menangis sejadi-jadinya. Semudah itu kah bahagia tanpaku?
Semenjak saat itu aku tidak pernah lagi menghampiri Kiky, kabar terakhir yang aku dengar ayahnya sakit keras dan dibawa ke rumah sakit, dia sampai absen berhari-hari. Sayangnya aku yang tidak memiliki motor dan biaya ke kota cukup mahal, untuk makan keluargaku saja susah.
-Kiky POV-
Mataku masih bengkak karena menangisi sakit ayahku, dia batuk darah hingga pingsan beberapa hari lalu, aku sangat takut dia kenapa-kenapa. Ditambah biaya rumah sakit yang mahal membuatku semakin tertekan, keluargaku kikir, mereka sama sekali tidak mau membantu ayahku.
Dengan langkah lemah aku mendatangi administrator, berusaha mengetahui biaya yang harus ditanggung, “Berapa biaya untuk Imam Khairudin?” tanyaku lemah.
“Pembayaran untuk pak Imam Rp. 0, tadi ada seseorang yang sudah melunasi semua biaya dan juga biaya untuk operasi besok.” Aku tercengang mendengar ucapan itu. Hah? Orang baik mana yang mau membantuku disaat genting seperti ini, aku menengok kesana kemari tidak ada orang yang aku kenal. Hingga akhirnya aku kembali ke depan ruangan ayahku, tapi tidak ada ayah disana.
Aku panik sambil menghampiri suster yang memberesi kamar ayah, “Sus, pasien disini mana?” tanyaku khawatir.
“Oh baru saja di pindahkan ke ruangan VIP.” Aku tambah tercengang. Akhirnya aku berlari untuk memeriksa tiap jendela ruang VIP dan itu ayah dengan ibu yang duduk di depannya.
Dan aku tersentak saat melihat ada Nathan duduk di sebuah sofa panjang, pasti ulahnya. Aku langsung menarik Nathan keluar ruangan, “Than kamu yang lunasi biaya ayah?”
Terlihat Nathan bingung menjawabnya, “Eummm sedekar membantu semampunya.”
Aku melirik ruang rawat ayah yang sangat mewah, bahkan ada tv dan kulkas, “Than.. aku gak enak terlalu sering repotin kamu. Pasti suatu hari aku ganti uangmu, tapi jangan ruang VIP ya. Aku gak mampu.”
Nathan tertawa pelan, “Nyantai aja Ky, kamu gak usah pikirin gimana bayarnya, aku sungguh-sungguh tolong kamu, aku ikhlas Ky. Kamu baik, ramah, cakep... ya aku Cuma mau kamu lebih bahagia.”
Aku langsung memeluk Nathan, merasa sangat bersyukur akan kehadirannya disaat sekarang. Tapi disisi lain pikiran jahatku muncul, aku semakin muak dengan Indra yang tidak ada perhatian-perhatiannya di saat aku terpuruk begini, dia seolah hilang ditelan bumi, buat apa aku punya pacar yang tidak berguna. Astaga kenapa aku berpikiran seperti ini? bagaimana pun Indra kekasihku, aku berusaha bertahan mencintainya apa adanya.
Saat aku mulai aktif sekolah, aku menunggu Indra di depan kelasnya, aku berhasil kabur dari Nathan dengan alasan ingin ke toilet dulu. Kulihat mulai ramai orang-orang keluar dari kelasnya, saat Indra terlihat aku langsung menariknya, aku tersenyum semanis mungkin meskipun aku sangat kecewa dengan semua tindakannya selama ini, tapi aku berusaha menjadi kekasih yang tidak rumit, aku tidak mau kami bertengkar karena hal-hal sepele, terus aku simpan rasa kecewaku karena aku ingin selalu di dekatnya, “Apa kabar Dra?”
“Baik..” jawabnya singkat kemudian berjalan lagi. Aku menatapnya kecewa dan terus mengejarnya.
“Dra, umm ada waktu bentar?”
“Aku harus pulang...” ucapnya dengan wajah datar.
Indra berubah, kenapa dia mengabaikanku? Apa dia memiliki pacar lain, rasanya aku mau meledak dan memaki-makinya, tapi aku tetap tersenyum manis dan menggenggam tangannya, “Bentar aja temani aku ya..” Indra tidak mau menatapku, hingga aku merapatkan tubuh dengannya dan meletakkan ke dua tanganku di dadanya, aku mendongak menatap Indraku yang lebih tinggi. Menatapnya dengan tatapan polosku.
Wajahnya memerah meskipun ekspresinya datar, “Yaudah bentar aja..” desisnya pelan.
Aku langsung berjingkrak semangat yes akhirnya aku berhasil, aku tarik dia ke kantin, “Pak baksonya dua dan es jeruk dua..”
Indra langsung menahan tanganku, “Aku gak punya uang buat tratir kamu..”
“Yaudah kita bayar sendiri-sendiri..” ucapku lemas.
“Aku benar-benar gak bawa uang.”
Sabar sabar, haruskah aku mengusap dada sesering ini, “Gak usah dipikirin, aku yang bayar..” ucapku akhirnya, apa boleh buat tabunganku harus terkuras. Bagi orang lain mungkin uang dua puluh enam ribu tidak ada artinya, tapi itu sangat berarti buatku yang seharinya hanya diberi jajan tiga ribu. Tapi aku mau saja berkorban, walau dengan hati sedikit tidak ikhlas. Rasanya kesal, Indra yang dominan nyatanya tidak memberiku kemudahan, rasanya lagi lagi kalimat itu muncul, ‘Kenapa pacarku tidak berguna?’
“Makasih.. umm ada apa, Kiky?”
Aku menarik nafas dalam-dalam, rasanya aku mau memaki-maki dia kenapa kamu berubah? Kenapa kamu gak berguna? Kenapa kamu bikin perasaanku kacau, tapi aku memaksakan senyuman palsu itu lagi dan menggenggam tangannya, “Aku kangen, Dra..” desisku pelan.
Indra langsung menarik tangannya, “Banyak orang disini. Gak pantes.”
Tuhaan.. demi apapun aku ingin menangis meraung-raung sekarang! Kenapa Indra begitu menyebalkan? Aku sabar, benar-benar sabar bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan dia tidak menanyakan keadaan ayahku. Mana perhatiannya?
Sedangkan Nathan selalu ada untukku, aku terpaku ternyata dia bukan orang kaya sombong yang jaim makan-makanan kampung, saat ke rumahku dia makan lalapan kangkung, ikan bakar dan sambel terasi begitu lahap, tidak seperti bule kebanyakan yang makannya steak atau spagettie. Dia juga mengajakku berjalan-jalan di kota, kami berfoto-foto saat di museum, di monumen, dan mall.. aku sangat jarang ke mall karena jauh dari desaku, aku juga bisa merasakan AC mobil yang nyaman.
Nathan berbagi banyak keindahan denganku, dia juga baik, aku sangat antusias. Astaga... apa semua kekesalanku terhadap Indra muncul karena aku membandingkannya dengan Nathan? Karena aku tidak bersyukur dengan Indra.. tapi... coba kamu bayangkan posisiku, ketika seorang teman saja bisa sangat berguna untukmu, lalu pacarmu yang kere tidak berguna, bagaimana tidak marah?
Nathan membelikanku tablet, kali ini aku merasa dia terlalu berlebihan, “Than... kamu jangan kaya gini. Aku gak bisa terima semua kebaikan kamu, aku gak sanggup balas budi...”
“Kamu gak usah terlalu banyak berpikir, cukup jadi pacarku sudah membuatku bahagia..” desis Nathan sambil menggenggam tanganku.
Aku terdiam beberapa menit, menjadi pacar Nathan? Bule tampan yang memilik harta dan juga hati yang baik? Siapa yang bisa menolaknya? Aku bisa... aku menggeleng pelan, “Maaf Than... Aku sudah punya pacar.”
“Indra? Come on beb, kemana dia saat kamu perlukan? Saat kamu terpuruk? Apa pembuktian cintanya? Mana pengorbanannya? Tidak ada kan...”
Nathan benar, aku menangis sekarang, aku hanya bisa tertunduk sambil meremas tanganku. Tapi mendadak Nathan menarik bahuku, aku tersentak saat merasakan bibir lembabnya menciumku dengan ganas, aku langsung menampar Nathan.
“Aku gak mau! Than, kamu memang sahabat yang baik, aku benar-benar menyukaimu. Tapi apapun posisi Indra, aku berkomitment dengannya. Apapun yang terjadi aku gak bakal tinggalin dia.”
Nathan menghela nafas berat, “Aku sayang kamu, Ki. Kamu manis, baik, nyambung ngobrol denganku, aku benar-benar nyaman dengan kamu, kamu tulus gak kaya temen-temen aku di kota. Hemmh... aku akan terus nunggu, Ky, sampai hatimu benar yakin buat milih aku.”
Bagaimana pun merebut kekasih orang lain itu tidak baik, bukan?
--
Ulang tahunku yang ke 17, sangat sedih karena Nathan tidak menjemputku, dia bilang sedang sakit dan terpaksa absen hari ini. ulang tahunku akan semakin buruk pastinya. Dan Indra, apa dia mengingat ulang tahunku? Ini ulang tahunku yang sangat penting, ah.. mungkin aku terlalu drama, ulang tahun atau bukan sama saja kan?
Kelas tertutup, tumben? Saat aku membuka kelas, terdengar teriakan, “Surprise!!!”
Teman-teman sekelas? Aku tercengang melihat kelas yang dihias sedemikian rupa, teman-teman memakai topi ulang tahun, menebar kertas-kertas kecil wah mereka akan kena amuk pak guru nanti. Dan aku semakin tersentuh saat seseorang keluar dari balik kain, Nathan membawa kue ulang tahun besar dengan lilin 17 tahun dan juga tulisan ‘Happy birthday My lovely Kiky’ aku benar-benar pangling, pasti Nathan yang merancang semuanya. “Make a wish!” ucapnya girang.
Aku memejamkan mata sambil mengucapkan doa dalam hati. ‘Terimakasih atas segala nikmat ini, tapi semua ini membuatku semakin angkuh. Sadarkan aku agar kembali mencintai lelaki manisku, ingatkan aku bahwa bisikan-bisikan akan gemerlapnya dunia ini tidak menjamin kebahagiaanku. Berikan aku arti bahagia yang sesungguhnya...”
Aku pun meniup lilin tadi diiringi tepuk tangan teman-teman.
Mendadak ada seseorang muncul dari pintu kelas, “Ramai sekali..” ucapnya. Teman-teman mulai menyingkir untuk memberi jalan.
“Hm..” gumamku dingin saat mengetahui orang itu adalah Indra.
“Ada acara apa ini?” tanyanya dengan wajah polos. Dia tanya ada apa? Disaat semuanya tau dan merayakan, kekasihku sendiri tidak tau? Bayangkan betapa nyeseknya.
Aku mau meledak sekarang, melirik bell masuk masih 15 menit lagi, aku menarik Indra ke luar sekolahan, “Kamu tau hari ini hari apa?” tanyaku dingin.
“Memangnya hari apa?” tanyanya balik dengan wajah polos.
Aku mendidih, aku tinju wajahnya dengan keras, “Kau menyebalkan!!! Pacar macam apa hah yang tidak tau ulang tahun pacarnya sendiri? Kamu kemana aja Ndra? Kamu gak kaya Nathan yang selalu berkorban buat aku, selalu ada buat aku dan juga berguna buat aku. Kamu apa? Bahkan waktu buat aku saja kamu gak punya!!! Aku capek aku capek!! Aku benar-benar capek... aku bela-belain nolak Nathan Cuma untuk orang tolol kaya kamu tapi kamu kaya gini sikapnya hah?”
Wajah Indra menjadi suram, aku tau membandingkannya dengan orang lain itu salah, tapi ini kenyataannya bukan? Wajah Indra mendadak ceria, “Aku Cuma pura-pura gak tau kok.. nih aku punya hadiah untuk kamu..”
Saat dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya aku menepis benda itu hingga jatuh ke tengah jalan, “Persetan dengan hadiahmu! Kita putus, aku capek!”
Indra berlari ke tengah jalan untuk mengambil hadiah itu kemudian terdengar suara benturan keras.
BRUUUKKK KREEEKKK KREEKK..
Aku berbalik, kulihat Indra tertabrak dan terseret di bawah kolong mobil itu beberapa meter, aku berlari cepat, aku langsung menutup mulutku dan air mataku terhambur melihat kondisi Indra yang menggenaskan terlindas di ban mobil. “DRA! INDRA!!!” teriakku sambil membungkuk.
Aku lihat Indra masih sadar, matanya menyipit karena banyak darah mulai masuk ke matanya, “Ah.. enmm Kiky... si-simpannhh hadiahku i-ini baik-baik.. aku haraphh eumm kau dengar isinya.. essh aku mencintaimu Ky..” Tangan Indra yang bergetar menyerahkan kotak kepadaku, sebuah kotak musik? aku menangis histeris sambil berteriak minta tolong, Nathan mengemudikan mobilnya untuk mengantar Indra ke rumah sakit, aku yang duduk di belakang terus menangis dengan kepala Indra yang aku pangku, tubuhku yang berlumuran darah tidak lagi aku perdulikan, suaraku rasanya hilang karena tenggorokanku yang tercekat.
Aku buka kotak musik itu, terlihat ada boneka dua lelaki sedang berdansa dan aku mendengar suara Indra disana, “Happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday happy birthday, happy birthday kiky~ wah pacarku sudah dewasa ya, sudah 17 tahun, berarti boleh dong ehem? Ahaha aku bicara apa coba... Masalah Nathan.. dulu kau pernah bertanya, ‘Kau tidak cemburu Nathan menjemputku terus?’ sebenarnya aku cemburu, sangat cemburu... tapi aku bisa apa? Aku tidak punya motor, aku kere... aku ingin kau bahagia, aku ingin kamu baik-baik saja, bisa merasakan kemudahan hidup meskipun aku harus mengorbankan perasaanku, aku tidak perduli, yang penting kamu gak capek, kamu gak kepanasan. Aku hanya bisa memberi kesengsaraan untukmu. Tapi ternyata keputusan yang aku pilih salah, kalian semakin dekat, aku lihat kalian sangat mesra di kantin, kau tau rasanya? Sakit... rasanya dadaku tercabik-cabik melihat kamu bahagia dengan orang lain, aku hanya orang yang tidak berguna. Bahkan ayahmu sakit pun aku tidak bisa membantu karena keterbatasanku. Aku bisa apa... aku tidak mungkin banyak menuntut, aku hanya pasrah dengan hubungan kita, oh ya aku meminta maaf, akhir-akhir ini aku tidak punya waktu untukmu, saat itu aku melihat kotak musik mengesankan ini di suatu toko mainan, harganya sangat mahal untukku, tapi aku rasa akan sangat cocok untuk hadiah kenangan yang bisa kau simpan kapan pun, dengan keuanganku yang sedikit aku berkerja mati-matian, bahkan aku harus membuang hobiku karena memperketat jadwal kerjaku, semua untukmu. Mungkin ini hanya benda bodoh tidak bermanfaat bagimu, tapi kau bisa mengenangku kapanpun, bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu, akan selalu mencintaimu, sampai nafas terakhirku...”
Aku menangis menggigil mendengar pernyataan Indra, dan aku lebih terpukul saat tangannya menjadi dingin dan denyut nadinya hilang, “Dra! Dra kamu kuat kan! Aku mohon Dra... tolong bertahan... aku juga mencintaimu.. maafin aku yang salah menilaimu.. maaf Dra! Tolong jangan hukum aku begini..”
Aku hanya bisa menangis dalam penyesalan atas ketidak syukuranku. Tapi ini mungkin jawaban dari doa ulang tahunku, menyadarkanku dengan cara yang menyakitkan.
END
Admin Revan